JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) menilai pengisian pimpinan komisi dan alat kelengkapan lainnya di DPR tidak akan sealot saat pemilihan pimpinan DPR dan MPR. Berbeda dengan penentuan pimpinan DPR dan MPR yang dilakukan melalui voting, pemilihan komisi dilakukan berdasarkan musyawarah mufakat.

Faktornya antara lain, posisi pimpinan alat kelengkapan DPR sesungguhnya tidak perlu ditempatkan seolah sebagai jabatan yang sangat strategis untuk mengambil kebijakan. Merujuk Undang Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3), kedudukan anggota DPR adalah sama.

Sementara tugas pimpinan alat kelengkapan hanya menjadi pemimpin sidang dan juru bicara atas keputusan-keputusan di alat kelengkapan. Seluruh keputusan, rekomendasi tetap harus berdasarkan rapat bersama anggota DPR dalam alat kelengkapan tersebut.

"Ada memang pembeda posisi pimpinan komisi dengan anggota karena tambahan fasilitas tunjangan, baik financial termasuk fasilitas fisik lainnya. Yang membuat juga posisi pimpinan jadi rebutanan," kata Direktur Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Syamsuddin Ali Musa kepada Gresnews.com, Senin (20/10).

Menurut Syamsuddin, selain prestise dan finansial, munculnya pembedaan antara pimpinan komisi dan anggota juga dipengaruhi faktor eksternal, yakni eksekutif. Ia berpendapat, perlakuan pemerintah selama ini selalu lebih mendengar pimpinan. Pemerintah menerjemahkan struktur DPR sama di eksekutif.

"Problemnya perebutan selama ini lebih karena ada prestise yang dikejar. Prestise ada karena pemerintah juga menempatkannya keliru. "Ketaatan" eksekutif kepada pimpinan berbeda dengan anggota biasa. Ini yang harus dirubah," jelasnya.

Karena itu, Syamsuddin melihat perebutan pimpinan komisi dan alat kelengkatan lainnya tidak akan sengotot saat pimpinan DPR dan MPR. "Meski akan ada kekecewaan yang tidak berhasil tapi tensinya kecil," tuturnya.

Faktor lainnya adalah mencairnya suasana politik pasca pertemuan presiden terpilih Joko Widodo dengan Prabowo Subianto dan merapatnya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ke Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Sehingga dominasi penguasaan Koalisi Merah Putih (KMP) atas jabatan DPR dan MPR yang dilatarbelakangi jumlah kursi yang lebih banyak dibandingkan jumlah kursi yang dipunyai fraksi-fraksi penyokong Joko Widodo-Jusuf Kalla, menjadi lebih berimbang.

Namun yang lebih penting, menurutnya adalah bagaiamana alat kelengkapan DPR bisa berkinerja secara lebih optimalan. "Harus ada konsolidasi dan manajemen kerja yang lebih rapi. Bila perlu diinternal harus ada pembagian tugas atau konsentrasi," tutur Syamsuddin. Dan ini, lanjutnya,  tidak sulit karena dikenal panitia kerja (Panja), misalnya Panja untuk pembentukan undang-undang.

"Disinilah dibutuhkan pimpinan yang memiliki kapasitas mengorganisir teman-temannya, termasuk untuk mengelola aktif hadir bersidang, meski bukan tugasnya langsung," tuturnya.

Pendapat senada juga disampaikan Direktur Eksekutif Indonesia Parliamentary Centre (IPC) Sulistio. Menurutnya, pengisian pimpinan alat kelengkapan DPR tidak akan sealot pemilihan pimpinan DPR dan MPR karena bertambahnya dukungan bagi KIH.

"Pengisian pimpinan alat kelengkapan tidak akan sealot pimpinan DPR dan MPR kecuali untuk komisi strategis, seperti Komisi III dan XI," tuturnya kepada Gresnews.com, Senin (20/10).

Sebelumnya, pimpinan DPR dan pimpinan fraksi menyepakati pemilihan pimpinan komisi dan alat kelengkapan digelar setelah pelantikan Joko Widodo dan Jusuf Kalla pada hari ini.

Wakil ketua DPR Agus Hermanto mengungkapkan, secara tekn‎is sebelum rapat paripurna Selasa (21/10) nanti, seluruh fraksi sudah menyerahkan kepada sekjen DPR anggota-anggotanya di tiap komisi dan alat kelengkapan. "Setelah disahkan, paripurna kemudian menyepakati jadwal pemilihan pimpinan komisi yang teknisnya digelar di masing-masing komisi," jelas Agus di ruang pansus gedung DPR, Jakarta, Kamis (16/10).

BACA JUGA: