JAKARTA, GRESNEWS.COM - PT Jamsostek (Persero) menyatakan menolak menjalankan rekomendasi Panitia Kerja (Panja) Outsourcing Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Komisi XI DPR. Alasannya, karena Panja tentang tenaga kerja alih daya atau outsourcing di BUMN itu merupakan keputusan politik, bukan keputusan korporasi.   

"Keputusan panja, ya tidak consider. Kalau sebuah keputusan politik kami terapkan dalam korporasi, kami salah sama pemegang saham," kata Direktur Umum dan SDM PT Jamsostek (Persero) Amri Yusuf kepada Gresnews.com, di Jakarta, Rabu malam.

Menurut Amri, ketika perusahaan mengambil suatu keputusan harus berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), serta berdasarkan UU Tenaga Kerja, UU Perseroan Terbatas, dan UU BUMN.

Terkait PHK massal karyawan outsourcing, Amri menilai hal tersebut layak dilakukan selama karyawan outsourcing di beberapa cabang itu tidak sesuai dengan kompetensi dan pergerakan perusahaan yang semakin cepat.

Tapi Amri menegaskan pihaknya tidak pernah membatasi karyawan outsourcing untuk menjadi karyawan permanen. "Asal kompetensi mereka (karyawan outsourcing) relevan atau tidak dengan kompetensi kita? Lagipula karyawan outsourcing masuk ke Jamsostek tidak pakai tes masuk," kata Amri.

Amri mengatakan dengan melakukan PHK massal bagi karyawan outsourcing, pihaknya telah menjalankan kewajibannya untuk membayar pesangon.

Amri mengaku perusahaan memiliki 800 karyawan outsourcing dan rata-rata kemampuan karyawan outsourcing tidak sesuai dengan karakternya dan tidak mengetahui sepak terjang perusahaan. "Kami tidak mau publik menilai bahwa kami tidak kompeten," kata Amri.

Selama ini, Amri menilai karyawan tetap perusahaan kerap membawa kerabat dan handai taulan untuk bekerja di perusahaan tanpa tes, yang artinya perusahaan menerapkan mekanisme kerja berdasarkan kolusi dan nepotisme.

Maka dari itu, Amri mengatakan perusahaan menerapkan kebijakan kepada pegawai outsourcing, jika ingin menjadi pegawai tetap harus mengikuti tes masuk sesuai dengan standar perusahaan. Untuk itu, perusahaan menggandeng pihak ketiga independen untuk menyeleksi calon karyawan tetap.

"Jadi kita melakukan tes untuk memverifikasi calon karyawan. Kami gandeng pihak ketiga agar praktek kolusi dan nepotisme tidak terjadi di perusahaan," kata Amri.

Sementara itu, pengamat kebijakan publik Andrinof Chaniago mengatakan kebijakan korporasi merupakan kebijakan khusus dan terbatas, sedangkan kebijakan politik merupakan terbatas tetapi tidak berbentuk hukum.

Menurut Andrinof, permasalahan perburuhan, dalam hal ini outsourcing, akan terus menerus terjadi tarik menarik karena terdapat kebijakan korporasi dan kebijakan politik.

"Ya ini akan terus tarik menarik. Mau dikatakan konflik, perseteruan, ya pasti akan timbul dan terjadi, jika belum ada produk hukum yang mengikat," kata Andrinof kepada Gresnews.com, Jakarta, Rabu malam.

Andrinof menilai kebijakan korporasi yang memiliki ketentuan hukum mengikat tentunya akan bertahan lama tetapi kebijakan politik perlu dicermati lebih mendalam, mengingat kebijakan politik bisa dalam rangka adanya pencitraan kepada masyarakat. "Kalau kebijakan politik tidak didasari UU yang memaksa, ya menurut saya tidak masalah perusahaan menjalankan kebijakan korporasi," kata Andrinof.

Seharusnya, menurut Andrinof, para pemangku kepentingan (stake holder) yaitu buruh, perusahaan dan pemerintah harus duduk bersama atau berunding untuk menetapkan produk hukum sehingga keributan permasalahan buruh bisa terselesaikan dengan baik.

Sebelumnya, anggota Panja Outsourcing BUMN Komisi IX DPR RI dari Fraksi Golkar Poempida Hidayatulloh mendesak Menteri BUMN dan para Direksi BUMN untuk menjalankan rekomendasi yang sudah diputuskan oleh Panja Outsourcing pada 22 Oktober lalu.

"Direksi BUMN harus tahu makna keputusan politik. Intinya, Direksi BUMN jangan melawan keputusan tersebut," kata Poempida dalam siaran pers yang diterima oleh Gresnews.com, Jakarta, Rabu (30/10).

Poempida mengatakan, tanpa ada keputusan politik, tidak akan ada Negara Republik Indonesia ini. Demikian juga halnya dengan konstitusi dan UU adalah produk dari keputusan politik. "Jadi BUMN pun tercipta karena keputusan politik," kata Poempida.

Poempida mengingatkan dengan semakin kuatnya gerakan buruh dan semangat demokrasi di Indonesia, harusnya para Direksi BUMN yang berpikiran cerdas sadar untuk tidak melawan keinginan rakyat banyak. Bila melawan juga harus paham konsekuensi yang akan dihadapi. "Bisa saja kemudian direksi BUMN ini tidak menghiraukan hasil Panja Outsourcing BUMN tapi jangan kemudian menyesal di kemudian hari," kata Poempida.

Berikut ini adalah 12 butir rekomendasi Panja Outsourcing BUMN:

1. Menteri BUMN wajib melaksanakan rekomendasi Panja Outsourcing sesuai komitmen Menteri BUMN yang disampaikan pada raker Komisi IX dengan Menteri BUMN dan Menakertrans, 9 September 2013.

2. Hapuskan praktek penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain, melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh (outsourcing) di perusahaan BUMN di seluruh Indonesia.

3. Setiap perusahaan BUMN dilarang keras melakukan pelarangan/penghalangan, intimidasi dan teror terhadap pekerja yang mengadakan aktivitas berserikat di BUMN. Termasuk, pekerja yang melakukan mogok kerja dan aksi massa, sesuai pasal 28 UUD 1945, pasal 24 dan pasal 39 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta pasal 5 ayat (1), pasal 28 dan Pasal 43 UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Bekerja/Buruh.

4. Tidak boleh ada PHK, dan hentikan rencana PHK terhadap pekerja/buruh, baik yang berstatus PKWT maupun PKWTT.

5. Terhadap semua PHK yang telah berkekuatan hukum tetap, BUMN harus segera membayar hak-hak normatif pekerja secara penuh sesuai pasal 156 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam hal ada perekrutan pekerja baru, maka perusahaan BUMN harus menerima pekerja yang telah di-PHK.

6. Pekerja di perusahaan BUMN yang sedang mengalami proses PHK sepihak, skorsing/dirumahkan, harus kembali dipekerjakan pada perusahaan BUMN di seluruh Indonesia. Sesuai pasal 59 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka pekerja harus segera diangkat menjadi pekerja tetap dan dipekerjakan tanpa syarat pada posisi dan jabatan yang sesuai di perusahaan BUMN.

7. Hak normatif pekerja seperti diatur pasal 155 UU Nomor 13 Tahun 2003, wajib dibayar oleh seluruh perusahaan BUMN di Indonesia, kepada pekerja yang sedang dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial sampai memiliki kekuatan hukum tetap.

8. Seluruh hak normatif pekerja sebagaimana diatur UU Nomor 13 Tahun 2003, wajib diberikan oleh seluruh perusahaan BUMN di Indonesia, sesuai peraturan perundang-undangan.

9. Penyelesaian permasalahan buruh di semua tingkatan proses hukum, direksi perusahaan BUMN dilarang menggunakan anggaran perusahaan.

10. Komisi IX DPR meminta Kemenakertrans dan Polri memproses hukum dan menindak tegas tindak pidana ketenagakerjaan yang terjadi di perusahaan BUMN seluruh Indonesia.

11. Rekomendasi Panja Outsourcing BUMN Komisi IX harus dilaksanakan dalam waktu 15 hari, terhitung sejak rekomendasi diputuskan dalam rapat pleno Komisi IX, Selasa (22/10). Bila direksi perusahaan di BUMN mengabaikan rekomendasi, maka Komisi IX akan merekomendasikan kepada Menteri BUMN untuk memberhentikan direksi BUMN yang bersangkutan.

12. Untuk mengawal dan memastikan pelaksanaan seluruh rekomendasi oleh Kementerian BUMN, Panja Outsourcing merekomendasikan Komisi IX membentuk Satgas Outsourcing BUMN bersama Kemenakertrans dan melibatkan perwakilan serikat pekerja. 

(Heronimus Ronito/GN-02)

BACA JUGA: