JAKARTA, GRESNEWS.COM - Polemik dugaan adanya dana Rp30 miliar yang mengalir ke Teman Ahok, relawan pendukung Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, semakin disorot. Dana yang diduga berasal dari salah satu pengembang pulau reklamasi di Pantai Jakarta Utara itu bahkan menjadi pertaruhan akuntabilitas Teman Ahok.

Peneliti dari Indonesian Corruption Watch (ICW) Donal Fariz melihat polemik itu akibat dari tidak adanya dasar hukum yang jelas tentang pendanaan pilkada terhadap relawan. Dengan begitu, sulit untuk memantau laporan keuangan gerakan relawan.

"Kami mendukung KPK mengeluarkan Surat Perintah Penyelidikan (Sprinlidik) untuk kasus tersebut," kata Donal dalam acara konferensi pers di Kantor ICW, Jalan Kalibata Timur lV, Jakarta Selatan, Jumat (24/6).

Langkah KPK untuk menyelidiki kasus dana Teman Ahok mendapat dukungan dari ICW. Niat KPK yang akan mengeluarkan Sprinlidik itu, menurut ICW, perlu didukung untuk mengonfirmasi keabsahan informasi aliran dana tersebut.

"Untuk mengonfirmasi benar tidaknya informasi tersebut. Kedua, untuk memastikan apakah ada unsur pidana atau tidak," terang Fariz.

Lebih jauh Donal menyarankan agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuat peraturan KPU yang secara spesifik menjelaskan keuangan relawan. Dengan begitu, dana yang masuk ke relawan bisa dilakukan audit oleh lembaga terkait.

"Kami berharap PKPU dibuat untuk mengatur dana laporan Teman Ahok. Karena kalau tidak, ini tidak akan diaudit. Harusnya ini menjadi yang integral dari laporan kandidat itu sendiri," ungkap Donal.

Menurutnya, relawan Teman Ahok itu bekerja untuk pencalonan Ahok yang hendak maju dalam Pilkada 2017 mendatang. Seharusnya saat mengajukan syarat pencalonan ke KPU, laporan keuangan Teman Ahok juga dilampirkan laporan uang masuk dan keluarnya.

Namun angka Rp30 miliar yang diduga masuk ke relawan Teman Ahok, menurut Donal, angka yang tidak wajar. Karena besaran jumlah sumbangan akan memberi dampak dalam proses politik kandidat. Dia tak menampik jika ada dukungan keuangan dari perusahaan ke relawan, karena hal yang sama juga terjadi pada partai politik.

"Angka itu tidak wajar. Kalau jumlahnya terlalu besar tentu akan memengaruhi kandidat yang akan diusung," terang Donal. Untuk batasan kewajaran, sambung Donal, bisa saja merujuk ke UU Pilkada soal batasannya pada Pasal 74 Ayat (5).

Adapun bunyi pasal tersebut adalah: Sumbangan dana Kampanye sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf b dan Ayat (2) dari perseorangan paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan dari badan hukum swasta paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Selain itu, Donal juga mendukung agar Teman Ahok diperiksa oleh KPK terkait dugaan dana yang masuk ke relawan Teman Ahok. Pemeriksaan itu penting untuk menjelaskan isu tersebut. "Teman Ahok harus diselidiki. Tapi partai jangan cuci tangan bahwa praktik yang sama juga terjadi dalam partai politik," tuturnya.

Donald menjelaskan pemeriksaan laporan keuangan sangat penting supaya tidak menjadi tudingan miring terhadap Teman Ahok. Termasuk soal dana Rp5 miliar yang diakui pihak Teman Ahok adalah sumber dana dari hasil penjualan souvenir. "Kita tidak bisa bilang benar atau tidak, jadi KPK harus menyelidikinya," jelasnya.

Bahkan, dia menyebutkan bahwa laporan keuangan juga berlaku bagi sejumlah pendukung partai politik untuk dibuka secara transparan. Apalagi calon yang diajukan adalah sokongan parpol yang tidak jelas sumber dananya.

BELUM SAATNYA - Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing mendukung apa yang dilakukan ICW yang mendorong Teman Ahok untuk melaporkan keuangan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun Emrus menganggap sebenarnya Teman Ahok belum perlu melaporkan keuangan ke KPU lantaran relawan Teman Ahok belum secara resmi sebagai tim kampanye Ahok.

"Kalau saat ini tidak perlu karena Ahok belum secara resmi mengakui Teman Ahok sebagai tim kampanyenya," kata Emrus kepada gresnews.com, Jumat (24/6).

Namun terkait tudingan anggota Komisi III DPR Junimart Girsang soal adanya aliran dana Rp30 miliar kepada Teman Ahok, sebaiknya Junimart melaporkannya ke KPK agar tidak menimbulkan polemik dan fitnah di publik. "Harusnya kalau benar adanya aliran dana ke teman Ahok disampaikan langsung ke KPK secara langsung agar tidak menjadi polemik di publik," tegasnya.

Menurutnya, Junimart adalah seorang sosok advokat senior dan paham soal hukum. Bila ia mengetahui aliran dana tersebut seharusnya tidak perlu dimunculkan ke publik sebelum dirinya melaporkan pada KPK sehingga tidak menjadi polemik .

"Jika benar nantinya hasil laporan dari KPK ada temuan aliran dana Rp30 miliar dari pengembang ke Teman Ahok, kita juga setuju harus ditindak tegas," ujarnya.

Seperti diketahui, informasi dugaan aliran dana ke Teman Ahok tersebut disebutkan oleh Junimart kepada jajaran pimpinan KPK ketika rapat bersama pada Rabu (15/6).

Sementara itu, juru bicara Relawan Teman Ahok, Singgih Widyastomo, mengaku kesal dengan adanya kabar soal adanya aliran dana sebesar Rp30 miliar yang masuk ke Teman Ahok dari pengembang proyek reklamasi Teluk Jakarta untuk mendanai biaya operasional relawan pendukung Ahok. "Banyak yang fitnah kami, ada yang bilang kami dapat Rp30 miliar," kata Singgih di Jakarta, beberapa waktu lalu.

REFORMASI SISTEM PEMILU - Senada dengan Donal Fariz, peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Heroik Pratama menyatakan perlunya mengapresiasi gerakan-gerakan relawan yang muncul menjelang pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Kemunculan relawan merupakan pilihan alternatif di tengah menipisya kepercayaan publik terhadap partai politik.

Kemunculannya sebagai alternatif pilihan seharusnya tidak dipengaruhi oleh isu yang marak belakangan ini kepada Teman Ahok. "Tetaplah menjaga semangat voluntarisme," kata Heroik.

Melihat polemik itu, Heroik menyarankan perlunya menata kembali sistem pemilu di Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, masih memiliki kelemahan sehingga perlu diterjemahkan ulang seperti pada soal definisi kampanye. Menurutnya, kampanye dalam UU Pilkada dipahami terlalu sempit sehingga perlu diperluas maknanya.

"Kampanye tidak hanya pada tahapan pemilu tetapi jauh-jauh hari ketika dia mencitrakan diri itu terklasifikasi sebagai kampanye," ungkap Heroik.

Dalam waktu dekat, perlu didorong agar KPU juga mengatur secara spesifik kegiatan relawan terutama soal keuangannya ke dalam Peraturan KPU. "Kelompok relawan melaporkan dana relawan mulai dari sebelum tahapan sampai tahapan pilkada. Nanti melalui kandidat dilaporkan dana dari mana dan untuk apa digunakan," tukasnya. (Agus Irawan)

BACA JUGA: