JAKARTA, GRESNEWS.COM – Tak perlu menunggu satu tahun pemberlakuan Undang-undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Begitu disahkan sejumlah pihak berebut untuk menggugat UU ini. Sebelumnya organisasi kemasyarakatan seperti Muhammadiyah juga melakukan gugatan atas lahirnya UU yang dinilai mengancam kebebasan beorganisasi.

Kini Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB) menempuh langkah yang sama dengan mengajukan uji materi Undang Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) ke Mahkamah Konstitusi (MK), akhir tahun lalu. Tim Advokasi KKB ini menilai UU Ormas telah mengancam kebebasan berserikat. Padahal kebebasan berserikat telah dijamin Undang Undang Dasar 1945.

Para pemohon Koalisi yang terdiri dari Yayasan FITRA Sumatera Utara, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perkumpulan Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Yayasan Penguatan Partisipasi Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA), serta pemohon individu, Said Iqbal, Choirul Anam, dan Poengky Indarti, mengajukan 11 pasal untuk diuji.Pasal-pasal itu Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 6, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 23, Pasal 29 ayat 1, Pasal 42 ayat 2, Pasal 57 ayat 2 dan 3, serta Pasal 59 ayat 2.

“Kesebelas pasal tersebut telah mengekang dan merugikan hak-hak konstitusional lantaran menciptakan ketidakpastian hukum, melahirkan penafsiran yang ambigu, tidak jelas, dan multitafsir,” kata Koordinator Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB) Fransisca Fitri kepada Gresnews.com, di Jakarta.

Berikut enam alasan KKB menolak UU Ormas, pertama, Definisi Ormas Sangat Umum, Membelenggu Semua Bentuk dan Bidang Kemasyarakatan. Definisi ormas dalam Pasal 1 yang serba mencakup, “…organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan NKRI yang berdasarkan Pancasila”, akan memasukkan organisasi bersifat sosial atau nonprofit, asosiasi atau perkumpulan keilmuan/profesi/hobby baik beriuran ataupun tidak, pengajian, paguyuban keluarga, yayasan yang mengelola lembaga pendidikan dan rumah sakit, panti asuhan, dan masih banyak lagi.

Dampaknya tentu ada benturan dengan definisi dan ruang lingkup badan hukum lain, karena Indonesia sudah memiliki UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dan Staadsblad 1870-64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum (Rechtpersoonlijkheid van Verenegingen).

Kedua, UU Ormas Mengecualikan Organisasi Sayap Partai Politik. Kontradiktif dengan definisi yang serba mencakup, UU Ormas membuat pengecualian untuk organisasi sayap partai politik dalam Pasal 4 yang berbunyi “Ormas bersifat sukarela, sosial, mandiri, nirlaba, demokratis, dan bukan merupakan organisasi sayap partai politik”.

Padahal undang-undang tentang bentuk-bentuk badan hukum dalam pernyataan nomor 1, mengatur sangat lengkap tentang pendirian, tata kelola internal, akuntabilitas dan transparansi, larangan, hingga sanksi. Sangat jauh berbeda dengan pengaturan organisasi sayap partai politik hanya disebut dalam satu kalimat di dalam UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik “Partai politik berhak....membentuk dan memiliki organisasi sayap partai” (Pasal 12 huruf j).

Lantas, mengapa hanya organisasi sayap partai politik yang dikecualikan secara eksplisit dari UU Ormas? Sementara aturan hukum bagi mereka jauh dari memadai. Apakah kepatuhan pada Pancasila dan NKRI, kondisi tata kelola internal, akuntabilitas dan transparansi mereka sudah tidak perlu diragukan lagi? ataukah ini skema pengamanan diri partai politik saat menghadapi Pileg 2014 lalu?

Ketiga, UU Ormas Menyempitkan Amanat UUD 1945 dan Membangkitkan Momok Represi Gaya Orde Baru. Pasal 10 menyatakan Ormas dapat berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum. Untuk apa? Badan hukum organisasi telah diatur dalam undang undang tersendiri. Pasal ini justru menyempitkan amanat UUD 1945 tentang kemerdekaan berserikat dan berorganisasi hanya menjadi “Ormas”. “Harus kita sadari, bentuk Ormas tidaklah dikenal dalam kerangka hukum yang benar,” jelasnya.

Fransisca menuding UU Ormas merupakan kreasi rezim Orde Baru yang bertujuan mengontrol dinamika organisasi masyarakat di Indonesia. UU Ormas lahir dengan semangat mengontrol dan merepresi dinamika organisasi masyarakat. UU Ormas juga memuat ancaman pembekuan dan pembubaran yang represif tanpa mensyaratkan proses pengadilan yang adil dan berimbang.

Bentuk ancaman yang dibangkitkan kembali dalam UU Ormas ini “Dalam hal peringatan tertulis kedua dan/atau peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat 5 tidak dipatuhi, Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat menjatuhkan sanksi penghentian sementara kegiatan” (Pasal 62 ayat (7)).

Keempat, UU Ormas Mengembalikan Politik sebagai Panglima. Menurutnya, RUU Ormas akan menyeret seluruh bentuk organisasi sosial, keagamaan, hingga kemanusiaan ke ranah politik di bawah pengawasan Kementerian Dalam Negeri, khususnya Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol). Indonesia adalah negara hukum, pendekatan hukumlah yang perlu dikedepankan. Pengaturan mengenai organisasi berbasiskan keanggotaan mestinya diatur melalui RUU Perkumpulan yang sudah disiapkan oleh Kementerian Hukum dan HAM dan telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010-2014.

Kelima, UU Ormas Memukul Rata dan Akan Menimbulkan Kekacauan Mendasar Jika Disahkan. Dengan memasukkan badan hukum yayasan ke dalam kategori Ormas, Pemerintah dan DPR jelas tidak memahami produk hukum yang dilahirkannya sendiri.

UU Yayasan dengan jelas mengatur yayasan sebagai badan hukum tanpa anggota. Jika RUU Ormas disahkan, maka ribuan Yayasan (rumah sakit, sekolah, panti asuhan, pesantren, CSR, lembaga amil zakat, dlsb) akan terseret ke ranah politik dengan dikategorikan sebagai Ormas di bawah kendali pengawasan Pemerintah.

Keenam, Persyaratan Administrasi Menjadi Instrumen Penghambat Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul (Pasal 16). Ormas tidak berbadan hukum harus mendapatkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dari Pemerintah (Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota) agar bisa menjalankan aktivitasnya. Ormas akan dilarang melakukan kegiatan apabila tidak memiliki SKT.

Sementara untuk mendapatkan selembar SKT, Ormas harus memenuhi persyaratan administrasi seperti memiliki AD/ART atau akta pendirian yang dikeluarkan oleh notaris yang memuat AD/ART, program kerja, kepengurusan, surat keterangan domisili, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama Ormas. Kemudia, surat pernyataan bukan organisasi sayap partai politik, surat pernyataan tidak dalam sengketa kepengurusan/perkara pengadilan, dan surat pernyataan kesanggupan melaporkan kegiatan.

“Sungguh luar biasa proses birokratisasi untuk bisa menjalankan kemerdekaan berserikat dan berkumpul, sindirnya.

Ketujuh, UU Ormas Memuat Serangkaian Pasal Larangan yang Multitafsir (Pasal 61). UU Ormas memuat serangkaian larangan yang berpeluang disalahgunakan sesuai selera penguasa. Organisasi sosial keagamaan akan dilarang untuk menerima sumbangan berupa uang, barang, ataupun jasa dari pihak mana pun tanpa mencantumkan identitas yang jelas.

Pasal larangan ini mengancam keberadaan organisasi sosial keagamaan yang biasa menerima donasi tanpa identitas jelas, dan pada sisi lain bisa mematikan jiwa filantropi masyarakat Indonesia.

Organisasi anti korupsi yang sedang menyuarakan upaya penindakan terhadap pejabat publik yang korup bisa saja dianggap sebagai organisasi yang membahayakan keselamatan negara.

Organisasi yang mengkampanyekan perlawanan pelanggaran HAM berat kepada dunia internasional, bisa saja dianggap sebagai organisasi yang melakukan kegiatan yang mengancam, mengganggu, dan/atau membahayakan keutuhan dan kedaulatan NKRI.

Organisasi yang menerima dana asing, misalnya dari lembaga kerja sama internasional, badan PBB, funding agency, secara kelembagaan atau perorangan, bisa saja dilarang karena dianggap sebagai kaki tangan asing dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Organisasi media, pers, wartawan, atau jurnalis akan terancam melanggar pasal larangan menganut, mengembangkan, atau menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila. Yang dimaksud dengan “ajaran dan paham yang bertentangan dengan Pancasila.

Antara lain ajaran atau paham Komunisme, Marxisme, Leninisme, Kapitalisme, dan Liberalisme. Sebagai media, wartawan, dan jurnalis yang profesional serta hidup dalam sistem yang demokratis adalah kewajiban untuk menyajikan informasi dari berbagai sudut pandang agar pembaca memperoleh informasi yang komprehensif guna meningkatkan pengetahuan dan kesejahteraan hidupnya. “Oleh karena itu RUU Ormas harus ditolak dan dibatalkan,” tegasnya.

Pihak pemerintah sendiri belakangan membantah tudingan para pemohon yang menyebutkan lahirnya UU Ormas merupakan cara pemerintah untuk membatasi kebebasan berserikat dan berkumpul.

Kepala Sub Direktorat Organisasi Masyarakat (Kasubdit Ormas), Direktorat Jenderal (Ditjen) Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Bachtiar meminta agar seluruh organisasi masyarakat yang ada mematuhi ketentuan UU Ormas yang mewajibkan setiap organisasi terdata dan tercatat secara hukum. Alasannya, cara ini semata bertujuan untuk memperkuat kedudukan organisasi masyarakat.

“Pemerintah menyayangkan masih banyaknya ormas yang tidak terdaftar. Jika dikalkulasikan, maka jumlah yang tidak terdaftar bisa sepuluh kali lebih banyak dari yang sudah terdaftar,” kata Bachtiar menyampaikan keterangan pemerintah pada sidang mendengarkan keterangan saksi di Mahmakah Konstitusi.

Pemerintah juga mengaku lahirnya UU Ormas tidak untuk membatasi ruang gerak ormas. Sebaliknya, UU Ormas justru memberikan kemudahan yang seluas-luasnya kepada ormas melakukan kegiatan di seluruh wilayah Indonesia. Bahkan, dapat membentuk cabang di luar negeri sesuai ketentuan Pasal 26 dan Pasal 27 UU Ormas.

Direktur Litigasi Kementerian Hukum dan HAM, Mualimin Abdi menjelaskan kategorisasi ruang lingkup ormas tidak dalam rangka untuk membatasi aktivitas dan pengembangan ormas. Menurutnya, UU Ormas telah harmonis dan sejalan dengan amanat Konstitusi maupun peraturan perundang-undangan lain seperti KUHP, KUHAP, KUHPerdata, UU Yayasan, UU Keterbukaan Informasi Publik, UU Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Anti Terorisme, UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, UU Hak Kekayaan Intelektual, dan UU Kepolisian Negara RI.

“UU Ormas memberi pilihan kepada masyarakat yang akan mendirikan ormas baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. Hal ini sesuai dengan ciri pemerintahan yang demokratis dengan memberikan kebebasan bagi warganya dalam membentuk ormas,” kata Mualimin saat membacakan keterangan pemerintah di Gedung MK pada Kamis 7 November 2013.

BACA JUGA: