JAKARTA, GRESNEWS.COM - Harapan pasangan Rano Karno-Embay Mulya Syarief untuk merebut posisi gubernur dan wakil gubernur Banten periode 2017-2022 rontok sudah. Pasalnya, gugatan Penyelesaian Hasil Pemilihan (PHP) Pilkada Banten 2017 yang mereka layangkan ke Mahkamah Konstitusi, dinyatakan tidak dapat diterima.

"Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima," kata Ketua MK Arief Hidayat membacakan amar putusan Nomor 45/PHP.GUB-VX/2017, Selasa (4/4).

Di dalam pertimbangannya, MK berpendapat, pasangan Rano-Embay dinyatakan tidak memiliki legal standing karena permohonannya tidak memenuhi ketentuan ambang batas yang diatur Pasal 158 ayat (1) huruf c UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) dan Pasal 7 ayat (1) huruf c Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2016.

Diketahui, Jumlah penduduk Provinsi Banten berdasarkan Data Agregat Kependudukan Per Kecamatan (DAK2) Semester II Tahun 2015 per tanggal 31 Desember 2015 adalah 10.083.370 jiwa. Sesuai ketentuan Pasal 158 UU Pilkada dan Pasal 7 ayat (1) huruf c PMK 1/2016, untuk dapat mengajukan gugatan PHP Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur ke MK, selisih perolehan suara antara pasangan Rano-Embay sebagai pemohon dengan pasangan Wahidin-Andika sebagai pihak terkait paling banyak sebesar 1% dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan KPU Provinsi Banten.

"Total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan KPU Provinsi Banten sebesar 4.732.536 suara, sehingga jumlah perbedaan perolehan suara antara Pemohon dengan Pihak Terkait adalah paling banyak 1%x 4.732.536= 47.325 suara," kata hakim konstitusi Aswanto, Selasa (4/4).

Adapun perolehan suara Rano-Embay adalah 2.321.323 suara, sedangkan perolehan suara Wahidin-Andika adalah 2.411.213 suara. Selisih perolehan suara keduanya adalah 89.890 suara, atau 1,90%.

Menanggapi putusan tersebut, Kuasa Hukum Rano-Embay, Sirra Prayuna, menyebut MK bersikap normatif dalam memutus perkara PHP yang dia ajukannya. "Berdasarkan norma-norma yang disampaikan tadi, pasangan Rano-Embay dinyatakan tidak memenuhi syarat atau tidak mempunyai legal standing sebagai pemohon karena selisih perolehan suaranya 1,9%. Saya kira itu pertimbangan normatif sekali," kata Sirra, Selasa (4/4).

Menurut Sirra, sebagai sebuah institusi yang bertugas menjaga konstitusi, MK semestinya berani menerabas ketentuan Pasal 158 UU Pilkada yang dijadikan salah satu acuan menentukan legal standing pemohon. Menurutnya, dalam Pilkada Banten 2017 lalu ada persoalan yang lebih substantif yang mestinya diperhatikan MK, ketimbang persoalan ambang batas suara.

"Dari aspek temuan-temuan pelanggaran yang kami temukan di Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Serang, saya berpandangan MK sebagai institusi penjaga konstitusi akan mempertimbangkan aspek nilai-nilai keadilan khususnya terkait dengan temuan pelanggaran dan kecurangan pemilu. Tapi faktanya hingga hari ini MK tidak bergeser dari ketentuan Pasal 158 itu," papar Sirra.

Disinggung apa yang akan dilakukan Rano-Embay maupun tim suksesnya pasca MK mengeluarkan putusan, Sirra memberi jawaban diplomatis. "Saya kira kami akan kaji lebih dulu, akan kami sampaikan kepada pihak prinsipal terkait putusan  majelis mahkamah. Kemudian nanti apa langkah-langkah ke depan, tentu perlu ada diskusi," pungkasnya.

Sementara itu, Kuasa Hukum Wahidin Halim-Andika Hazrumy, Ramdan Alamsyah, menyebut putusan MK  bentuk penegasan atas kemenangan Wahidin-Andika di Pilkada Banten 2017 lalu. Menurutnya, dengan putusan tersebut pihak Rano-Embay tidak punya celah lagi untuk melakukan gugatan atas kemenangan Wahidin-Andika.

"Seluruh proses hukum sudah dilakukan, mulai dari pencoblosan, pengumuman rekapitulasi KPU, hingga putusan MK. Ini  menjadikan kemenangan Wahidin-Andika sebagai kemenangan yang paripurna, yang super sempurna, karena sudah tidak ada lagi celah hukum yang menyatakan kemenangan kita adalah kemenangan yang tertunda," kata Ramdan, Selasa (4/4).

Terakhir, Ramdan berpesan agar pasangan Rano-Embay dan pendukungnya bisa menerima putusan MK dengan legowo. "(Rano dan Embay—red) harus bisa memberikan masukan kepada para pendukungnya bahwasanya Banten milik semua, bukan hanya pemilik pendukungnya Pak Wahidin tapi milik semua rakyat Banten terutama juga bagian daripada para pendukung Pak Rano. Mari kita sama-sama membangun," pungkasnya.
 

HANYA 7 PERKARA YANG LOLOS - Lepas dari perkara Penyelesaian Hasil Pemilihan (PHP) Provinsi Banten, MK sendiri telah menyatakan 40 perkara PHP yang masuk ke MK pasca Pilkada Serentak 2017 tidak bisa diterima.

Diketahui, dari 50 perkara PHP yang masuk, MK sudah memutus 43 perkara pada Senin (3/4) dan Selasa (4/4). Dalam kurun dua hari itu, 40 perkara dinyatakan tidak bisa diterima, 2 perkara (perkara Kabupaten Torikara dan Kabupaten Puncak Jaya) direkomendasikan untuk PSU (Pemilihan Suara Ulang) dan 1 perkara (Kabupaten Intan Jaya) direkomendasikan untuk Rekapitulasi Lanjutan.

Dari 40 perkara yang dinyatakan tidak dapat diterima, 26 perkara di antaranya kandas lantaran ketentuan Pasal 158 UU Pilkada. Sebelas perkara kandas karena norma 157 ayat (5) UU Pilkada (soal tenggang waktu penyerahan berkas permohonan), serta 3 perkara kandas karena norma 157 ayat (4), di mana permohonan diajukan oleh bukan pasangan calon.

Adapun 7 perkara PHP lainnya, yakni perkara PHP Kabupaten Maybrat, Provinsi Sulawesi Barat, Kota Yogyakarta, Kabupaten Gayo Lues, Kota Salatiga, Kabupaten Bombana, dan Kabupaten Takalar—dilanjutkan ke tahapan berikutnya tanpa terlebih dulu diputus melalui sidang dismisal.

Juru Bicara MK Fajar Laksono menerangkan, 7 perkara PHP di atas lolos ke tahap pembuktian karena MK menilai seluruh perkara tersebut tidak memiliki masalah prosedural.

"Paling tidak mereka lolos Pasal 158 dan pasal lain yang menyoal legal standing, misalnya soal tenggat waktu pengajuan permohonan, dan soal objek gugatan penetapan perolehan suara," kata Fajar, Selasa (4/4).


ALASAN MK - Sebelumnya, Fajar menerangkan, MK berkeras menaati norma Pasal 158 dengan dalih menegakkan konstitusi. Menurutnya, Pasal 158 yang ada di UU Nomor 10 Tahun 2016 tidak ada bedanya dengan Pasal 158 dalam UU Nomor 8 Tahun 2015. Aturan itulah yang kemudian dijadikan dasar hukum bagi MK untuk mengeluarkan PMK Nomor 1 Tahun 2017. "Tidak ada kewenangan bagi MK untuk melabrak batasan-batasan. UU Pilkada mengaturnya seperti itu, makanya dalam melaksanakan kewenangan ini MK tunduk pada ketentuan UU Pilkada," terang Fajar.

Fajar pun menyebut jika MK diminta untuk melabrak ketentuan Pasal 158 dengan dalih demi memenuhi keadilan substantif, langsung tidak langsung MK justru malah menimbulkan ketidakadilan sekaligus problem hukum yang serius.

"Kalau kali ini MK melabrak Pasal 158, maka sama saja MK mengingkari pendirian putusan-putusan terdahulu. Baik PUU maupun PHP.  Melabrak Pasal 158 juga sama dengan memperlakukan secara tidak adil pihak-pihak yang sekarang tidak mengajukan permohonan ke MK karena menyadari aturan Pasal 158 itu," paparnya.

Fajar juga menambahkan, di dalam UU Pilkada, MK diatur bahwa dalam menyelesaikan perselisihan Pilkada, MK punya porsi sendiri sebagaimana lembaga lain memiliki porsinya masing-masing. Sebagai contoh, KPU punya kewenangan untuk menyelesaikan pelanggaran administratif, Gakkumdu berwenang untuk menyelesaikan pidana-pidana di dalam Pilkada. Atau DKKP yang berwenang memeriksa persoalan etik.

Begitu pula MK yang kewenangannya sebatas mengadili penetapan perolehan suara. Kecurangan-kecurangan yang bersifat TSM itu sebetulnya sudah menjadi bagian dari kewenangan lembaga lain, yakni Bawaslu atau Panwas.  "Kalau kemudian MK dipaksa-paksa untuk mengadili soal kecurangan itu, maka sama juga MK menyerobot kewenangan lembaga-lembaga yang sudah disediakan pembentuk UU,” pungkasnya.

Lepas dari penjelasan Fajar, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-XIII/2015, majelis hakim MK juga menjelaskan bahwa rasionalitas ditetapkannya Pasal 158 adalah bagian dari upaya pembentuk Undang-Undang mendorong terbangunnya etika dan budaya politik yang makin dewasa. "(Agar-red) seseorang yang turut serta dalam kontestasi Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota tidak serta-merta menggugat suatu hasil pemilihan ke Mahkamah Konstitusi dengan perhitungan yang sulit diterima penalaran yang wajar," demikian bunyi salah satu petikan pertimbangan hukum MK.(Zulkifli Songyanan)

BACA JUGA: