JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sempat diwarnai kericuhan, rapat paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) akhirnya memutuskan untuk kembali kepada aturan yang tercantum dalam Tata Tertib DPD Tahun 2017 dan langsung melakukan pemilihan Ketua DPD RI yang baru. Berdasarkan pemilihan tersebut, Oesman Sapta Odang akhirnya terpilih menjadi Ketua DPD dengan didampingi oleh Damayanti Lubis (perwakilan Indonesia Bagian Barat dan Nono Sampono (perwakilan Indonesia Bagian Timur sebagai wakil ketua.

Oesman Sapta Odang yang merupakan calon yang diajukan Indonesia wilayah Tengah akhirnya didapuk menjadi ketua DPD RI setelah dipilih secara aklamasi oleh para anggota DPD. Kemudian Nono Sampono sebagai wakil ketua I dan Damayanti Lubis wakil ketua II. Pimpinan yang baru ini menggantikan pimpinan yang lama yaitu Mohammad Saleh (Ketua DPD), Gusti Kanjeng Ratu Hemas dan Farouk Muhammad keduanya sebagai wakil DPD RI.

"Menetapkan Oesman sebagai Ketua DPD RI wakil ketua I Damayanti Lubis sebagai wakil ketua II," kata pimpinan sidang sementara, Riri saat membacakan hasil keputusan pemilihan ketua DPD RI, Selasa (4/3).

Oesman Sapta Odang saat diminta komentarnya usai terpilihnya menjadi DPD RI mengatakan, pertama akan melakukan koordinasi terkait posisi barunya ke pimpinan MPR. Maklum, saat ini posisi Oesman Sapta adalah bagian dari pimpinan di MPR yaitu sebagai salah satu wakil ketua. Kemungkinan, Oesman akan mundur dari jabatannya di MPR.

Sementara itu, terkait soal putusan MA soal tata tertib DPD yang mengatur masa jabatan pimpinan DPD yang ditetapkan MA berlaku selama 5 tahun, Oesman mempertimbangkan untuk mengakomodirnya. Soal putusan MA itu sendiri memang membuat kepemimpinan Oesman di DPD menjadi kontroversi.

Pasalnya, pemilihan pimpinan DPD yang menghasilkan kepemimpinan Oesman Sapta Odang ini, dilakukan berdasarkan Peraturan DPD RI Nomor 1 Tahun 2016 tentang Tatib, yang salah satu poinnya adalah pemotongan masa jabatan pimpinan DPD dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun.

Berdasarkan tatib itu, maka DPD pada tanggal 3 April memang harus melaksanakan pemilihan pimpinan baru. Yang jadi masalah, Tatib 2016 itu kemudian digugat oleh 10 anggota DPD ke Mahkamah Agung. Dan menjelang pemilihan, keluar putusan MA yang menegaskan, mencabut Tatib DPR 2016 dan mengembalikan aturan pimpinan DPD berlangsung selama 5 tahun.

Persoalan ini pula yang membuat sidang paripurna pemilihan pimpinan DPD berjalan alot. Di awal sidang, para anggota DPD tak bisa bersepakat soal putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 20 P/Hum/2017 tertanggal 29 Maret 2017 yang membatalkan Tatib DPD tahun 2016 itu.

Sebagian setuju menggunakan acuan Tatib 2016, sehingga mereka mendesak dilaksanakan pemilihan pimpinan DPD baru. Sebagian lagi menolak dan berpegang pada putusan MA bahwa kepemimpinan DPD berlangsung selama 5 tahun yang artinya tidak perlu ada pemilihan.

Suasana tambah panas lantaran Wakil Ketua DPD Gusti Kanjeng Ratu Hemas yang memimpin rapat, secara sepihak mengembalikan acuan aturan pada Tatib DPD 2014 dengan alasan Tatib 2016 sudah dibatalkan MA. Alhasil, kepemimpinan lama tidak akan berganti. "Karena adanya putusan MA nomor 20 dan putusan Nomor 38 maka untuk Tatib 2014 berlaku. Berarti saya kira sudah tetap lima tahun," kata GKR Hemas.

Namun keputusan ini ditentang oleh anggota DPD lainnya. Anggota DPD RI asal Aceh Fahrur Razi menilai keputusan GKR Hemas dengan mengembalikan ke Tatib 2014 sarat dengan pelanggaran. Pasalnya, Hemas mengambil keputusan tanpa melalui mekanisme yang lazim dalam peraidangan yakni dengan masyawarah atau melalui jalur voting.

"Pimpinan DPD yang dipimpin Ibu Hemas tidak menunjukkan kenegarawanan dalam memimpin rapat. Ini merupakan sikap yang tidak demokratis," kata Rozi kepada wartawan saat persidangan diskors.

Lebih jauh, Razi mengungkapkan putusan Mahkamah Agung yang membatalkan Tatib 2016 dan 2017 tidak bisa berlaku secara otomatis. Menurutnya, keputusan itu mesti dieksekusi terlebih dahulu melalui mekanisme paripurna. Konsekuensinya, kalau Tatib 2017 dibatalkan maka akan kembali ke Tatib 2014. Namun, dalam putusan MA tersebut juga tidak memerintah untuk kembali ke Tatib nomor 1 tahun 2014.

Dia juga mengaku belum mendapat salinan resmi dari MA yang langsung ditandatangi oleh MA. Razi sendiri mengaku tidak keberatan untuk kembali ke Tatib 2014. Hanya saja, yang dilakukan Hemas dengan memutuskan kembali ke Tatib 2014 tanpa melalui prosedur yang baik dengan musyawarah. "Untuk menjalankan putusan MA harus dieksekusi dulu melalui mekanisme paripurna," terang Razi.

PIMPINAN BARU DIPERTANYAKAN - Keputusan Hemas tersebut kemudian dianulir oleh pimpinan sidang yang baru, Farouk Muhammad karena mayoritas anggota DPD mengaku keberatan atas keputusan Hemas yang dinilai memutuskan secara sepihak. Namun kepemimpinan Farouk juga belum bisa memutuskan mekanisme pemilihan pimpinan baru hingga kepemimpinan sidang Farouk demisioner, pada pukul 00.00.

Rapat kemudian berlanjut pada Selasa (4/4) dinihari dan kepemimpinan berganti lagi kepada AM Fatwa dan Rini Damayanti John Latief. Akhirnya para anggota DPD pun sepakat untuk mengusung agenda pemilihan pimpinan baru. "Dengan ini sidang pemilihan pimpinan dilanjutkan," ujar AM Fatwa.

Keputusan tersebut berdasarkan surat putusan DPD tanggal 9 Maret 2017 yang menyatakan masa jabatan pimpinan DPD berkahir pada tanggal 3 April 2017. Surat tersebut diteken GKR Hemas, Farouk, dan Ketua DPD Mohammad Saleh.

Sebelumnya, usai meletakkan jabatan, Farouk langsung meninggalkan ruang sidang. Rapat ini merupakan agenda tambahan setelah pembacaan surat putusan MA terkait pergantian pimpinan. Farouk menyatakan para anggota dianggap sudah membaca surat tersebut. "Anggota DPD dianggap sudah membaca putusan tersebut," ujar Farouk sebelum meninggalkan lokasi.

Dari proses itu, maka kemudian terpilihlah kepemimpinan baru di bawah Oesman Sapta Odang. Lucunya, saat ditanya, soal putusan MA terkait masa jabatan pimpinan DPD ditetapkan selama 5 tahun, Oesman mengaku akan mengakomodirnya.

"Boleh saja nanti kita bahas kembali. Kita adakan paripurna baru, tatib baru yang memenuhi keinginan MA tersebut," ujar Oesman di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (4/4) dini hari.

Pria yang menjabat sebagai Ketum Hanura ini enggan berkomentar soal terpilihnya sebagai ketua DPD melanggar putusan MA. "Saya nggak tahu, saya kan baru," jelas Oesman.

Oesman sendiri akan disumpah siang ini. Namun mengingat kontroversi pemilihannya, yaitu diakukan setelah ada putusan MA yang mengembalikan masa jabatan pimpinan DPD lima tahun, bisa jadi kepemimpinan akan rentan secara hukum. MA mungkin saja tak akan mengambil sumpah Oesman Sapta Odang.

MASYARAKAT MUAK - Menanggapi kisruh pemilihan pimpinan DPD ini, Direktur Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Sebastian Salang menyayangkannya. Menurut Sebastian, DPD baru terdengar kiprahnya saat ada berita negatif menghinggapi lembaga tersebut. Malahan, dia juga menyebut bahwa DPD belum pernah menorehkan catatan keberhasilan atas isu daerah yang diperjuangkan sejak didirikan pada tahun 2004 lalu.

"Seperti bayi, lembaga ini (DPD) terus merengek minta belas kasihan agar kekuasaannya ditambah. Dengan kewenangan yang minim saja, tak ada prestasi yang bisa ditunjukkan. Padahal isu daerah, masalah perbatasan seabrek. Kericuhan hari ini (kemarin), semakin menambah rasa muak publik pada lembaga ini. Oleh karena, mereka sibuk bahkan sampai adu jotos demi merebut kekuasaan," ujar Sebastian, Senin (3/4) malam.

Keberadaan DPD, lanjut Sebastian, tidak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat di daerah, sebab belum pernah terasa aspirasi dan kepentingan daerah diperjuangkan di tingkat nasional. Dia malah menyarankan agar keberadaan DPD dikaji ulang. Apalagi saat ini sudah banyak anggota DPD yang bergabung dengan partai politik.

"Dengan rangkaian persoalan yang menimpa lembaga itu, rasanya perlu untuk evaluasi secara serius keberadaannya (DPD), masih perlu atau tidak. kalau masih perlu, diperkuat kewenangannya. Sebaliknya, jika tidak ya dibubarkan saja. Toh mayoritas anggotanya kini telah bergabung di partai politik. Sisanya, para penikmat kekuasaan yang senang berada di zona nyaman," tuturnya.

Sementara salah satu peneliti Formappi, Lucius Karus, menyebut bahwa kisruh yang dipertontonkan DPD dalam sidang paripurna berkaitan dengan banyaknya anggota DPD yang bergabung ke partai politik. Hal tersebut akhirnya membuat DPD menjadi medan pertempuran kepentingan. "Ketika sebagian besar anggota DPD menjadi bagian dari parpol, maka hampir pasti corak politik yang akan menjadi dasar pembuatan keputusan," ujar Lucius.

Dengan menguasai posisi pimpinan DPD, lanjutnya, banyak peluang yang bisa dimanfaatkan politisi untuk kepentingan politiknya. Apalagi, menurut Lucius, kursi pimpinan DPD adalah posisi yang strategis. Karena itu, kepentingan partai politik yang membuat posisi pimpinan dan jabatan DPD dianggap sesuatu yang mahal dan harus diperjuangkan.

"Kepentingan parpol yang membuat kursi dan jabatan DPD dianggap sesuatu yang mahal dan membuat perebutan kursi pimpinan menjadi sesuatu yang mutlak diperjuangkan. Itulah yang saya lihat menjadi latar belakang kekisruhan DPD pada paripurna kemarin," tutupnya. (dtc)

BACA JUGA: