JAKARTA, GRESNEWS.COM - Suasana sejuk di Partai Golkar pasca dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-02.AH.11.01 pada 28 Januari 2016 tentang pengesahan kembali SK Menkumham Nomor M.HH-21.AH.11.01 Tahun 2012 tentang Komposisi DPP Partai Golkar hasil Munas Riau 2009 sepertinya tak bakal berlangsung lama. Sejatinya pasca pengesahan itu yang mendudukkan kembali Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum, Idrus Marham menjabat sebagai Sekjen, dan Agung Laksono menjadi Wakil Ketua Umum, Golkar bakal menggelar musyawarah nasional luar bisa untuk memilih ketua umum baru.

Namun ternyata, pelaksanaan munaslub yang rencananya akan digelar 23-26 Mei mendatang, banyak digoncang manuver diinternal Golkar sendiri. Isu paling utama adalah soal kewajiban setoran Rp1 miliar untuk para calon ketua umum yang disinyalir bakal membuat suasana pra munaslub bakal panas dan berpotensi memundurkan jadwal munaslub atau bahkan membatalkannya. Kedua adalah manuver tak diduga yang dilancarkan salah satu politisi senior Golkar Joeslin Nasution.

Joeslin yang sempat bermanuver mengambil alih kepemimpinan DPP Golkar beberapa waktu lalu kembali "berulah" dengan melayangkan gugatan hukum atas SK Menkum dan HAM yang mengesahkan kembali kepengurusan hasil Munas Riau 2009. Gugatan itu sudah dilayangkan pada Jumat (29/4) kemarin di Pengadilan Tata Usaha Negara, Jakarta.

Kuasa hukum Joeslin, Farhat Abbas dan Djoko Edhi Abdurrhman menyatakan pengesahan SK dengan menghidupkan kembali kepengurusan Munas Riau itu tidak menaati ketentuan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). Dia menegaskan, pihak Joeslin lewat gugatan itu meminta agar SK tersebut dinyatakan batal demi hukum lantaran pengesahan itu tidak diatur di dalam AD/ART.

Seharusnya, kata Farhat, Menteri Hukum dan HAM memberikan SK mandat kepada Joeslin Nasution sebagai Pelaksana Tugas Ketua DPP Golkar karena Joeslin yang sudah diberi mandat oleh dewan pendiri Partai Golkar. "SK menteri hukum dan HAM cacat hukum. Seharusnya menteri mengeluarkan SK mandat untuk melaksanakan munas yang diberikan kepada Joeslin Nasution oleh dewan pendiri," kata Farhat.

Lebih lanjut Farhat menjelaskan, tidak ada hak bagi siapa pun untuk mengatasnamakan Ketua Umum Partai Golkar. SK kepengurusan Agung Laksono ditolak dan diperintahkan dicabut yang telah dilakukan oleh pemerintah pada Desember 2015. Sedangkan kepengurusan Aburizal Bakrie ditolak putusannya di peradilan. "Dengan begitu, terjadi kekosongan kepemimpinan Partai Golkar," kata Farhat.

Menurut Farhat, apabila SK Menkum dan HAM itu tetap dilaksanakan dan tidak dicabut oleh Kementerian Hukum dan HAM maka pemerintah telah menyalahi aturan main dalam penyelesaian konflik partai politik. "Itu pelanggaran terhadap UU partai politik dan UU lainnya," terangnya.

Farhat merujuk pada Pasal 32 poin (1) Undang-Undang Partai Politik Nomor 2 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang menyatakan, perselisihan partai politik diselesaikan oleh internal partai politik sebagaimana diatur di dalam AD/ART.

Langkah Joeslin ini memang bukan manuver pertama kali untuk "menggugat" tampuk kepemimpinan Partai Golkar. Ketua DPP MKGR--salah satu sayap Golkar-- itu sebelumnya telah mengklaim diri sebagai Plt Ketua Umum Partai Golkar dengan Sekjen Bayu Seno Aji dengan dalih mendapat mandat dari pendiri Golkar untuk mengisi kekosongan kepengurusan Golkar.

Joeslin pun sempat mendaftarkan kepengurusannya itu kepada Dirjen Administrasi Hukum Umum Kemenkum-HAM tanggal 11 dan 18 Desember 2015 lalu, meski hingga kini tak ditanggapi. "Untuk kepastian hukum atas status keberadaan Plt kepengurusan Partai Golkar yang telah terbentuk dan telah diaktanotariskan kami minta Menkumham melalui Dirjen AHU segera mengesahkan SK Plt," kata Joeslin ketika itu.

UNTUNGKAN SIAPA? - Dengan manuver barunya itu, Joeslin memang berpotensi untuk bisa menggagalkan munaslub Partai Golkar yang sepertinya memang dilaksanakan dengan setengah hati oleh Golkar. Kubu Ical--panggilan akrab Aburizal Bakrie-- berkepentingan untuk mendudukkan Ical sebagai Ketua Dewan Pembina dalam munaslub ini. Dengan catatan, posisi tersebut diperkuat seperti di era Soeharto sehingga Ketua Dewan Pembina benar-benar menjadi penentu kebijakan partai yang dilaksanakan oleh ketua umum.

Tak heran jika kubu Ical bermanuver untuk pula mendudukkan Idrus Marham yang merupakan loyalis Ical sebagai ketua umum. Belakangan, setelah "bernegosiasi" dengan Jusuf Kalla dan Luhut Pandjaitan, ada dua nama baru yang dimasukkan sebagai kandidat yaitu Setya Novanto dan Aziz Syamsuddin yang juga loyalis Ical ditambah lagi nama Ade Komaruddin, Airlangga, dan Indra Utoyo yang diketahui juga merupakan loyalis Ical.

Hanya saja belakangan, situasi jadi sulit karena Akom dikabarkan bakal menjadi perpanjangan tangan kepentingan JK di Golkar. Sementara Setnov menjadi perpanjangan tangan Luhut. Tinggallah Ical memiliki Idrus yang justru dinilai paling lemah kedudukannya. Karena itulah manuver menjelang munaslub sangat kencang. Kabar berhembus, syarat setoran Rp1 miliar juga merupakan upaya untuk menyingkirkan calon potensial lain di luar calon yang bisa dikendalikan Ical.

Lantas dimana kepentingan kubu Agung? Di sinilah diduga langkah Joeslin bisa menguntungkan Agung. Kubu Agung sendiri kabarnya memang tak sepenuh hati menjalankan munaslub yang sudah "dikuasai" kubu Ical. Karena itu ada upaya juga dari kubu Agung untuk "mengaborsi" munaslub.

Dari sisi ini, gugatan yang diajukan Joeslin bisa saja menunda atau membatalkan munaslub atau bisa menjadi daya "tawar" kubu Agung agar kubu Ical tetap mengakomodasi kepentingannya. Untuk diketahui, Joeslin sendiri termasuk "barisan sakit hati" Golkar yang pernah dipecat oleh kubu Munas Bali karena bergabung dalam Tim Penyelamat Partai Golkar (TPPG).

Ada beberapa kader Golkar di TPPG yang "dipecat" Ical yaitu: Ace Hasan Syadzily, Lamhot Sinaga, Melchias Markus Mekeng, Agun Gunandjar, Zainuddin Amali, Laurence Siburian, Andi Sinulingga, Leo Nababan, Agung Laksono, Priyo Budi Santoso, Yorrys Raweyai, Ibnu Munzir, Ricky Rahmadi Kusumonegoro, Djasri Marin, dan tentunya Joeslin Nasution sendiri.

Kelompok inilah yang kemudian menjadi cikal-bakal lahirnya kubu Munas Ancol yang melahirkan kepengurusan Agung Laksono. Karena itu, bisa jadi langkah Joeslin ini memang menguntungkan kubu Agung jika memang bisa menunda pelaksanaan munaslub.

Terkait gugatan ini, pengamat hukum tata negara Universitas Tirtayasa Banten Firdaus mengatakan, langkah menteri Menkum HAM sudah sudah tepat kalau mengacu pada putusan Mahkamah Agung. Menkum dan HAM, kata dia, hanya menjalankan fungsi administrasi dari keputusan MA. "Menkum dan HAM mendasarkan putusan MA. Itu sudah pas," ujar Firdaus kepada gresnews.com, Senin (2/5).

Menurutnya, hasil Munas Riau yang diperpanjang masa waktunya sudah memiliki legitimasi untuk menyelanggarakan munaslub nanti. Kalaupun ada gugatan, itu tak menjadi persoalan karena memang PTUN berhak memeriksa sebuah putusan pejabat negara. "Itu sah-sah saja mengajukan gugatan," kata Firdaus.

IDRUS MUNDUR - Sementara itu, perkembangan terkini, di kubu Ical sendiri sedang mengalami sedikit "guncangan" karena salah satu "jagoan" Ical yaitu Idrus Marham mengundurkan diri. Pernyataan pengunduran itu disampaikan Idrus saat sambutan di sosialisasi Munaslub. Idrus saat itu mewakili Ketum Golkar Aburizal Bakrie untuk memberi sambutan. "Saya sudah menerima undangan dari SC, tapi saya menyatakan saya tidak maju (sebagai caketum)," kata Idrus di Kantor DPP Golkar, Slipi, Jakarta Barat, Senin (2/5).

Dia lalu menunjukkan bukunya yang berjudul ´Magnet Politik Partai Golkar´. Buku yang ditulis Idrus itu berisi pemikirannya yang diharapkan bisa dilanjutkan ketum berikutnya. "Saya serahkan buku ini ke SC untuk diserahkan ke caketum. Saya wakafkan pemikiran ini ke Partai Golkar," ucapnya.

Idrus beralasan sudah banyak calon yang lain dan yang terpenting gagasannya bisa dijalankan ketum terpilih. Gagasan yang dimaksud Idrus itu sudah dia tuangkan dalam tiga buku. "Saya berkesimpulan saya tidak perlu lagi maju karena teman-teman sudah cukup banyak dan memang dari awal yang penting gaggasan saya bisa dijalankan, tidak harus saya jadi," ungkapnya.

Mundurnya Idrus membuat langkah Aziz Syamsuddin diperkiran semakin lebar sebagai salah satu "loyalis Ical" untuk maju menjadi ketua umum. Belakangan Aziz juga mengeluarkan pernyataan yang berupaya menarik dukungan pemerintah.

Aziz menyatakan, Golkar akan mendukung pemerintah, seandainya terpilih menjadi ketua umum. "Sudah menjadi keputusan dalam Rapimnas Partai Golkar dan rapat konsultasi Partai Golkar bahwa Partai Golkar bersikap mendukung pemerintahan," kata Aziz di Kantor DPP Golkar, Slipi, Jakarta Barat, Senin (2/5).

Oleh sebab itu, Aziz tidak akan mengambil keputusan berbeda apabila menjadi ketum. Dukungan tetap akan diberikan. "Sudah menjadi keputusan partai tentu saya akan melanjutkan dan meningkatkan. Komitmen saya memastikan Golkar mendukung pemerintahan Jokowi-JK," ujar Sekretaris Fraksi Golkar di DPR ini.

Hanya saja, dua calon kuat lain yaitu Setnov dan Akom pun tak mau kalah "gertak". Keduanya juga terlihat mencoba mengambil hari Presiden Joko Widodo belakangan ini. Akom yang juga merupakan Ketua DPR juga menegaskan, Golkar akan terus bersama pemerintah.

"Pokoknya kita partai ini secara ideologis karya dengan kekaryaan. Partai ini dilahirkan tidak untuk melawan pemerintahan tetapi untuk mengelola pemerintahan," kata Ade di Kantor DPP Golkar, Slipi, Jakarta Pusat, Senin (2/5).

Sebagai Ketua DPR, Ade punya banyak kesempatan bertemu Presiden Joko Widodo. Banyak hal dibicarakan, termasuk soal pencalonannya untuk pucuk pimpinan Partai Golkar. "Ya setiap saat ketemu beliau. Kalau setiap saat ketemu beliau berarti ada banyak hal yang dibicarakan. Iya dong (juga soal Golkar)," ujarnya.

Pernyataan senada juga disampaikan Setya Novanto. Dia menegaskan berkomitmen membawa Golkar bekerja sama penuh dengan Pemerintahan Jokowi-JK. "Insya Allah kalau saya terpilih yang pertama saya lakukan, kita bekerjasama penuh dengan pemerintah Jokowi-JK," kata Novanto di Kantor DPP Golkar, Slipi, Jakarta Pusat, Senin (2/5). (dtc)

BACA JUGA: