JAKARTA, GRESNEWS.COM – Ketua umum incumbent PDIP dan Demokrat dituding membuat terhambatnya proses regenerasi kepemimpinan partai. Nama-nama sejumlah kader muda pun muncul dan menjadi sorotan publik. Diantaranya merupakan ‘putra mahkota’ atau anak dari masing-masing tokoh yang sebelumnya telah memimpin partai.

Namun sejumlah pengamat menilai ‘putra mahkota’ ini tak baik jika dipilih karena alasan keturunan figur perekat partai. Mereka seharusnya bisa bersaing berdasarkan kapasitas mereka.

Pengamat politik dari Universitas Padjajaran Idil Akbar mengatakan faktor yang membuat Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) masih popular diantara kader partainya karena faktor ketokohan mereka yang menjadi patron bagi kader. Sehingga memang sulit untuk menemukan kader yang sebanding atau lebih baik dari mereka termasuk ‘putra mahkota’ mereka sendiri seperti Puan Maharani dan Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas).

"Memang secara geneologis dan ideologis Puan dan Ibas memiliki hubungan paling relevan untuk menggantikan posisi Megawati dan SBY," ujar Idil pada Gresnews.com, Selasa (30/12).

Idil melanjutkan walaupun para ‘putra mahkota’ tersebut dipandang paling relevan, ia menilai tetap tidak cocok untuk sistem kepartaian yang modern seperti saat ini. Sebabnya sistem kepartaian modern lebih mengedepankan demokrasi dan bukan lagi oligarki. Tapi memang bukan berarti para ‘putra mahkota’ itu tidak bisa memimpin partainya masing-masing di masa mendatang.

Lebih lanjut, ia menjelaskan dalam konteks iklim demokrasi kepemimpinan partai tidak diturunkan dari hubungan darah. Lagipula ketokohan masing-masing ‘putra mahkota’ jelas belum bisa menandingi peran ketua umum masing-masing partai.

Pada titik ini, menurutnya baik Megawati maupun SBY harus berperan menyiapkan kader-kader potensial untuk menggantikan peran mereka ke depan. Ia menilai siapapun pengganti pucuk pimpinan partai yang terpenting kader potensial tersebut memiliki kompetensi dan kredibilitas membangun dan menjaga kontinuitas partai.

Senada dengan Idil, pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Jakarta Bakir Ihsan menuturkan seleksi suksesi dalam organisasi termasuk partai politik idelnya didasarkan pada sistem meritokrasi. Meritoktasi merupakan sistem politik yang menempatkan seseorang dalam jabatan tertentu sesuai dengan prestasi dan kemampuannya.

"Jadi siapapun yang berkualitas memiliki peluang yang sama untuk berkompetisi," ujar Bakir pada Gresnews.com, Selasa (30/12).

Bakir melanjutkan masyarakat kita memang masih cenderung menilai faktor trah atau keturunan sebagai nilai tambah untuk memilih pemimpinnya. Bahkan faktor trah seringkali justru mengalahkan faktor kualitas seseorang. Hal ini tentu akan merusak sistem kepartaian sebagai pilar demokrasi.

Lebih lanjut, kasus Demokrat dan PDIP memang hampir sama bahwa mereka masih bergantung pada sosok SBY dan Megawati. Sebabnya kedua tokoh itu merupakan tokoh sentral yang dapat meredam konflik. Tapi juga bisa menghambat proses regenerasi kepemimpinan. Persoalannnya adalah bagaimana sang tokoh tersebut member peluang kompetisi secara demokratis pada kadernya sehingga muncul pemimpin yang berkualitas.

Sebelumnya, PDIP dan Demokrat akan mengadakan kongres untuk memilih ketua umum pada 2015. Ketua umum incumbent diprediksi maju sebagai calon terkuat. Nama-nama alternatif lain seringkali muncul diantaranya mereka yang merupakan keturunan dari ketua umum yang telah menjabat saat ini. Diantaranya Puan Maharani yang merupakan anak dari Megawati. Lalu ‘putra mahkota’ lainnya adalah Ibas, anak dari SBY.

BACA JUGA: