JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pihak PT Pelabuhan Indonesia II mulai melancarkan perlawanan balik terhadap Panitia Khusus Pelindo II yang dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat. Setelah memainkan jurus somasi seperti yang dilakukan terhadap PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia, Pelindo juga mulai menyoal tuduhan berbohong terkait kepemilikan 51% saham Pelindo di anak usahanya yaitu PT Jakarta International Container Terminal (JICT).

Ketua Pansus Pelindo II Rieke Diah Pitaloka menuding Pelindo berbohong karena menurut penyelidikan Pansus, kepemilikan saham Pelindo II di JICT ternyata hanya 48,9 persen. Sebaliknya, pihak Pelindo II menuding pihak Pansus telah menekan pihak-pihak lain sehingga memberikan data yang salah.

Direktur Utama PT Jakarta International Container Terminal (JICT) Dani Rusli menegaskan tuduhan Pansus Pelindo II yang menyatakan direksinya telah melakukan kebohongan publik merupakan kesalahan. Ia menyatakan selama ini telah mematuhi peraturan pemerintah dalam administrasi perubahan komposisi saham pasca perpanjangan kontrak kerjasama pengelolaan antara Hutchison Port Holdings (HPH) dan PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) atau IPC.

"Pernyataan Pansus Pelindo II cukup membingungkan karena kami justru patuh dengan aturan pemerintah. Kan ada aturan administrasi yang mesti diikuti," katanya dalam pesan kepada gresnews.com, Minggu (29/11).

Ia menuding pihak Pansus tak mengerti aturan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Sistem elektronik pelayanan perizinan investasi tersebut terintegrasi antara BKPM dengan daerah untuk mempercepat dan memantau pelayanan perizinan investasi.

Perubahan kompisisi saham pada akta, kata Dani, juga harus melewati sistem portal tersebut. "Nah, untuk mengakses SPIPISE butuh hak akses, butuh waktu mengurusnya karena ada aturan yang harus diikuti sebelum bisa mengisi," katanya.

Dani menegaskan, sebelum perpanjangan kontrak kerjasama JICT pada Juli 2015, komposisi saham Hutchison Port Holdings (HPH) selaku penanam modal asing mencapai sebesar 51%. Sedangkan IPC selaku Penanam Modal Dalam Negeri (PMDN) sebesar 48,9%, dan Koperasi Pegawai Maritim (Kopegmar) 0,1%.

Pada perpanjangan kontrak di pertengahan tahun kemarin, komposisi kepemilikan saham di JICT telah berubah. IPC bertambah menjadi 50.9%, kepemilikan saham oleh Koperasi Pegawai Maritim (Kopegmar) tetap 0,1%, dan HPH turun menjadi 49%.

"Ini diatur dalam Pasal 7 butir 5 Amandemen Perjanjian Pemegang Saham PT JICT tanggal 5 Agustus 2014. Prosesnya masih jalan di BKPM," ujarnya.

Inilah yang, kata Dani, ditanggapi secara salah oleh Pansus Pelindo seolah-olah tak perubahan komposisi saham setelah perjanjian Agustus 2014. Padahal, kata Dani, proses perubahan akta itu memang masih berjalan alias masih dalam proses.

Setelah proses di BKPM selesai, perubahan kepemilikan saham akan diumumkan kepada karyawan dan publik sesuai dengan undang-undang yang berlaku selama 30 hari. "Setelahnya akan digelar RUPS dan akta notarisnya kemudian diajukan ke Menkumham untuk mendapat persetujuannya," ujarnya.

Namun komposisi Direksi dan Dewan Komisaris JICT telah sah berdasarkan Akta No. 1 tanggal 3 Agustus 2015 dn telah diberitahukan kepada Menkumham sesuai dengan Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Ia pun menyatakan tak bisa detail menjelaskan dalam pansus lantaran tak diberi kesempatan.

Dalam rapat Pansus Pelindo II, Dani juga mengaku ditekan untuk menandatangani berita acara yang menyepakati pencabutan surat keputusan Direksi JICT tentang rotasi pegawai. Namun hal tersebut tidak dilaksanakan olehnya lantaran menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas, hal tersebut merupakan kewenangan manajemen.

CURHAT RIEKE - Sebelumnya, usai rapat dengan pihak JICT, pada Rabu (25/11), Rieke memang langsung curhat soal isi rapat tersebut. Dia mengaku syok karena merasa dibohongi pihak Pelindo II terkait kepemilikan saham di JICT. "Saya kira lebih baik saya ceritakan yang terjadi di pansus hari ini," katanya dalam curhatan yang diterima gresnews.com, beberapa waktu lalu.

Rieke mengawali cerita dengan rumitnya keterangan yang diberikan pihak JICT terkait perpanjangan kontrak dengan HPH tersebut. Pihak JICT juga tidak membawa selembar dokumen pun untuk disampaikan kepada Pansus. Alhasil rapat yang seharusnya dimulai pukul 11.45 WIB pun diskors hingga pukul 14.00.

Pansus memberikan kesempatan kepada pihak Direksi JICT menyerahkan beberapa dokumen hari itu juga. Dokumen yang diminta adalah dokumen keuangan JICT 1999-2014 dan copy surat amandemen perjanjian perpanjangan kontrak JICT (yang sebenarnya pansus sudah miliki dan sudah dicek kepada Deutchs Bank, yang menyatakan dokumen kami benar). Anggota Pansus juga meminya data rekening dalam Dolar AS dan Rupiah.

Rapat dibuka kembali pukul 16.00 WIB, Di situ hadir pula Fuad Bawazier, mantan Menkeu, Mantan Dirjen Pajak, Mantan Dirjen Pengawasan BUMN. Karena Fuad terlanjut hadir, maka rapat dengan Fuad dilakukan satu forum dengan JICT.

Entah bagaimana, kata Rieke, dari dokumen yang diberikan ada dokumen yang ditandatangani 7 Juli 2015 (lengkap dengan surat notaris terkait komposisi Direksi dan Komisaris yang baru di JICT). Dari situlah, kata Rieke, dia tahu ada kebohongan yang telah dilakukan pihak Pelindo II terkait kepemilikan saham di JICT.

"Subhanallah, di dalam copy surat yang mereka serahkan tersebut ternyata membuktikan bahwa tidak ada perubahan komposisi saham yang selama ini digembar-gemborkan, perpanjangan kontrak JICT menguntungkan negara, karena sekarang saham Pelindo II menjadi mayoritas dari 48,9% menjadi 51%. Ternyata dalam surat tersebut jelas dinyatakan kepemilikan saham tidak berubah: Pelindo 48,9%, Koperasi pegawai 0,10%, dan Hutschinson (HPH) 51%," ujar Rieke.

Fuad Bawazier terduduk lemas bersandar, beliau lalu berkata. "Saya syok, saat masuk ke ruangan ini di kepala saya, saya masih percaya saham Indonesia 51%, ternyata dengan surat yang diserahkan Direksi JICT justru menjadi bukti telah terjadi kebohongan publik yang besar, ini ada indikasi perampokan uang negara, apalagi kontrak diperpanjang sebelum tenggat waktu habis (2019)," kata Fuad seperti diceritakan Rieke.

Fuad melanjutkan: "Dokumen perpanjangan kontrak awal yang saya baca 2019 tidak ada perpanjangan kontrak, dan JICT harusnya kembali menjadi milik Indonesia secara utuh. Dan dikontrak perpanjangan JICT, kontrak antara Pelindo II dan HPH, justru para pihak yang menandatangani hanya Pelindo II dan JICT sebagai anak perusahaan Pelindo II, tidak ada dari pihak HPH. Kontrak ini ilegal dan artinya perpanjangan harus batal," kata Fuad.

Fuad menyatakan, sudah tidak perlu ada perpanjangan kontrak dengan pihak asing untuk mengelola JICT. ""Selama ini pun yang mengoperasikan pun putra bangsa sendiri. Bahkan para direksi (Wakil Dirut dan Direktur Keuangan) meskipun perwakilan dari Hutschinson, mereka adalah WNI," tegas Fuad.

BERTENTANGAN - Keterangan Dani yang mengaku patuh pada hukum yang berlaku dan mengerti soal hukum ini memang agak bertentangan dengan kenyataan dalam rapat Pansus. Rieke menhatakan, ada pernyataan mengejutkan dari Direktur PT JICT yang tidak mengetahui tentang Undang-undang Pelayaran Nomor 17 Tahun 2008 yang mengatur tentang konsesi.

Pernyataan itu kemudian dikejar oleh anggota Pansus dari Fraksi Gerindra Nizar Zahro. Dia pun melontarkan pertanyaan tajam kepada Dani Rusli soal nasionalisme. "Apakah JICT setiap tahunnya diberikan pelajaran tentang nasionalisme kebangsaan? Sumber hukum yang wajib dijalankan salah satunya UUD 1945. Apakah pernah membaca Pasal 33 Ayat (1) dan (2)? Apakah pernah membaca UU No. 17 2008?" tanya Nizar.

Dani terkesan menjawab sekadarnya atas pertanyaan itu. Dia mengatakan secara prinsip ingat Pasal 33 UUD 1945 bahwa tana, air dikuasai negara untuk kepentingan rakyat. Namun jawaban lebih tegas diberikan Wakil Dirut JICT Riza Erivan. Dia menegaskan, tak pernah ada pendidikan bahwa konsesi dan perpanjangan harus dilakukan berdasarkan UU.

Lantaran rapat berjalan semakin tidak kondusif, maka rapat pun dihentikan. Pansus Pelindo II tetap pada keyakinannya bahwa pihak Pelindo II telah berbohong terkait perpanjangn kontrak itu.

Terkait masalah ini, pengamat perpajakan Yustinus Prastowo mengatakan, bisa saja alasan Pelindo II soal pengurusan akta perubahan komposisi saham Pelindo di JICT belum selesai ada benarnya. "Pengurusan data semacam ini memang cukup lama. Sebabnya lantaran harus berkoordinasi antar kementerian. Pembuatan akte bisa cepat di Kemenkumham tapi proses di BKPM ini yang bisa bertahun-tahun tak selesai," ujarnya kepada gresnews.com, Minggu (29/11).

Ia menceritakan perjalanan saat perpanjangan kotrak yang dimulai dari perubahan akta oleh notaris. Kemudian menuju pengesahan di Kemenkumham dan kementerian terkait, dalam hal ini kementerian perhubungan. Lalu menuju BKPM untuk persetujuaan investasi, di tahap inilah perusahaan banyak "bolak-balik" persyaratan formal. "Prosesnya memang bisa memakan waktu 6 bulan sampai 2 tahun," katanya.

Karena itu, Yustinus menyarakan, Pansus Pelindo II tidak sekadar melihat dokumen secara formal dari pihak Kemenhumham atau direksi. Dia menyarankan Pansus melihat substansi material perubahan sahamnya.

"Memang ada setoran modal atau tranfer melalui uang atau barang tidak, ketika mereka klaim sudah rekomposisi saham?" katanya.

Dengan melihat data-data itu, kata Yustinus, Pansus Pelindo bisa mengecek langsung kebenaran klaim pihak Pelindo II itu. Jika tidak ada transfer dimaksud, maka boleh jadi benar pihak Pelindo II telah berbohong.

Terkait lamanya proses dokumen seperti yang diklaim Dani, dia menilai dalam hal ada pihak-pihak yang harus bertanggung jawab. "Kemenkumham, Kementerian BUMN, dan BKPM, adalah pihak yang bertanggung jawab," pungkasnya.

BACA JUGA: