JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan tidak akan membuat kebijakan pengurangan subsidi Bahan Bakar Minyak. Alasannya waktu untuk menyusun keputusan mengurangi subsidi tidak akan cukup dengan sisa waktu 2,5 bulan pemerintahan SBY.

Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Chairul Tanjung (CT) pengurangan subsidi selayaknya dilakukan oleh pemerintahan yang terpilih sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Ia mengatakan pemerintah saat ini sedang menunggu keputusan dari Mahkamah Konstitusi untuk menentukan pemerintahan yang definitif. Setelah keputusan Mahkamah Konstitusi keluar, maka yang bisa dilakukan pemerintahan saat itu yaitu berkomunikasi dengan pemerintahan yang akan datang.

CT mengungkapkan langkah tersebut merupakan pesan dari Presiden SBY yang ingin membuat tradisi-tradisi yang berbeda yaitu dengan cara memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada pemimpin yang baru agar pada saat memimpin tidak perlu meraba-raba terhadap permasalahan yang ada.

"Kita tahu dari Soekarno ke Pak Harta, Pak Harto ke Pak Habibie, Pak Habibie ke Gusdur, Gusdur ke Mega, Mega ke Pak SBY. Itu praktis tidak pernah ada transisi yang betul-betul smooth. Oleh karena itu Pak SBY berpesan ingin membuat tradisi yang berbeda," kata CT, Jakarta, Jumat (1/8).

CT mengatakan subsidi BBM yang ada saat ini sudah terlampau besar jumlahnya dan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal itu juga menjadikan perekonomian nasional Indonesia menjadi tidak sehat. Menurutnya jika subsidi besar, anggaran yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan meningkatkan infrastruktur, kemudian mengurangi kemiskinan menjadi berkurang. Semua program pemerintah juga menjadi terhambat. Oleh karena itu pengurangan subsidi bahan bakar adalah suatu keharusan.

CT mengatakan kebijakan pengurangan subsidi BBM sebenarnya bisa ditempuh oleh pemerintahan saat ini dan bisa juga ditempuh oleh pemerintah yang akan datang. Dia menambahkan kebijakan pengurangan subsidi BBM juga bisa dilalukan sebagian ditempuh pada pemerintahan saat ini dan sebagian lagi kebijakannya ditempuh pemerintah yang akan datang. Artinya tidak ada sesuatu opsi yang tertutup untuk mengambil kebijakan mengurangi subsidi BBM.

"Semua terbuka jadi kita tunggu saja. Saya belum bisa bicara opsi yang akan dipilih sambil kita menunggu Presiden yang terpilih secara definitif, sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi yang sifat final dan mengikat," kata CT.

Sementara itu, pengamat energi dari Universitas Indonesia Iwa Garniwa menilai pekerjaan khusus pemerintahan yang akan datang di bidang energi adalah menurunkan subsidi BBM. Menurutnya masalah mendasar dari energi adalah subsidi yang terlalu besar.

Iwa menjelaskan persoalan energi sama saja membahas tentang renegosiasi. Saat ini kondisi trend permintaan energi khususnya minyak sedang mengalami penurunan, sedangkan gas mengalami kenaikkan karena harga gas lebih murah dari sepertiga harga minyak. Artinya trend Indonesia kedepan adalah mengurangi kebutuhan minyak dengan gas. Namun persoalannya 50 persen gas Indonesia sudah menjadi komoditi ekspor.

"Hal-hal ini yang menjadi PR (pekerjaan rumah). Salah satunya PR yang ingin renegosiasi kontrak. Kedua, stop dulu ekspor penuhi dulu kebutuhan dalam negeri," kata Iwa kepada Gresnews.com, Jakarta, Jumat (1/8).

Permasalahan lain menurut Iwa, adalah persoalaan transportasi. Menurutnya saat ini dalam masalah transportasi Indonesia terjebak bahwa minyak sebagai sumber energi transportasi. Padahal minyak selain harganya mahal, BPS (Badan Pusat Statistik) sudah memperkirakan kandungan minyak di Indonesia tinggal 11 tahun lagi. Untuk itu, sektor transportasi jangan menghabiskan minyak. Sehingga harus ada istilah konversi minyak ke gas.

"Nah jadi harus created bagaimana konsumen ini yang notabene transportasi mulai migrasi secara perlahan, terstruktur lima tahun lagi sehingga pada ujungnya nanti berubah alternatif bahan bakar transportasi ke gas. Jadi program ini sangat penting dalam rangka menurunkan subsidi," kata Iwa.

BACA JUGA: