JAKARTA, GRESNEWS.COM - Nahdlatul Ulama (NU) kini tengah menggelar muktamar ke-33 ditempat kelahiran organisasi ini pada pada 1-5 Agustus 2015. Dibuka langsung oleh kepala negara, Presiden Joko Widodo menunjukkan organisasi yang menghimpun para ulama di nusantara ini sebuah lembaga besar. Dengan pengikut lebih dari empat puluh juta umat Islam, NU sangat rentan ditarik-tarik dalam pusaran politik praktis.

Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Komunikasi Politik DPP Hanura Oktasari Sabil berpendapat bahwa melalui forum muktamar 2015, NU sudah saatnya untuk kembali mempertegas dirinya  kembali ke khittah perjuangan 1926 awal organisasi ini didirikan. Yaitu sebagai jamiiyah yang bergerak dibidang sosial dan kemasyarakatan.

NU yang selama ini di identikkan dengan kaum santri, kiai, ponpes dan organisasi bercorak tradisonal harus berani bertransformasi menjadi organisasi bercirikan pembaharu serta manajerial berbasis modern. "Namun tidak meninggalkan kekhasannya," ujar Oktasari dalam email yang diterima gresnews.com, Minggu (2/8).

NU harus konsisten dengan khittahnya yang telah di pertegas pada muktamar 1984 di Situbondo untuk tidak terlibat dalam politik praktis yang berorientasi kekuasaan. Politik NU adalah politik kebangsaan, politik kenegaraan dalam bingkai kebhinekaan dan NKRI.                   

Okta menilai dengan jumlah jamaahnya yang besar, NU akan selalu di tarik dan coba dimanfaatkan oleh berbagai kelompok kepentingan terutama partai politik untuk kebutuhan elektoralnya. Namun posisi NU  harus bisa menjaga jarak yang sama dengan semua parpol. Tidak seperti pengurus PBNU periode sekarang yang lebih menganak emaskan partai politik tertentu.                               

"Jamaah NU kan tidak hanya di PKB saja tapi banyak juga di parpol lainnya seperti di Hanura juga banyak kiai dan santri NU-nya"  tegas Okta.                           

NU harus  bisa mengayomi semua warganya apapun organisasi politiknya, dengan demikian nilai-nilai ideologi ahlulsunah waljamaah (aswaja) dan Islam rahmatan lil alamin-nya bisa mewarnai semua segi kehidupan berbangsa.  

Zannuba Arifah Chafsoh (Yenny Wahid) puteri kedua KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menegaskan memimpin organisasi sebesar NU, tidak boleh asal-asalan. Apalagi hanya menjadikannya sebagai batu loncatan politik, harus dihindari oleh siapapun yang aktif di ormas keagamaan ini.

"Mimpin NU jangan sampai sebagai batu loncatan saja. Apalagi batu loncatan politik. Naudzubillah min dzalik," ujar Yenny usai berziarah di makam ayahnya, Gus Dur di komplek Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur, Jumat (31/7) sore.

Menurut Yenny, NU rentan terhadap politik uang (money politics). "Memang NU juga tidak lepas dari fenomena yang menjangkiti seluruh bangsa, yaitu soal politik uang. Harus ada mekanisme yang menjawab itu," tegasnya.

Disinggung soal pencalonan pamannya, KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah), Yenny tidak menyatakan mendukung atau menolak. "Bagi kami, silakan saja. Siapapun berhak maju. Tapi persoalan tadi harus dijawab. Politik uang yang sudah menjangkiti warga NU harus dituntaskan," tandasnya.

Yenny menambahkan, jika NU sendiri dalam bermuktamar dan dalam pemilihannya cenderung pragmatis, masih juga tergiur dengan iming-iming pragmatisme dan uang, tentu sulit untuk membantu dalam pemberantasan korupsi. "Bagaimana bisa mendandani moral masyarakat, bagaimana mampu melawan korupsi di republik ini jika kita sendiri masih begitu," ujar Direktur The Wahid Institute Jakarta ini.

Ditanya tentang pro-kontra masalah mekanisme pemilihan melalui Ahlul Halli Wal Aqdi, Yenny memberi ruang para muktamirin untuk menentukannya. "Soal itu, terserah mekanismenya seperti apa," ujarnya diplomatis.

AHLUL HALLI AL ´AQDI - Dalam pemilihan ketua umum NU pada tahun ini, akan menggunakan metode Ahlul Halli Wal ´Aqdi. Gresnews.com mengutip dari situs resmi milik NU, kronologis pembahasan metode ini sudah dilakukan sejak tahun 2012. Wacana untuk menggunakan metode ini adalah karena kekhawatiran akan adanya politik praktis serta ditunggangi pihak eksternal di tubuh NU apabila menggunakan mekanisme pemilihan langsung.

Awalnya metode ini belum memiliki payung hukum untuk diterapkan. Namun pada tahun 2013 akhirnya Rais ´Aam K.H. M. A. Sahal Mahfudh memerintahkan kepada PBNU untuk menggodok payung hukum metode ini untuk memilih seluruh jajaran pimpinan dalam tubuh NU.

Perintah tersebut kemudian dirumuskan dalam naskah akademis pada Munas dan Konferensi Besar pada tahun 2014. Salah satu poin dari rumusan itu yakni sistem Ahlul Halli Wal ´Aqdi dalam pemilihan kepemimpinan NU, tapi penerapannya dilaksanakan dengan cara bertahap untuk mengidentifikasi hal-hal yang perlu disempurnakan di masa depan, dimulai dengan pemilihan/penetapan Rais ´Aam dan rais-rais syuriah di semua tingkatan. Sedangkan untuk Ketua Umum dan ketua-ketua tanfidziah masih dengan pemilihan langsung.

PBNU kemudian menggelar serangkaian Musyawarah Alim Ulama ke-3 pada tanggal 14-15 Juni 2015. Dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama di Jakarta tersebut disepakati wawasan bersama sebagai berikut:

1. Rais ´Aam adalah jabatan ´shohibul maqom´, tidak boleh ditempati kecuali oleh orang yang memang telah mencapai maqom yang sesuai. Di dalam maqom itu terkandung kriteria: faqiih (memiliki penguasaan yang mendalam atas ilmu-ilmu syari´at) dan mutawarri´ (terjaga martabat keulamaannya dari akhlak dan haaliyyah yang tidak pantas, termasuk keterlibatan yang terlampau vulgar dalam politik praktis). Hal itu karena Nahdlatul Ulama bukan sekedar organisasi biasa, tapi merupakan ´qiyaadah diiniyyah´, yaitu acuan keagamaan bagi warganya. Maka Rais ´aam sebagai pemimpin dan penanggung jawab tertinggi dari tuntunan dan bimbingan keagamaan yang diberikan oleh Nahdlatul Ulama kepada warganya haruslah seorang yang sungguh-sungguh menguasai seluk-beluk ajaran keagamaan yang menjadi haluan Nahdlatul Ulama, terutama dalam bidang syari´at.

2. Kriteria Rais ´Aam tersebut diatas menyangkut hal-hal yang tidak mudah ditandai dan diukur denagn kaca mata orang kebanyakan. Sistem Ahlul Halli Wal ´Aqdi ini dengan sendirinya akan menyumbat intervensi pihak luar dalam pemilihan kepemimpinan NU karena pemegang wewenangnya adalah para ulama yang paling matang secara keilmuan dan maqom rohaninya, yang tak dapat digoda dengan bujukan-bujukan duniawi.

Kemudian pada tanggal 8 Juli 2015 PBNU mengeluarkan surat edaran mengenai penerapan metode Ahlul Halli Wal ´Aqdi dalam Muktamar ke-33. Surat yang dikirim ke PWNU dan PCNU se-Indonesia tersebut berbunyi sebagai berikut:

1. Bahwa pemilihan Rais Aam pada Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama nanti akan dilaksanakan dengan sistem Ahlul halli wal Aqdi sebagai penerapan cara musyarawah mufakat sebagaimana dalam pasal 41 Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul Ulama.

2. Bahwa Ahlul Halli wal Aqdi tersebut terdiri atas 9 (sembilan) orang ulama dengan kriteria sebagaimana termaktub dalam pasal 2 ayat (4) Keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama NU tahun 2015.

3. Bahwa PW dan PC harus menyerahkan 9 (sembilan) nama Ahlul Halli wal Aqdi yang diusulkan pada saat pendaftaran (registrasi) peserta muktamar, sebagai bagian dari administrasi pendaftaran, sebagaimana diatur dalam pasal 5 ayat (2) Keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama NU tahun 2015.

4. Bahwa PW dan PC harus memusyarahkan sembilan (9) nama yang akan diusulkan itu.

PRO KONTRA - Salah satu agenda penting dalam muktamar ke-33 Pengurus Besar Nahdlatul Ulama adalah pemilihan Rais Aam. Dalam Munas Alim Ulama NU pertengahan Juni lalu disepakati bahwa pemilihan Rais Aam akan menggunakan sistem ahlul halli wal aqdi (AHWA).

Sistem AHWA adalah mekanisme yang diterapkan untuk memilih Rais Aam PBNU oleh 9 ulama senior dengan cara musyawarah mufakat. AHWA beranggotakan 9 ulama NU senior yang dipilh dengan kriteria beraqidah Ahlussunnah wal Jamaah al Nahdliyah, wara´, zuhud, bersikap adil, berilmu (alim ), integritas moral, tawadlu´, berpengaruh, dan mampu memimpin.

Ketua PB NU Slamet Effendy Yusuf menjelaskan, ke-9 ulama senior yang akan menjadi anggota AHWA itu diusulkan oleh 505 pengurus cabang dan 35 pengurus wilayah NU se-Indonesia. Masing-masing wilayah dan cabang mengusulkan 9 nama kiai senior. Usulan nama-nama tersebut dimasukkan ke dalam kotak yang disediakan oleh panitia.

"Semua usulan kemudian disimpan di dalam kotak, nanti 9 nama tertinggi akan menjadi anggota AHWA untuk memilih Rais Aam," kata Slamet, Jumat (31/7).

Nama Rais Aam, kata Slamet, dapat dipilih dari 9 nama yang menjadi anggota AHWA bisa juga di luar nama tersebut. Rais Aam bisa dipilih salah satu dari 9 nama itu, bisa juga dari luar.

Nmun pemilihan Rais Aam dengan metode AHWA ini mendapat penolakan dari mantan Ketua PBNU Andi Jamaro Dulung, dan Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Salahuddin Wahid.

Mereka menganggap pemilihan Rais Aam dengan metode AHWA tidak sesuai dengan amanat Muktamar NU ke-32 di Makassar 2010 lalu.

Alasan Salahuddin yang biasa disapa Gus Solah ini, AHWA bukan hasil rekomendasi muktamar NU ke-32 di Makassar 5 tahun lalu. Apabila sistem AHWA tetap dilakukan pada muktamar NU ke 33, menurut Gus Solah hal itu sangat terkesan dipaksakan. "Jangan sampai sistem ini (AHWA) dipakai. Ini kan bukan hasil produk muktamar. Saya ingin seperti itu," kata Gus Solah, Kamis malam (30/7).

Sementara itu menurut Andi Jamaro penetapan sistem AHWA sebagai langkah segelintir elit NU yang berambisi menjadi Rais Aam tanpa mau bekerja. "Saya melihatnya ada kepentingan orang yang mau menjadi Rais Aam tanpa mau bekerja dan ingin menggagalkan orang yang sudah secara masif diberi dukungan namun digagalkan oleh mekanisme itu. Murni oleh orang NU yang sudah tercemar," kata Andi.

Menurut Andi, apabila sistem AHWA diterapkan untuk memilih Rais Am dalam Muktamar NU ke 33 di Jombang, maka hak bersuara para pengurus NU di tingkat wilayah hingga cabang secara otomatis tereduksi.

Kandidat calon ketum lainnya yang merupakan petahana, Said Aqil Siroj sebelumnya telah menegaskan bahwa mekanisme pemilihan lewat AHWA sudah sesuai dengan AD/ART. Bahkan dia menyebut bahwa pemilihan musyawarah juga sesuai dengan ajaran Islam.

"Sesuai dengan AD/ART Rais Aam dipilih melalui musyawarah mufakat atau voting. Jadi pemilihan musyawarah tak melanggar. Hanya selama ini musyawarah tak pernah dilakukan tapi selalu voting. Musyawarah ini islami karena dalam islam tak mengenal one man one vote. Khulafaurasyidin terpilihnya dengan musyawarah, bukan voting," tutur Ketum PBNU Said Aqil Siroj, Selasa (28/7).

SUARA PETINGGI PARTAI - Para petinggi partai politik yang ikut muktamar juga angkat suara soal mekanisme pemilihan di muktamar NU ini. Ketua Umum PPP Romahurmuziy menilai muktamar NU adalah forum kedaulatan tertinggi anggota. Ia menilai, sebaiknya mekanisme apapun di Muktamar ke 33 NU di Jombang ini, dikembalikan ke anggota (peserta muktamar).

"Kalau anggota maunya Ahwa (ahlul halli wal aqdli-musyawarah mufakat), berarti diputuskan secara bersama. Kalau anggota ingin melakukan pemilihan langsung dijadikan keputusan bersama," kata Romahurmuziy usai acara pembukaan Muktamar ke 33 NU di Alun-alun, Jombang, Sabtu (1/8).

"Jangan sampai ada pemaksaan-pemaksaan atau pengkondisian-pengkondisian yang dilakukan justru jauh dari aspirasi muktamrin. Ini yang saya tengarai sebagai sumber ketegangan di hari-hari kemarin," tuturnya.

Pria yang biasa disapa Romi ini berharap, jalannya proses muktamar dapat dilalui dengan lancar dan baik.

"Saya berharap setelah pembukaan yang cukup menyejukkan dan bagus malam hari ini, besok mulai pembahasan tatib dan komisi organisasi, semuanya bisa dilalui juga sesuai aspirasi anggota," ujarnya.

Ia menambahkan, apapun mekanisme yang ditetapkan di muktamar, nantinya harus diterima oleh muktamarin (peserta muktamar). Jika ada yang dipaksakan, dikhawatirkan pelaksanaan muktamar tak sesejuk yang dirancang dari semula.

"Kenapa, karena inilah forum kedaulatan tertinggi anggota. Saya yakin muktamirin tahu mana yang terbaik. Saya tidak dalam posisi memilih yang mana. Tetapi yang paling bagus muktamrin yang mengetahuinya," terangnya.

Romi menilai, yang lebih penting adalah figur yang akan dipilih muktamirin. Menurutnya, figur yang dipilih, ke depan mampu menjadikan NU sebagai organisasi Islam yang berdiri di atas dan untuk semua golongan,

"Jangan sampai NU dijadikan dan terkotak-kotak untuk kepentingan tertentu. Apakah kepentingan politik, agama-agama secara spesifik yang mencoba untuk berlindung di balik Nahdlatul Ulama (NU)," paparnya.

"Karena itu sekali lagi, yang lebih penting bagaimana mencari figur yang sejuk, yang mampu membawa NU sebagai ormas Islam yang rahmatan lil alamin dan mempraktekkan dalam politik kebangsaan," ujarnya.

Ketika ditanya siapakah tokoh yang layak memimpin ormas Islam terbesar di Indonesia, Romi mengatakan bahwa nama-nama yang beredar saat ini seperti KH Hasyim Muzadi, Gus Mus, KH Maimun Zubair sebagai calon Rois Aam. Sedangkan untuk Ketua Tanfidziyah PBNU seperti Asad Ali, Gus Sholah, KH Said Aqil Sirodj, semuanya adalah tokoh-tokoh yang berkaliber.

"Saya kira nama-nama yang beredar cukup disegani di dalam maupun di luar NU. Tokoh-tokoh yang berkaliber," tandasnya.

Namun Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar menilai sistem ahlul halli wal aqdli (AHWA) pada pemilihan Rois Aam PBNU lebih baik dan menghindarkan money politic di Muktamar ke 33 Nahdlatul Ulama (NU) di Jombang. Ia tidak ingin, NU bermain politik dan menggunakan uang.

"Apa yg menjadi AHWA itu, kita mendorong AHWA supaya tidak ada money politik," kata pria yang akrab disapa Cak Imin ini kepada wartawan usai pembukaan Muktamar ke 33 NU di Alun-alun Jombang, Sabtu (1/8).

Ia menerangkan, cara AHWA (musyawarah mufakat) dan tidak menggunakan voting adalah cara terbaik menghindarkan money politik. "Partai politik gagal karena ada voting dan money politik. Masak NU mau main politik dan pakai uang," ujarnya.

Cak Imin mengatakan bahwa partai politik bahkan saat ini sudah kapok. Parpol tidak ingin lagi menggunakan cara voting, tapi dengan cara musyawarah mufakat. "Semua partai sudah tobat. PDIP, PKB. PAN sudah kapok nggak pakai voting-votingan. Gerindra mau kongres juga nggak pakai voting-votingan," tuturnya. "Semuanya sudah tobat, karena memakai uang. PKB nggak mau, masa NU pakai uang," terangnya.

Dia juga menepis tudingan PKB ikut mendompleng di Muktamar ke 33 NU. "Kita tidak ikut-ikut, kita tidak ikut memaksakan jangan salah. Kita hanya mendukung memfasilitasi bersama gubernur bersama DPRD bersama kader-kader. Itu urusan muktamar bukan urusan PKB," tandasnya. (dtc)

BACA JUGA: