JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak yang seharusnya masuk pada prolegnas 2016 mendadak dikebut oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI pada sisa tahun 2015 ini. Sikap ngotot DPR membahas RUU yang dinilai bakal menguntungkan pengemplang pajak dan koruptor ini sangat aneh. Pasalnya, skema jaminan pengampunan pajak pun belum jelas tergambarkan.

Salah satu penginisiasi dikebutnya RUU Pengampunan Pajak ini adalah politisi Golkar M. Misbakhun. Dia beralasan, RUU ini perlu dikebut karena hingga saat ini penerimaan negara dari pajak masih kecil, berkisar 65 persen. Padahal, akhir tahun harus ada realisasi pajak mencapai 85-90 persen.

"Nah, melihat jangka yang pendek ini, kepedulian kami di DPR muncul," ujarnya di Gedung DPR RI, Kamis (26/11).

Menurut Misbakhun, terdapat dua cara untuk menutupi defisit tersebut. Pertama, dengan berhutang. Kedua, menerapkan tax amnesty. Yang paling memungkinkan, kata dia, adalah menerapkan tax amnesty.

Misbakhun menjamin dalam penerapannya nanti tak akan dijadikan pintu masuk bagi para koruptor. Alasannya, pasal-pasalnya telah mengatur pelarangan pengampunan pajak pada koruptor yang terkena pidana dan berkas perkaranya sudah lengkap alias P-21.

"Jika ditarik maka hasilnya bisa untuk keperluan masyarakat seperti bayar BPJS, gaji guru. Nanti masyarakat akan berterima kasih dan kembali simpati pada DPR," katanya.

Rumusan pengampunan pajak ini diketahui berbeda-beda tergantung pada jangka waktunya. Pada pelapor 3 bulan pertama maka akan dikenakan 2 persen dari aset yang tidak dibayarkan. Tiga bulan berikutnya dikenakan 3 persen, dan enam bulan terakhir dikenakan pembayaran sebesar 5 persen. "Jangka waktu melapor lebih awal harus dapat insentif yang lebih rendah," ujar Misbakhun.

Ia pun meyakini, lewat mekanisme lobi yang ada, pembahasan RUU ini akan selesai pada akhir Desember 2015 nanti sehingga pada awal 2016 sudah dapat dieksekusi. RUU ini rencananya akan dimasukan pada prolegnas perubahan sebagai hak inisiatif DPR untuk keemudian dikirim ke pemerintah untuk dibahas.

"Cepat kok selesainya, cuma 22 pasal tak terlalu banyak, paling bahas satu-dua jam selesai," katanya.

Kolega Misbakhun di Baleg DPR, politisi PPP Arsul Sani mengatakan, DPR memang sengaja mengambil alih RUU Pengampunan Pajak ini menjadi inisiatif DPR agar bisa dibahas lebih cepat. Pasalnya, jika RUU ini dinyatakan sebagai inisiatif pemerintah, pembahasannya akan lama.

"Kalau DPR kan bisa di satu forum langsung kasih pandangan. Seluruh fraksi secara general menyetujui, terkecuali PKS yang mau konsultasi dulu ke fraksi dan Demokrat," ujarnya di Gedung DPR RI, Kamis (26/11).

Secara prinsip inisiasi dari DPR ini, kata Arsul, tak persoalkan, tetapi baleg menginginkan pemerintah menyatakan bahwa mereka memang butuh RUU ini. Sebab, inisiasi hanyalah cara masuk dari RUU.

"Hari ini Baleg ketok bersyarat oleh fraksi-fraksi, syaratnya pemerintah menyatakan memerlukan itu untuk menutup melesetnya target penerimaan pajak," ujarnya.

RUMUSAN PIDANA - Arsul Sani berharap, pada rapat selanjutnya, Senin (30/11) pemerintah mendatangkan Menteri Keuangan agar langsung bisa berkonsultasi. Pasalnya ada beberapa poin penting yang menjadi kelemahan RUU ini yang harus dibahas mendalam bersama pemerintah.

Arsul mengakui, masih ada beberapa celah yang belum ditemukan jalan keluarnya. "Ini misal aset usaha halal yang diampuni tak apa, tapi bagaimana ketika aset usaha haram? Setelah menerima pengampunan pajak penegak hukum bisa tetap sidik tidak?" ujarnya.

Arsul mengakui, poin ini belum ditemukan rumusan tepatnya, jika penegak hukum menjadi kehilangan kewenangan lantaran skema pengampunan pajak maka tentu dapat dijadikan celah tindak kejahatan. Poin selanjutnya yang menjadi masalah yakni belum adanya jaminan para pengemplang pajak ini harus dan akan membayarkan asetnya.

"Di Italia dan Finlandia, ternyata betul pengemplang pajak jadi bayar pajak, mereka pikir daripada ketahuan dan diterbitkan SKP (Surat Ketetapan Pajak-red) di kemudian hari dendanya besar ya mending bayar 3 persen," ujarnya.

Arsul berharap jika direalisasikan, RUU ini bisa menghasilkan dari target penerimaan sebesar Rp220 triliun atau setidaknya menghasilkan penerimaan antara Rp150-200 triliun. "Kalau cuma bisa ambil Rp5 triliun buat apa kita berdebat panjang lebar mengusahakan ini?" ujarnya.

Terkait rumusan pidana ini, sebelumnya Direktur Jenderal Pajak Sigit Priadi Pramudito memastikan ruang lingkup tax amnesty hanyalah penghapusan tunggakan pokok pajak, sanksi administrasi, dan atau pidana pajak atas ketidakpatuhan yang telah dilakukan oleh wajib pajak di masa lalu. Artinya, tidak termasuk penghapusan sanksi pidana umum atau sebagainya.

"Ini hanya pajak saja. Pidana lainnya nggak. Karena kami gak punya kewenangan kesana," kata Sigit di Istana Negara, Jakarta, Rabu (4/11)

Sigit menegaskan, kebijakan tax amnesty ini berbeda dengan materi Rancangan Undang-undang (RUU) Pengampunan Nasional yang menjadi pembahasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam sidang paripurna beberapa waktu lalu. Fokus dari tax amnesty hanyalah memasukkan dana orang Indonesia yang di luar negeri dan pembayaran tebusan.

"Kebijakan tax amnesty‎ berbeda dengan yang ditawarkan oleh DPR. Kita betul-betul hanya merepratriasi dana dari luar negeri," paparnya.

Data Wajib Pajak (WP) yang masuk nantinya hanya akan menjadi milik Direktorat Jenderal Pajak. Institusi lain tidak diperbolehkan mendapatkan dan menggunakan data tersebut sebagai bahan penyidikan. "Data itu akan kami keep secret, tidak dapat digunakan sebagai pembuktian untuk pidana lainnya," terang Sigit.

Sigit menyatakan tidak akan menggunakan RUU Pengampunan Nasional. Ia mengaku telah menyiapkan RUU tersendiri terkait tax amnesty. Rancangan aturan tersebut akan disampaikan setelah masa reses DPR.

Ditargetkan prosesnya bisa selesai pada akhir tahun, sehingga bisa langsung diimplementasikan pada awal tahun depan. "Jadi kita akan mengajukan sendiri. Saya sudah siapin, nanti mereka selesai reses, kita akan mengajukan. Mudah-mudahnya tahun ini jadi, tahun depan jalan," pungkasnya.

Sementara itu, pemerintah menegaskan, tidak ada masalah dengan rancangan aturan dalam RUU Tax Amnesty ini. ""Kita kaji dulu, kita nanti akan laporan dulu. Kita tidak ada masalah lah," kata Menteru Hukum dan HAM Yasonna Laoly, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (26/11).

Yasonna mengaku, pemerintah akan mempelajari draf RUU tersebut sebelum melakukan pembahasan dengan DPR plus Menteri Keuangan. "Kita lihat dulu apa isinya di dalam, sebelum ada isinya ada drafnya sperti apa kan kita lihat dulu," ujarnya.

RUU Tax Amnesty ini sempat heboh sebagai ´RUU Pengampunan Koruptor´. Namun, Yasonna menegaskan bahwa aturan ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara dan bukan untuk menguntungkan koruptor.

"Bukan, siapa yang melindungi koruptor? Justru kita mau, sekarang kalau betul-betul itu untuk penerimaan negara yang baik, untuk kepentingan negara kita akan lihat," ujar Yasonna.

TARGET PAJAK DIGENJOT - Pemerintah memang sedang kelimpungan mengejar target setoran pajak yang mencapai Rp1.295 triliun. Target itu dinilai terlalu tinggi, apalagi realisasinya hingga kini hanya mencapai 65%, sehingga diragukan hingga akhir tahun realisasinya bisa mencapai 90%. Target realistis yang mungkin dicapai adalah sekitar 85%.

Meski begitu, menurut Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, target sebesar itu bukanlah target yang tidak realistis. Kata dia, target itu memang harus ditetapkan untuk mengembalikan rasio pajak terhadap Pendapatan Domestik Bruto yang turun di tahun 2014 lalu.

Untuk diketahui rasio pajak terhadap PDB tahun 2012 mencapai 12%, angka ini turun menjadi 11% di akhir 2014. Penurunan ini dinilai aneh karena ketika itu perekonomian sedang bagus. Karena itu pemerintahan baru di bawah Jokowi-JK optimis bisa memenuhi target penerimaan pajak sebesar Rp1.295 triliun d akhir tahun 2015.

Kalau tax ratio 12 persen, Rp 1.375 triliun harusnya tahun 2015 penerimaan. Tax ratio harusnya berjalan lurus dengan pertumbuhan ekonomi," tegas Bambang.

Rasio pajak terhadap PDB sebesar 12% pun, kata Bambang, belum ideal karena banyak negara sudah mencapai lebih dari 14%. "Pajak harusnya tumbuh. Kalau basisnya 2014, kita anggap remeh pajak. Kita ingin perbaiki ini. Ingin tax ratio kembali ke tingkat 12 persen atau lebih," ujar Bambang.

Sayangnya, target tahun 2015 sebesar Rp1.295 triliun itu terancam tak terpenuhi. Bambang beralasan, target sulit dicapai karena dunia mengalami pelambatan ekonomi termasuk Indonesia.

Hanya saja, kata Bambang, meski pertumbuhan ekonomi lesu, pemerintah harus tetap bisa optimal memungut pajak. Karena itu, pemerintah akan melakukan perbaikan administrasi perpajakan. "Pajak tidak bisa 100% bergantung pada pertumbuhan ekonomi," kata Bambang.

Salah satu cara mendongkrak penerimaan pajak memang dengan memberlakukan taxamnesty. Melalui tax amnesty ini, Bambang ingin agar penghindar pajak yang menempatkan uang di luar negeri mau kembali ke dalam negeri.

Dia bilang, di 2017, akan ada kebijakan automatic exchange of information, atau pertukaran data yang dilakukan Indonesia dengan sejumlah negara besar, untuk melacak uang warga Indonesia yang ditaruh di luar negeri. "Melakukan reformasi tax administration tidak mudah. Kita kejar WP (wajib pajak) nakal, tapi sembunyi di balik WP baik," ujar Bambang.

Sementara itu, meski target 2015 melenceng, pemerintah tetap mengejar target pajak lebih tinggi di tahun 2016. Target yang ditetapkan adalah sebesar Rp1.350 triliun.

"Sisa dua bulan gunakan untuk fokus ke kebijakan dan strategi 2016 supaya bida langsung jalan dengan baik," ujar Pengamat Pajak Yustinus Prastowo‎, Selasa (10/11).

Prastowo merinci beberapa strategi yang bisa dimulai. Ditjen Pajak harus memetakan potensi pajak secara sektoral dan regional, dan memberikan keleluasaan tiap kantor wilayah atau sektor melakukan penggalian potensi sesuai kebutuhan. Untuk mendapatkan datanya, bisa bekerjasama dengan instansi terkait.

"Koordinasi antar lembaga, khususnya terkait data keuangan dan perbankan, terutama antara Ditjen Pajak-PPATK-BI-OJK, sehingga tindak lanjut akan lebih efektif," ungkapnya.

Di samping itu, Ditjen Pajak bisa mengecek aktivitas Wajib Pajak (WP) berdasarkan transaksi keuangan atau barang. Tentunya perbedaan yang sangat mencolok akan mendorong pemeriksaan pendapatan dari WP beserta kewajiban pembayaran pajaknya. "Integrasi identitas dan aktivitas, yaitu data matching berbasis NIK/NPWP dan transaksi keuangan/barang," terang Prastowo.

Tahun 2016 disebut sebagai periode penegakan hukum. Ditjen Pajak juga harus‎ meningkatkan kerjasama dengan aparat hukum lainnya. Seperti Kepolisian, KPK atau yang lainnya.

"Koordinasi antar penegak hukum dengan join audit agar pemeriksaan lebih efisien dan efektif, misalnya dengan Ditjen Bea Cukai, Polri, dan instansi yang memiliki penyidik. Termasuk juga harmonisasi dan sinkronisasi aturan yang meningkatkan kepastian hukum," paparnya.

Ditjen pajak, kata Prastowo, juga harus memperluas basis pajak untuk meningkatkan tax ratio atau rasio pajak terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Ada beberapa kebijakan yang bisa direalisasikan, seperti tax amensty atau pengampunan pajak sesuai yang direncanakan pemerintah. Namun tanpa melupakan peningkatan pelayanan agar menciptakan kepercayaan publik.

"Membangun trust, dengan melindungi hak WP, memberikan hak atas fasilitas, meningkatkan belanja yang bermanfaat bagi publik," pungkasnya. (dtc)

BACA JUGA: