JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dinilai belum menunjukkan hasil yang baik selama 2016. Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) dalam penilaian tahunannya,  menilai DPR masih tersandera oleh kepentingan sempit partai politik. Sementara isu-isu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, belum mendapat perhatian maksimal lembaga ini.

Peneliti Formappi I Made Leo Wiratma dalam presentasinya mengungkapkan, kinerja DPR relatif belum memberikan hasil maksimal terkait tugas yang diembannya. Dari ketiga fungsi DPR, pengawasan, penganggaran, legislasi sejauh ini  tidak ada perbaikan. Menurutnya, DPR sangat dibayangi kepentingan politik praktis partai politik.

"DPR belum kuat secara kelembagaan saat berhadapan dengan pemerintah, lantaran konflik internal DPR," kata I Made di Jakarta,  Kamis (22/12).

Dalam fungsi legislasi, misalnya, mekanisme kerja DPR menyelesaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang sudah lama mandeg di DPR pun masih terganjal. Bahkan orientasi untuk menyelesaikan RUU, di tengah jalan bisa berubah karena kuatnya pengaruh partai politik. Menurut I Made, perencanaan legislasi belum sepenuhnya baik dalam rangka menjalankan fungsi legislasinya.

Kelemahan itu terlihat pada rentang waktu  tahun 2016, DPR telah tiga kali mengubah RUU prioritas. Perubahan 20 Juni 2016 dengan menambahkan 10 RUU prioritas, kemudian pada 15 Desember  2016 dengan menambah RUU MD3 ke dalam RUU prioritas.

"Penambahan 1 RUU di akhir tahun memperlihatkan bagaimana Prolegnas Prioritas tunduk pada kepentingan politik DPR, bukan pada urutan kebutuhan prioritas bangsa," sebut I Made.

Sementara dalam fungsi penganggaran, DPR juga masih tersandera. Berdasarkan laporan Formappi, dari lima masa sidang sepanjang 2016, tiga masa sidang atau sekitar 83 hari DPR tidak memiliki agenda fungsi anggaran. Jika pada 2015 pembahasan APBN-P diselesaikan pada masa sidang III,  justru APBN 2016 baru dilakukan pada masa sidang V (Mei-Juli).

Selain itu, DPR juga dinilai tidak peka dengan keuangan negara yang sedang berupaya penghematan. Penghematan dilakukan pemerintah, dengan memotong 87 Kementerian dan Lembaga. Namun di tengah penghematan itu, lembaga legislatif sama sekali tidak terkena pemangkasan tersebut.

"Legislatif tidak dipotong. Anggota parlemen terkesan lebih mementingkan diri sendiri dibanding kepentingan rakyat," tuturnya. Padahal, beberapa kementerian dan lembaga yang difungsikan untuk kegiatan publik seperti pendidikan, ekonomi, kesehatan dan pertahanan harus dipangkas.

Fungsi pengawasan DPR juga mendapat kritikan tajam Formappi. Kinerja Kementerian yang seharusnya mendapat pengawasan anggarannya DPR tidak berjalan optimal. Laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan BPK misalnya, menyatakan adanya penurunan Kementerian /Lembaga yang mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

Kalau fungsi pengawasan berjalan baik, seharusnya ada peningkatan Kementerian dan Lembaga dari WDP (Wajar Dengan Pengecualian) menjadi WTP. Bahkan ada lima kementerian yang mendapat opini WDP dari tahun ke tahun tanpa ada peningkatan. Padahal, DPR melalui fungsinya bisa menindaklanjuti laporan tersebut dengan mengajukan hak interpalasi.

DPR DIKENDALIKAN - Peneliti lainnya, Lucius Karus juga menyebut peran DPR mengontrol kebijakan pemerintah masih sangat lemah. Apalagi setelah tampuk kepemimpinan DPR kembali ke ketua lama Setya Novanto.

Sepanjang tahun 2016, menurut Lucius, DPR seperti tidak memiliki bargaining ketika berhubungan dengan pemerintah. Pasalnya, sebagian besar partai politik justru mengambil posisi menjadi pendukung pemerintah. Oposisi di DPR mulai melemah karena semua fraksi di DPR justru mencari kesempatan untuk mendekatkan diri ke pemerintah.

Panitia Khusus (Pansus) Pelindo II merupakan bukti DPR dibuat tak berkutik ketika berhadapan dengan kepentingan pemerintah. Padahal jelas salah satu rekomendasi Pasus Pelindo II meminta presiden mencopot Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno.

Selama 2016, Alat Kelengkapan Dewan (AKD) juga telah membentuk 46 Panitai Kerja Pengawasan. Namun dari 46 Panja Pengawasan itu, hanya 11 Panja yang menyampaikan laporannya. Laporan itu diantara Panja Perkebunan, Swasembada pangan, Pencemaran laut, alih fungsi dan perambahan kawasan hutan,  keselamatan keamanan dan kualitas penerbangan, BPJS Kesehatan dan penerimaan bantuan iuran, tenaga kerja honorer kategori II, Program Indonesia pintar, penerimaan negara tahun 2015, pelindo II.

Namun bergabungnya beberapa partai politik ke pemerintah dengan alasan menjaga sumber dana partai politik yang semakin meningkat. Alasan itu telah membuat partai politik tak bisa berjarak dari pemerintah. "Saya kira itu alasan kenapa parpol merapat ke pemerintah," ujar Lucius Karus di tempat yang sama.

Terpilihnya kembali Setya Novanto ke posisi Ketua DPR merupakan pilihan cerdik pemerintah agar fraksi-fraksi di DPR juga bisa dikendalikan. Sosok Novanto yang sangat dekat dengan pemerintah membuat keputusan politik mudah dikompromikan.

"Pada 2017 mendatang, kita tidak bisa berharap jauh DPR melakukan pengawasan dan "galak" kepada pemerintah," tukas Lucius.

BACA JUGA: