JAKARTA, GRESNEWS.COM - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) meminta DPR menunda pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-undang Pertanahan pengganti Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Alasannya, RUU ini dinilai akan menggerus UUPA yang mengamanatkan seluruh sektor agraria (tanah dan sumber daya alam lainnya) sebagai satu atap koordinasi dan diabdikan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

"Seharusnya RUU Pertanahan menambal sisi pertanahan yang telah diamanatkan UUPA, bukan melikuidasi UUPA 1960," kata Sekretaris Jenderal KPA Iwan Nursin dalam surat elektronik yang diterima Gresnews.com, Minggu (28/9).

Poin-poin yang menjadi koreksi dan telah disampaikan KPA secara resmi kepada DPR melalui tiga kali Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) antara lain, pertama, terkait bab Pendaftaran Tanah. KPA berpendapat, seharusnya sisi perencanaan tata guna tanah secara nasional, pendaftaran tanah dan sertifikasi hak atas tanah  berlaku secara nasional, tidak lagi dipecah menjadi kawasan hutan dan non kawasan hutan seperti yang selama ini terjadi.

"Pendaftaran tanah juga bukan semata-mata untuk melakukan sertifikasi atas tanah, namun juga menemukan ketimpangan struktur kepemilikan, penguasaan, pengusahaan dan pemanfaatan atas tanah sehingga proses pendaftaran tanah menjadi dasar bagi pelaksanaan reforma agraria," ujarnya menambahkan.

Kedua, mengenai Hak Atas Tanah. KPA memandang bahwa hak atas tanah yang diatur oleh UUPA harus diberlakukan. Sehingga hak pengelolaan (HPL) yang sudah dihapus dan tidak diatur oleh UUPA harus dihapus. Sebab, hakekat HPL yang selama ini merupakan warisan kolonial justru ingin dihidupkan kembali oleh RUU ini.

Hak Atas Tanah juga harus diatur agar masyarakat adat, petani gurem dan masyarakat tak bertanah dapat mempunyai hak atas tanah sesuai dengan amanat UUPA 1960 dan UUD 1945 pasal 33, sehingga negara mengusahakannya melalui pelaksanaan reforma agraria.

Ketiga, terkait bab Reforma Agraria. Pelaksanaan reforma agraria harus dilaksanakan sebagai kewajiban negara yang dijalankan dalam jangka waktu tertentu, karena reforma agraria bukan pekerjaan (program atau proyek) yang terus menerus dan berkelanjutan. "Reforma agraria bukan sekadar bagi-bagi tanah apalagi sekedar sertifikasi, namun ditujukan secara utama untuk menata ulang struktur agraria yang timpang," jelas Iwan.

Keempat, mengenai Kelembagaan Pertanahan. Menurut KPA,  seharusnya dibentuk kementerian yang bukan hanya sekadar meningkatkan fungsi Badan Pertanahan Nasional (BPN) menjadi sebuah kementerian. Akan tetapi sekurang-kurangnya menggabungkan fungsi perencanaan tata guna tanah, seperti planologi kehutanan, tata ruang di Direktorat Jenderal Pekerjaan Umum Kemen PU.

Kemudian informasi spasial tanah (badan informasi geospasial) dan BPN, dalam satu atap yang disebut kementerian agraria.

Kelima, mengenail Badan Penyelesaian Konflik Agraria. Ia mengungkapkan, DPR dan Pemerintah mengusulkan peradilan pertanahan dalam RUU ini. Padahal, konflik agraria (kasus tanah) jika dibawa ke pengadilan, maka pihak masyarakat kecil akan selalu kalah, karena sifat pendekatannya yang legal formal.

Dengan begitu, KPA berpendapat, sesungguhnya harus ada batu pondasi transisi menuju hal tersebut (pengadilan pertanahan), yaitu sebuah badan ad-hoc Penyelesaian Konflik Agraria bagi konflik-konflik agraria di masa lalu hingga sekarang. "Setelah konflik masa lalu diselesaikan maka barulah pemerintah mempersiapkan pengadilan agraria," tutur Iwan.

Ia berpendapat, ketika poin-poin tersebut tidak diakomodir maka RUU Pertanahan ini pada akhirnya mengokohkan kembali ego-sektoralisme antar kementerian dan lembaga dan memelihara tumpang-tindih kebijakan terkait SDA. Ujung-ujungnya akan terjadi liberalisme agraria di bidang pertanahan (termasuk kekayaan alam di bawah dan di atas tanah).

"Ini akan menyempurnakan sektoralisme di berbagai sektor yang telah terjadi sebelumnya, yaitu kehutanan, perkebunan, pesisir-kelautan, pertambangan, pertanian, tata ruang yang menyangkut penguasaan dan pengelolaan seluruh sumber-sumber agraria," tegasnya.

BPN sendiri mengakui, pembahasan RUU ini memang sempat menimbulkan perdebatan sengit karena dikhawatirkan akan mengganti UUPA 1960 yang dinilai sudah ideal. Namun menurut Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah BPN Gede Arijuda, RUU Pertanahan yang sedang dibahas di Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk melengkapi UUPA Tahun 1960.

RUU Pertanahan ini nantinya akan menjadi ketentuan UU yang bersifat khusus dalam bidang pertanahan. Sementara, UUPA Nomor 5 tahun 1960 bersifat umum. "RUU ini untuk menjelaskan dan melengkapi ketentuan-ketentuan UUPA, bukan untuk mengganti atau mengubah," tutur Gede dalam seminar Bedah RUU Pertanahan, di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Tujuanya, untuk menutupi kelemahan-kelemahan peraturan yang tumpang tinding, tidak jelas, dan belum adanya regulasi. Kelemahan lainnya, banyaknya peraturan tidak saling terkait, misalnya antara peraturan kehutanan, tanah, dan pertambangan yang memiliki peraturan masing-masing. Karena itu, peraturan itu harus berkesinambungan.

Prinsip lainnya, RUU Pertanahan diharapkan bisa menjadi landasan yuridis sesuai amanat UUD Pasal 33 Ayat 3 Tahun 1945 dan prinsip-prinsip pembaharuan agraria sesuai dengan TAP MPR Nomor IX/MPR/ 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

BACA JUGA: