JAKARTA, GRESNEWS.COM - Gugatan terhadap Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) beberapa waktu lalu tidak hanya akan dilakukan partai politik. Sejumlah elemen masyarakat yang menamakan dirinya Koalisi Kawal RUU Pilkada juga akan menggugat UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Titi Anggraini, perwakilan dari koalisi tersebut mengatakan, gugatan itu akan dilayangkan pekan depan. Saat ini, pihaknya masih terus mengumpulkan data-data untuk mengajukan gugatan tersebut. Selain itu, ia juga meminta masyarakat mendukung gugatan ini, karena masyarakatlah yang mendapat imbas langsung dari UU ini.

"Selain pengumpulan KTP, kita akan terus aksi, menggalang dukungan masyarakat," ujar Titi ketika Car Free Day di Bunderan Hotel Indonesia, Thamrin, Jakarta, Minggu (28/9).

Selain itu, masyarakat juga bisa memberikan dukungan melalui media sosial yang saat ini mudah diakses masyarakat. Karena, cara ini terbukti ampuh menjaring aspirasi masyarakat demi kembalinya demokrasi dan hak konstitusional warga negara.

Selain itu, kata Titi, pihaknya akan terus berkoordinasi dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di berbagai daerah untuk mendukung gugatan ini. "Kita buktikan perlawanan dan akan terus berjuangan. Kita akan minta pemerintahan baru untuk amandemen UU," tandasnya.

Sementara itu, ahli hukum tata negara Refly Harun juga menyatakan dukungannya terhadap gugatan tersebut. Alasannya, karena sistem pilkada melalui DPRD ini dinilai memasung hak rakyat dalam memilih pemimpin daerahnya masing-masing.

Mengenai banyaknya pihak yang ingin menggugat UU Pilkada tersebut Refly juga mengapresiasinya. Ia menghimbau, pihak-pihak tersebut harus menyamakan persepsi dan tujuannya agar gugatan tersebut saling menguatkan, bukan malah melemahkan.

Ketika ditanya apakah dirinya bersedia menjadi saksi ahli dalam gugatan nanti, Refly menyatakan kesanggupannya. "Jadi apapun saya bersedia. Saksi ahli ataupun pemohon sekalipun saya bersedia," tegasnya di lokasi yang sama.

Refly juga menilai, MK seharusnya dapat membatalkan sistem tidak langsung menjadi pilkada langsung. Alasannya, karena ketidaksempurnaan pilkada langsung bukan terletak kepada sistemnya, tetapi pada penyelenggaraannya. Dan hal itu bisa diperbaiki Kemenetrian Dalam Negeri dengan membuat peraturan menteri.

Lebih jauh Refly berujar, MK sendiri pernah mengatakan memilih dan dipilih adalah hak asasi manusia yang tidak boleh dihilangkan karena alasan teknis. Dan dalam 10 tahun pemerintah dan parlemen sudah berhasil mengimplementasi hak tersebut. "Namun sayangnya, hal itu diubah oleh segilintir anggota DPR yang beralasan demi kepentingan rakyat," kata Refly.

BACA JUGA: