JAKARTA, GRESNEW.COM - Salah satu alasan anggota Dewan Perwakilan Rakyat pendukung pilkada dikembalikan melalui DPRD yaitu untuk meminimalisir potensi korupsi. Argumen ini dinilai beberapa lembaga sebagai argumen yang ngawur.

Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Yenni Sucipto mengatakan, pilkada tidak langsung yang melalui DPRD justru potensi korupsinya jauh lebih besar daripada pilkada langsung. "Karena jika melalui DPRD, akan membuka ruang bagi pos-pos transaksional antara kepala kaerah tersebut dan oknum DPRD," kata Yenni kepada Gresnews.com, Minggu (28/9).

Pos tersebut menurut Yenni bahkan dimulai ketika penetapan calon kepala daerah. Para calon terpilih menurut Yenni, disinyalir didapat melalui kesepakatan tertentu dengan oknum DPRD. Dan jika terpilih nanti, tentu saja kepala daerah tersebut seperti mempunyai hutang yang harus dibayar kepada DPRD.

Selain itu, pos selanjutnya yang rawan ketika pembahasan anggaran dilakukan. "Proses pembahasan anggaran tidak melibatkan masyarakat. Ini berpotensi penyanderaan anggaran. Karena tiap tahun skema politik anggaran akan selalu terjadi," ujar Yenni.

Apalagi, kata Yeni, pembahasan anggaran dilakukan tiap tahun, sehingga lebih banyak ruang yang berpotensi terindikasi kasus korupsi. Dan modus yang dilakukan yaitu dengan penyanderaan anggaran yang akan diajukan kepala daerah tersebut.

Selanjutnya, lokasi lain yang juga berpotensi dimanfaatkan para elit yang berkepentingan yaitu ketika adanya program pemerintah. Hal ini menurut Yenni, memang terjadi dalam Pilkada langsung, namum potensi Pilkada tidak langsung justru jauh lebih besar terjadinya kasus ini.

"Pos di bantuan sosial berpotensi dimanfaatkan elit yang bekepentingan, pos hibah luar biasa, pos penyertaan modal kepada perusahaan modal di daerah. Kalau pilkada langsung saja dimanfaatkan, bagaimana pilkada tidak langsung, ini bisa dimanfaatkan oknum DPRD," tandasnya.

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebelumnya juga melansir data terkait besarnya potensi kasus korupsi yang terjadi dengan sistem pilkada tidak langsung maupun secara langsung. Dari data tersebut diketahui, ternyata kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah jauh lebih kecil daripada yang dilakukan oknum DPRD.

Informasi tersebut didapat dari kombinasi data Dirjen Otda, dan penegak hukum lainnya. "Dalam catatan KPK, untuk Kepala Daerah pada kurun 2012-2014 ada 290-an kasus, dan yang ditangani KPK sekitar 51 kasus. Untuk DPRD, seluruh indonesia jumlahnya 2960-an kasus, dan yang ditangani KPK 70 sampai 80-an," ujar Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, di Kantornya, Jumat (26/9) kemarin.

Bambang juga memaparkan, sebanyak 81% kasus yang ditangani KPK mengenai penyalahgunaan wewenang, 13% penyuapan dan sisanya pemerasan serta modus lainnya. Dari data tersebut, mayoritas kasus 81% tersebut bukan karena pilkada langsung, sebab kasus tersebut merupakan pemanfaatan jabatan yang dilakukan unsur pejabat negara seperti DPR ataupun DPRD.

Dalam Pilkada langsung memang terjadi kasus korupsi seperti penyuapan. Namun jika dibandingkan, kasus korupsi yang melibatkan anggota DPRD jauh lebih banyak. Jika penyelenggaraan Pilkada diserahkan ke DPRD, dari data diatas maka tidak ada jaminan pemilihan kepala daerah berlangsung jujur dan demokratis.

"Ada politik uang, tapi di tingkat masyarakat, dan jumlahnya Rp 50-100 ribu. Tapi tingkat DPRD lebih tinggi grand corruption," cetusnya.

BACA JUGA: