JAKARTA, GRESNEWS.COM - Banyak Jalan Menuju Roma. Begitu kata pepatah yang menggambarkan selalu saja ada cara untuk bisa mencapai sesuatu, misalnya, mengumpulkan dana untuk kampanye kepala daerah. Sayangnya, dalam konteks Pilkada Serentak yang bakal berlangsung Desember mendatang, pepatah ini digunakan dalam cara yang negatif. Artinya, banyak cara culas mengakali aturan demi menangguk fulus untuk dana kampanye pilkada.

Hal itu terungkap setelah adanya temuan dari Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) atas sejumlah pelanggaran dalam penggalangan dana kampanye yang dilakuakan oleh sejumlah pasangan calon yang menerima bantuan dana diluar ketentuan KPU. Kordinator Nasional JPPR Masykuruddin Hafidz mengatakan, pihaknya telah melakukan pemantauan di sembilan daerah, yaitu Kabupaten Maros-Sulawesi Selatan, Kota Tangerang Selatan, Kota Balik Papan, Kota Depok, Kab. Jember, Kab. Bantul, Palu-Sulawesi Utara, Seluma-Bengkulu, dan Semarang-Jawa Tengah.

Dalam penelitian yang dilakukan JPPR, kata Masykuruddin, pihaknya menemukan sejumlah indikasi pelanggaran terkait adanya manipulasi dana kampanye dan strategi pemecahan sumbangan dari perusahaan swasta. Ia menjelaskan, untuk pelanggaran sumbangan perseorangan, ditemukan pada pasangan calon Mufron Imron dan Gustianto.

Keduanya adalah calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Seluma, Bengkulu. Pasangan itu telah menerima sumbangan perseorangan dengan total Rp75 juta rupiah, padahal ketentuan PKPU Nomor Nomor 8 Tahun 2015 tentang Dana Kampanye Peserta Pemilihan Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, dan/atau Walikota, Wakil Walikota sumbangan perseorangan maksimal Rp50 juta.

"Penyumbang bernama Mulyadi yang beralamat di Dusun Baru, dengan nomor identitas 170504230376542, dan nomor NPWP 158650663311000. Mulyadi tercatat memberikan sumbangan dalam bentuk barang sebanyak 15.000 unit/item dengan nilai setara Rp75 juta," kata Masykuruddin saat melaporkan temuan itu kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Selasa (17/11).

Ia menambahkan, pihaknya juga menemukan adanya indikasi upaya memecah jumlah sumbangan dari perusahaan swasta yang diberikan kepada salah satu pasangan calon di Balikpapan. Pasangan Rizal Effendi-Rahmad Mas’ud yang diusung oleh gabungan Partai Politik PDIP, Partai NasDem, dan Partai Demokrat tercatat telah menerima sumbangan dari tujuh perusahaan swasta dengan total sumbangan Rp2 miliar.

Menurut Masykuruddin, dari tujuh perusahaan tersebut memang tidak ada yang melanggar ketentuan KPU yang menyatakan bahwa pasangan calon berhak menerima sumbangan dana kampanye dari perusahaan swasta maksimal Rp500 juta. Namun, setelah diselidiki, lanjutnya, tujuh perusahaan yang menyumbang pasangan calon Effendi–Mas´ud itu ternyata memiliki hubungan satu sama lain.

Berdasarkan fakta temuan JPPR, tujuh perusahaan penyumbang pasangan calon itu terafiliasi dengan PT Cindara Pratama Lines (perusahaan induk). Sang induk sendiri diketahui menyumbang sebesar Rp300 juta, kemudian anak perusahaan Cindara Pratama Lines lainnya yaitu, PT Hana Lines menyumbang Rp250 juta, PT Mandar Ocean Rp250 juta, PT Pers Sely Sinar Pasific Rp200 juta

Artinya, kata Masykuruddin, total sumbangan kolektif dari perusahaan PT Cindara Pratama Lines beserta anak perusahaannya mencapai Rp1 miliar, melampaui batasan yang ditetapkan KPU. Selain group Cindara, JPPR juga menemukan data penyumbang perusahaan lainnya yaitu PT Barokah Gemilang Perkasa menyumbang Rp500 juta dan PT Barokah Bersaudara Perkasa Rp500 juta. Keduanya juga memiliki kaitan satu sama lain.

"Artinya pasangan calon Effendi–Mas’ud juga menerima sumbangan dari Barokah group dengan total Rp1 miliar. Dalam laporannya pasangan itu tidak menerima sumbangan dari perseorangan termasuk dari partai pendukungnya. Ini salah satu siasat pemisahan dana kampanye yang kita temukan," katanya menjelaskan.

Selain itu, ia juga menemukan pelanggaran lainnya yang dilakukan oleh pasangan calon petahana dari Tangerang Selatan, Airin Rachmy-Benyamin Davnie. Menurutnya, pasangan Airin-Benyamin telah tercatat menerima sumbangan perseorangan sebesar Rp50 juta yang diberikan dari Indra Yogaswara. Indra tercatat beralamat di Ciwarugu, Bandung, Jawa Barat, dengan nomor identitas 3217020504810001 dan nomor NPWP 248574014421000.

"Setelah kita verifikasi mengkroscek yang bersangkutan melalui nomor telepon Indra yang terdapat di laporan dana kampanye Airin-Benyamin, ternyata nomor telepon tersebut mengarah kepada Ibu Rita. Dan Ibu Rita itu mengaku tidak mengenal Indra Yogaswara (penyumbang) dan Airin Rachmy (calon Walikota yang menerima sumbangan. Ini salah satu contoh penyumbang fiktif," ujarnya.

Dari temuan itu, Masykuruddin menerangkan, sangat terlihat adanya upaya para kepala daerah mengakali beleid yang yang mengatur tentang sumber dana kampanye dan batasan dana kampanye pasangan calon kepala daerah. Padahal, aturan itu ditetapkan agar pasangan calon tetap independen dan mampu meminimalisir transaksi politik antara pasangan calon dan pendukung atau "Bandar Pemilu" yang memiliki kepentingan tertentu dalam proses pemilihan kepala daerah.

Untuk menghindari praktik transaksi politik itu, KPU telah mengatur pola kampanye sedemikian rupa mulai pemerataan dan pencetakan alat peraga yang dibiayai oleh APBD hingga batasan sumbangan dana kampanye bagi perorangan maupun perusahaan swasta.

Namun, peraturan itu tampaknya tak digubris oleh sejumlah kandidat pasangan calon kepala daerah yang masih kekurangan logistik dalam kontestasi pertarungan politik pemilihan calon kepala daerah. Para calon malah melakukan sejumlah siasat agar dapat menerima sumbangan dana kampanye diluar ketentuan yang sudah ditetapkan oleh KPU.

STRATEGI PEMISAHAN SUMBANGAN – Pada kesempatan yang sama, mantan Anggota Bawaslu Jawa Tengah Ahsanul Minan mengatakan, praktik lazim yang dilakukan calon kepala daerah mengakali aturan pengumpulan dana kampanye adalah dengan melakukan pemisahan sumbangan. Hal ini banyak dilakukan sejumlah perusahaan swasta terhadap pasangan calon kepala daerah dan bukan fenomena baru dalam perhelatan pemilihan kepala daerah.

"Pola pecah sumabangan ini memang kerap kali dilakukan untuk menyiasati peraturan yang ada. Strategi pemisahan sumbangan ini memang yang harus diperhatikan oleh Bawaslu dan seluruh penyelenggara pemilu. Dan ini harus hati-hati memang disini," kata Ahsanul Minan di Gedung Bawaslu, Jakarta Pusat.

Ia menambahkan, fenomena seperti ini sering ditemui pada daerah-daerah yang memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang berlebih seperti Kalimantan, Sulawesi, Sumatera. Menurutnya, praktik pemberian bantuan dana kampanye oleh pengusaha kepada pasangan calon yang akan bertarung pada Pilkada biasanya memiliki motif bisnis yang dijalani oleh perusahaan penyumbang dana kampanye.

"Bawaslu harus melacak di sekitar 260 daerah lainnya. Khususnya, daerah-daerah yang memiliki SDA tinggi, dimana di sana banyak perusahaan-perusahaan yang memiliki kepentingan pada pendanaan calon kandidat," ujarnya.

Terkait temuan ini, Komisioner Bawaslu Nelson Simanjuntak mengatakan, secara langsung peraturan perundang-undangan tentang pendanaan kampanye memang tidak mengatur soal pemecahan sumbangan dana kampanye dari perusahaan yang diduga kerap dijadikan strategi pasangan calon untuk memenuhi kebutuhan kampanye. Ia menegaskan, sejauh ini PKPU Nomor 8 Tahun 2015 hanya mengatur batasan maksimal perusahaan swasta yang hendak memberikan bantuan dana kampanye pada pasangan calon atau kandidat, yaitu maksimal Rp500 juta.

"Jadi untuk temuan pemecahan sumbangan dari holding perusahaan ini kita akan memanggil ahli hukum dan bisnis. Kita akan minta pandangan para ahli apakah pemecahan sumbangan yang dilakukan oleh holding company ini bisa dikategorikan sebagai suatu pelanggaran atau tidak, kalau pelanggaran sanksinya bagaimana, ini memang perlu kita mintai pandangan dari para ahli," kata Nelson menjelaskan.

Menurutnya, Pasal 49 PKPU tentang Dana Kampanye hanya menegaskan soal larangan sumber dana kampanye yang berasal dari lembaga asing (donor asing) atau perusahaan asing, sumbangan dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah, sumbangan dari Perusahaan BUMN, Perusahaan BUMD dan sejenis lainnya, serta penyumbang tidak jelas asal-usulnya alias penyumbang fiktif.

"Kalau pelanggaran itu (Pasal 49) sanksinya bisa pidana bahkan bisa pembatalan hasil ketetapan pemilu jika yang bersangkutan terpilih. Tapi kalau pelanggaran holding company memang belum ada sanksi yang mengatur itu," ujarnya.

Nelson Simanjuntak sendiri mengatakan mengapresiasi temuan JPPR tersebut. Nelson mengaku akan mengkordinasikan temuan tersebut dengan pihak-pihak terkait, termasuk dengan jajaran bawahannya, Panwaslu di daerah untuk menindaklanjuti temuan tersebut.

"Aturan batas sumbangan dan sanksi pelanggaran itu sebenarnya sudah jelas di peraturan yang berlaku. Ada sanksi pidana ada sanksi administratif bagi para pelanggar dana kampanye itu. Tapi nanti kita akan minta teman-teman dibawah menindaklanjuti temuan ini," tegasnya.

TERHALANG ATURAN - Sayangnya, dalam melakukan penindakan atas pelanggaran seperti ini, Bawaslu memang terhalang aturan PKPU. Menurut Nelson, pihaknya saat ini tidak bisa menindaklanjuti dengan memberikan sanksi kepada sejumlah pasangan calon yang terindikasi melanggar Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK).

Alasannya, Peraturan Komisi Penyelenggaraan Umum (PKPU) Nomor 8 Tahun 2015 tentang Dana Kampanye Peserta Pemilihan Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, dan/atau Walikota, Wakil Walikota tidak mengaturnya. Dalam peraturan itu kata Nelson, pemeriksaan laporan dana kampanye pasangan calon atau LPSDK belum bisa dikatakan selesai sebelum Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) dilakukan audit oleh auditor publik independen.

Dalam PKPU Nomor 8 Tahun 2015 yang mengatur soal sumber dana kampanye pasangan calon Pilkada, dijelaskan tiga tahapan laporan yang harus diserahkan pasangan calon Pilkada kepada KPU Provinsi atau KPU Kab/Kota. Tahapan pertama adalah Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) pasangan calon, kemudian Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK), dan tahapan terakhir Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK).

"Masalahnya sekarang adalah, laporan keuangan ini baru dikatakan final kalau sudah ada hasil auditor independen. Jadi laporan saat ini selama belum selesai diaudit masih bisa dilakukan perbaikan," kata Nelson Simanjuntak di Kantor Bawaslu, Jakarta Pusat, Rabu (17/11) kepada gresnews.com.

Ia menambahkan, jika pihaknya melakukan ekspose terhadap temuan dugaan pelanggaran sumbangan dana kampanye yang diterima sejumlah pasangan calon Pilkada di sejumlah daerah, sudah dipastikan pasangan calon akan berdalih bahwa laporan penerimaan sumbangan itu masih belum semuanya tercatat dan menunggu pembukuan laporan akhir (LPPDK) sesuai dengan ketentuan KPU.

"Karena hari ini belum selesai diaudit, maka laporan dana kampanye itu masih belum dikatakan sebagai laporan yang sempurna. Karena data-data yang ada disitu belum bisa diindikasikan sebagai temuan pelanggaran," jelasnya.

Meski pihaknya belum bisa memberikan sanksi atas temuan pelanggaran dari lembaga pemantau pemilu, Nelson mengatakan akan tetap menindaklanjuti temuan tersebut kepada Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) di daerah-daerah yang memiliki temuan pelanggaran pasangan calon tersebut.

Menurut Nelson, Bawaslu Pusat tidak bisa menindaklanjuti temuan pelanggaran tersebut di Jakarta lantaran dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku adjustmen penindakan itu harus sesuai dengan lokasi temuan pasangan calon, dengan kata lain Bawaslu akan menyerahkan kasus ini kepada Panwaslu daerah.

"Pada dasarnya kami mengapresiasi atas temuan ini, kita akan coba menindaklanjuti temuan ini. Memang secara peraturan Undang-Undang kita sudah mengatur, tapi memang masih memiliki kelemahan," ungkap Nelson.

Menanggapi hal tersebut, Kordinator Nasional JPPR Masykuruddin Hafidz mengakui bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pendanaan pasangan calon pimpinan kepala daerah masih memiliki banyak kelemahan. "Salah satunya memang itu kendalanya. Kita tidak bisa menindaklanjuti temuan ini sebelum selesai audit laporan pendanaan dari pasangan calon selesai semua," jelasnya.

Kendati demikian, Masykuruddin berharap temuan pelanggaran dana kampanye pihaknya dapat menjadi pijakan awal bagi Bawaslu untuk menindaklanjuti temuan pelanggaran dana kampanye di tiga Kabupaten/Kota yang sudah memiliki indikasi pelanggaran peraturan pemilihan kepala daerah.

"Sementara ini kita fokus di sembilan daerah. Di situ kita menemukan indikasi adanya pelanggaran sumbangan perseorangan yang melebiihi batas peraturan KPU. Selain itu ada strategi pemecahan sumbangan dari perusahaan terhadap pasangan calon yang kita temukan. Semoga laporan ini bisa ditindak lanjuti oleh Bawaslu ke Panwas di bawahnya," kata Masykuruddin penuh harap. (Rifki Arsilan/Gresnews.com)

BACA JUGA: