JAKARTA,GRESNEWS.COM - Banyaknya pejabat publik hasil proses fit and proper test atau uji kelayakan dan kepatutan oleh  DPR  yang menjadi tersangka tindak pidana korupsi. Membuat banyak pihak menginginkan evaluasi proses uji kelayakan dan kepatutan oleh lembaga wakil rakyat tersebut.

Sosiologi FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Musni Umar,  yang juga Direktur Eksekutif Institute for Social Empowernent and Democracy (INSED) menilai lolosnya Hadi Purnomo jadi pejabat negara merupakan kelalaian DPR saat melakukan uji kelayakan dan kepatutan. “Selain merontokkan lembaga yang pernah dipimpinnya (BPK), kasus ini juga akan menyorot anggota DPR yang dulu melakukan uji kelayakan dan kepatutan,” tegasnya.

Musni bahkan mengaku mendapat informasi bahwa dalam memilih Akil Mochtar menjadi hakim konstitusi, saat itu tidak dilakukan uji kelayakan dan kepatutan sebagaimana lazimnya. “Saat itu mereka hanya ngobrol-ngobrol saja sambil kemudian memilih Akil jadi hakim konstitusi,” ungkap Musni kepada Gresnews.com, Rabu (23/4).

Ini memprihatinkan. Menurut  dia yang harus menjadi bahan koreksi dan harus menjadi pembelajaran berharga bagi DPR dalam memilih pejabat negara. “Mereka harus betul-betul berhati-hati mencermati masa lalu calon-calon yang akan dipilih, terlebih-lebih dalam kasus dugaan kasus korupsi karena tidak ada alasan untuk tidak diungkap kemudian,” tegasnya.

Meskipun begitu Musni mengaku sudah ada terobosan baru yang dilakukan anggota Komisi III DPR ketika  memilih dan menetapkan dua hakim konstiusi, yakni Wahiduddin Adams dan Aswanto untuk menggantikan Akil Mochtar dan Harjono. Kedua nama yang ditetapkan oleh Komisi III adalah hasil pilihan yang melibatkan Tim Pakar bentukan Komisi Hukum guna memberi rekomendasi kelayakan calon hakim konstitusi.

Rekomendasi tim pakar yang terdiri dari mantan Ketua Muhammadiyah Buya Syafii Maarif, Mantan Hakim MK Laica Marzuki, Forum Konstitusi MPR RI Zein Bajeber, Mantan Hakim MK Natabaya, Pakar Hukum Tata Negara Lauddin Marsuni, Mantan Menkum HAM Andi Mattalata, pakar hukum tata negara Saldi Isra, dan Musni Umar ini selanjutnya akan dijadikan DPR sebagai acuan memilih hakim konstitusi yang layak.

Sebagai anggota tim pakar waktu itu, ia mengaku berupaya mencari sumber-sumber yang mengungkap rekam jejak setiap calon sampai sedatail-detailnya, hal ini yang tidak dilakukan DPR selama ini. "Sehingga bukan rahasia umum seleksi uji kelayakan dan kepatutan yang dilakukan mereka ibarat ‘dagang sapi’ saja,” kata Musni.  Pada akhirnya, kata Musni, terbukti dengan ditetapkanyya dua pimpinan puncak lembaga Negara, yakni mantan Ketua MK Akil  Mochtar dan Ketua BPK Hadi Poernomo.

Agar hal itu tidak terulang, Musni Umar mengusulkan agar uji kelayakan dan kepatutan mengacu pada model pemilihan hakom konstitusi yang melibatkan para pakar atau sejenisnya. “Seleksinya pun harus dilakukan secara terbuka agar masyarakat luas bisa menyaksikan dan pada akhirnya memberikan masukan atau informasi terkait calon-calon yang sedang diuji,” ujarnya.

Wakil Ketua MPR Hadjrianto Tohari juga memperingatkan  DPR hendaknya berhati-hati dalam melakukan proses fit and propes test pejabat publik. "Faktor integritas dan rekam jejak dalam memilih pejabat publik harus menjadi pertimbangan yang matang," ujarnya menanggapi ditetapkannnya mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Purnomo sebagai tersangka kasus keringanan pajak oleh KPK, seperti dikutip dpr.go.id, Rabu (23/4).


Sebelumnya Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto berpendapat secara konstitusi DPR tidak memiliki kewenangan melakukan rekrutmen atau pemilihan pejabat negara. Termasuk, proses rekrutmen terhadap pimpinan KPK yang dilakukan oleh DPR selama ini. Namun DPR mempunyai fungsi legislasi (pembentuk undang-undang), fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan seperti yang telah dirumuskan secara eksplisit dan limitatif dalam Pasal 20 Ayat (1) dan Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945.

"Tidak ada pasal di dalam konstitusi yang menyebutkan secara eksplisit dan tegas bahwa DPR mempunyai kewenangan untuk melakukan rekrutmen atau pemilihan pejabat negara," kata Bambang saat membacakan keterangan KPK dalam sidang uji materi UU Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial (KY) dan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (15/4).

Bambang menyebutkan, proses rekrutmen pejabat atau penyelenggara negara yang dilakukan DPR selama ini tidak sesuai dengan pelaksanaan ketiga fungsi DPR. Bambang  mengingatkan kewenangan DPR  melakukan seleksi pimpinan KPK dapat menimbulkan terjadinya potensi intervensi yang dapat mempengaruhi independensi lembaga KPK itu sendiri melalui proses seleksi.

Ia berpandangan, proses rekrutmen yang dilakukan oleh DPR seperti ini bersifat technical selection yang disertai potensi konflik kepentingan dan political invation. "Ketika proses rekrutmen pimpinan lembaga independen melibatkan eksekutif dan atau legislatif, maka potensi pengaruh politik, baik yang bersifat laten maupun manifest seharusnya ditiadakan," katanya.  

Ia juga menyayangkan pola rekrutmen pimpinan lembaga negara di Indonesia dilakukan tidak seragam. Ada beberapa lembaga yang bisa menentukan sendiri ketuanya. Sedangkan lembaga lain dipilih oleh DPR. Hal ini, kata Bambang, menegaskan adanya kebijakan yang bersifat diskriminatif.

Pengujian UU Nomor 18 Tahun 2011 dan UU Nomor 30 Tahun 2002 dimohonkan oleh Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Prof. Dr. H. Edy Suandi Hamid. M.Ec, (Pemohon I) dan Kepala Pusat Studi Hukum Konstitusi UII Sri Hastuti Puspitasari, SH., MH., (Pemohon II). Mereka meminta MK menguji pola rekruitmen calon anggota KY dan calon anggota KPK. Pemohon berpendapat, KY dan dan KPK tidak akan dapat menjalankan fungsinya secara independen sebagaimana tujuan pembentukannya yakni sebagai lembaga negara yang independen. Hal itu karena pola rekruitmen calon anggota KY dan calon anggota KPK bisa dimentahkan DPR.

Hingga saat ini ada sejumlah pejabat yang diseleksi DPR berurusan dengan kasus hukum dan tindak pidana korupsi, sebut saja mantan Ketua KPK Antasari Azhar yang terjerembab kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasruddin Zulkarnein. Juga ada Komisioner Komisi Yudisial  Irawady Joenoes  yang tertangkap tangan KPK karena menerima suap pembelian tanah kantor Komisi Yudisial.

Belakangan juga tertangkap tangan mantan Ketua Mahkamah  Konstitusi Akil Mochtar karena menerima sejumlah suap pengurusan sengketa Pilkada. Terakhir ditetapkannya tersangka  mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo karena kasus penyalahgunaan wewenang dalam keberatan wajib pajak atas Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) PT  Bank  BCA. Padahal mereka terpilih setelah melalui uji kelayakan dan kepatutan oleh  DPR.

BACA JUGA: