JAKARTA, GRESNEWS.COM - Hari ini, Jumat (7/3) sejumlah 25 perusahaan tambang yang beroperasi di berbagai daerah di Indonesia bakal menandatangani renegosiasi kontrak. Sisanya sebanyak 78 perusahaan lagi masih dalam proses. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan sebanyak 112 perusahaan tambang mineral yang beroperasi di Indonesia harus menyetujui enam poin renegosiasi kontrak tambang.

Namun baru ke-25 perusahaan itulah yang setuju. "Dilaporkan ada sejumlah kemajuan, ada 25 perusahaan akan menandatangai (6 poin renegosiasi kontrak tambang) besok," kata Hatta Rajasa usai Rakor Batu Bara di Kementerian Perekonomian, Jakarta, Kamis (6/3) kemarin.

Hatta mengatakan dia telah meminta Menteri ESDM untuk melakukan percepatan dalam renegosiasi tersebut . "Yang selesai  segera diikat dengan kontrak baru, pegangannya tetap pada Undang-Undang (UU) tentang Minerba itu," ujarnya.

Seperti dikabarkan sebelumnya, sebanyak 112 perusahaan tambang oleh pemerintah diwajibkan menyetujui renegosiasi terdiri dari 37 Kontrak Karya (KK) dan 75 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Proses renegosiasi itu telah memakan waktu lebih dari dua tahun. Komisi Pemberantasan Korupsi pun sampai turun tangan menyelidiki proses ini.

KPK menemukan selama masa renegosiasi tersebut pemerintah telah mengalami kerugian akibat tidak terpungutnya penerimaan negara. KPK memperkirakan selisih penerimaan negara dari satu perusahaan besar seperti PT Freeport Indonesia bisa mencapai sebesar US$169,06 juta per tahun.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, R.Sukhyar mengatakan permasalahan renegosiasi merupakan proses yang sangat pelik karena di dalamnya terdapat enam item yang harus dinegosiasikan antara pengusaha tambang dengan pemerintah. Enam item tersebut diantaranya masalah luas wilayah pertambangan, pengolahan dan pemurnian, divestasi saham, perpanjangan kontrak karya, penerimaan negara, dan pengutamaan barang dan jasa dalam negeri.

Menurut Sukhyar keenam item yang dinegosiasikan oleh pemerintah dengan pengusaha tambang merupakan satu kesatuan yang tidak dipisahkan karena jika satu satu item gagal atau tidak memenuhi kesepahaman maka item lainnya juga akan terkena dampaknya. Misalnya soal royalti, disatu sisi, proses renegosiasi royalti sudah dibahas oleh pemerintah sejak penerbitan UU Minerba Tahun 2009 seperti dengan PT Freeport Indonesia.

Namun untuk menemukan kata sepakat ternyata sangat sulit. "Bahkan dari akhir tahun 2013 hingga saat ini masih menyisakan permasalahan. Nah ini yang mencari kesepahaman yang sulit," kata Sukhyar kepada Gresnews.com, Jakarta, Jumat (7/3).

Sukhyar menilai temuan KPK tersebut dikarenakan adanya kekosongan hukum terkait penerimaan negara berupa royalti yang tertuang dalam PP No 9 Tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian ESDM. Untuk itu Sukhyar meminta kepada Freeport untuk membayar sesuai dengan PP No 9 Tahun 2012.

Meski demikian, Sukhyar mengaku saat ini pemerintah juga sedang mengajukan royalti baru sehingga perlu menunggu terbitnya Peraturan Pemerintah yang baru untuk terbit. Dia menjelaskan PP yang akan terbit nantinya menggantikan PP No 9 Tahun 2012 karena tarif royalti bukan hanya emas tetapi yang sektor mineral lainnya juga harus diubah.

"Nah KPK mengingatkan adanya kevakuman hukum sejak PP No 9 Tahun 2012. Jadi KPK meminta, tolong dong itu diselesaikan (renegosiasi). Oleh sebab itu kita minta Freeport untuk membayar royalti sejak PP tersebut keluar," kata Sukhyar.

Sementara itu, Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana Andi Arief mengatakan perundingan enam poin merupakan perundingan yang sangat lama dan alot. Sebab perundungan itu tidak semata-mata teknis tetapi juga menyangkut transformasi ekonomi yang melibatkan seluruh elemen bangsa menuju fundamental ekonomi yang lebih kuat.

Dia menjelaskan transformasi ekonomi yang diharapkan oleh pemerintah adanya kebangkitan industri hilir, kegairahan kapital nasional yang didalamnya terdapat kebijakan divestasi termasuk pembatasan luasan lahan. "Artinya membuka ruang bagi pengusaha lain lebih berkompetisi lebih sehat," kata Andi kepada Gresnews.com.

Terkait temuan KPK tersebut, Andi mengatakan pemerintah tentunya mengingingkan lebih cepat untuk menyelesaikan renegosiasi agar tidak negara tidak terlalu lama mengalami kerugian. Apalagi hal tersebut merupakan upaya untuk mensejahterahkan masyarakat. Disatu sisi dia menilai Freeport juga masih belum setuju dengan salah satu komponen dalam renegosiasi seperti luas lahan.

Kemudian perundingan renegosiasi tersebut Freeport masih memegang teguh kepada perjanjian kontrak lama sedangkan pemerintah sudah memiliki UU Minerba dan PP No 9 Tahun 2012 yang mengatur penerimaan negara berupa royalti. "Ya kan pemerintah terus melakukan perundingan. Tahap demi tahap dilalui. Saya kira ada kemajuan. Pemerintah komit dan sungguh-sungguh untuk melaksanakannya," kata Andi.

Menurutnya pemerintah melalui Kementerian ESDM memandang penyelesaian renegosiasi tidak semudah yang dibayangkan pemberian sanksi kepada para pengusaha pertambangan sangat sulit diterapkan. Pasalnya dalam proses renegosiasi tersebut posisi pemerintah menjadi pihak yang terlibat dalam renegosiasi.

Jika tidak sepakat atas arbitrase bisa saja Freeport mengancam pemerintah melalui arbitrase internasional. "Kita tentu ingin lebih cepat itu terjadi, tidak hanya KPK, pemerintah juga ingin lebih cepat," kata Andi.

BACA JUGA: