JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kebijakan pemerintah Indonesia melarang ekspor bahan mineral atau tambang mentah dan mengenakan pajak tinggi terhadap ekspor tambang mentah dianggap mengganggu kepentingan Jepang.  Negara matahari terbit itu mengancam akan memperkarakan Indonesia kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).   

Jepang pantas gundah dengan kebijakan ini karena negara ini diketahui menjadi tempat bagi produsen stainless steel terbesar di dunia. Mereka akan menghadapi pembengkakan biaya produksi terkait kebijakan ini. Sebab setelah ada  pemberlakuan larangan ini mereka harus berjuang untuk menemukan pasokan nikel lain di luar Indonesia.

Smelter nikel terbesar di Jepang , Sumitomo Metal Mining Co Ltd (SCM), misalnya, mengaku hanya memiliki stok pasokan bijih nikel untuk produksi ferro nikel hanya sampai Mei. Perusahaan ini menyatakan kemungkinan akan memangkas produksinya, terkait kebijakan di Indonesia dimana asal sebagian pasokan bahan baku berasal.

Jepang pada tahun 2012 diketahui mengimpor 44 persen bijih nikel dari Indonesia. Jumlah itu menurun dari sebelumnya sekitar 60 persen pada tahun 2009 saat negara Asia Tenggara mengumumkan akan melarang ekspor bijih mineral. Namun periode antara Januari-November, impor bijih nikel Jepang dari Indonesia kembali mengalami lonjakan sekitar 9 persen dari tahun sebelumnya. Peningkatan  itu terjadi begitu para produsen mendengar kabar akan diberlakukannya larangan ekspor tambang mentah oleh Indonesia .

Hal serupa juga dilakukan Cina, begitu mendengar Indonesia melakukan pelarangan ekspor mineral mentah. Negara tersebut meningkatkan impor bijih nikelnya dari Indonesia. Antara Januari hingga November impor bijih nikel mereka mencapai 36,1  juta ton. Atau meningkat 27 persen dari tahun sebelumnya.  Untuk memperoleh pasokan pengganti nikel asal Indonesia  yang saat ini dilarang. Para produsen ferro nikel di Jepang akan meningkatkan impor bijih nikelnya dari negara lain seperti Filipina dan Kaledonia Baru.

Namun ancaman Jepang untuk memperkarakan kebijakan Indonesia dalam forum perdagangan dunia WTO tak membuat Indonesia gundah. Menurut Kementerian Perdagangan pemerintah Indonesia memiliki alasan kuat,  bila Jepang benar-benar ke WTO.

Menurut Dirjen Perdagangan Luar Negeri, Bachrul, Indonesia tak bisa disalahkan dengan kebijakan tersebut. Sebab anggota WTO dibolehkan melarang ekspor dalam rangka mencegah kerusakan lingkungan dan untuk meningkatkan added value (nilai tambah). "Itu ada pasalnya yang membolehkan itu. Kita berharap Jepang tidak membawa ke dispute settlement, dalam pasal WTO," ujar Bachrul, Selasa (4/3/2014).

Menurut dia, dengan diterbitkan UU Nomor 4 Tahun 2009 yang melarang ekspor barang mentah, berarti Indonesia sudah mulai konsen untuk membangun industri tambang bernilai tambah di dalam negeri. Bachrul mengatakan bahwa Indonesia tidak melarang ekspor, hanya berusaha agar ada nilai tambah di dalam negeri. Selain untuk mencegah kerusakan, juga akan meningkatkan lapangan pekerjaan dan mencegah eksploitasi berlebihan. "Di WTO itu diperbolehkan," tambahnya.

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi sebelumnya juga menjelaskan, pengolahan tambang di dalam negeri penting untuk mendapatkan nilai tambah. Jepang harus menyadari itu, karena Indonesia sedang giat-giatnya membangun industri bernilai tambah di dalam negeri. "Saya utarakan teman-teman di Jepang bahwa memang trend ke depan ini bukan saja industri mendekati market atau pasar, tetapi industri juga harus mendekat pada komoditas," katanya.  

Lutfi memaparkan di tengah situasi harga minyak yang tinggi mencapai US$100, pengusaha Jepang misalnya harus membawa bahan baku dari Riau ke Australia, kemudian dibawa lagi ke Asahan jadi alumunium dan dibawa lagi ke Jepang untuk dimasukkan ke dalam Toyota. Selanjutnya  diimpor kembali oleh Indonesia. "Itu rasanya tidak mungkin," ungkapnya. (dtc)

BACA JUGA: