JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rancangan Undang-Undang Pertanahan dipastikan akan mengakomodasi masalah kepemilikan tanah yang selama ini dirasa kurang maju dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). "Di RUU ini semangatnya menyangkut kepemilikan petani, dan sebagainya. Karena kalau bicara kepemilikan jika tidak ada keadilan jadi masalah. Jadi harus diatur, karena sumber ketimpangan jadi sumber kemiskinan," kata anggota Komisi II DPR Rahardi Zakaria kepada Gresnews.com di sela-sela rapat dengan pakar hukum mengenai RUU Pertanahan, di Jakarta, Rabu (26/2).

Rahardi mengatakan penyusunan RUU Pertanahan dibuat bukan untuk menggantikan UUPA melainkan untuk memperkuatnya. Karena itu harus dipastikan RUU Pertanahan tidak bertentangan dengan UUPA. Lebih lanjut, menurut Rahardi, RUU Pertanahan juga akan mengatur mengenai kepemilikan individu dan perusahaan, sehingga diharapkan konflik-konflik agraria mengenai kepemilikan tanah tidak akan terjadi lagi. "Paling tidak semangat UU ini tidak ada yang mengarah kecenderungan monopolitik perusahaan-perusahaan besar," imbuhnya.

Bila disahkan kelak, RUU Pertanahan akan membawa konsekuensi bagi pemerintah untuk menertibkan kepemilikan tanah sesuai dengan UU. Rahardi juga menyoroti mengenai kepemilikan tanah oleh perusahaan-perusahaan BUMN seperti PT Kereta Api Indonesia (KAI). Negara hanya menguasai, tapi BUMN itu memiliki. "Itu menjadi persoalan ketika perusahaan negara itu menjadi PT maka akan bersifat private oriented, apakah badan-badan tersebut masih bisa memiliki?" ujarnya.

Pakar Hukum Universitas Gadjah Mada Maria Sumardjono mengatakan jika RUU Pertanahan ini kelak disahkan maka perusahaan-perusahaan negara yang berubah menjadi PT tidak lagi berwenang memiliki aset-aset negara di luar arealnya saat ini. Dalam RUU Pertanahan kelak perusahaan BUMN yang menjadi PT hanya berwenang untuk mengelola tanah tersebut dan bukan untuk memiliki.

"Hak menguasai itu bukan memiliki, yaitu mengelola dan mengawasi. Seberapa luasnya menguasai negara? Secara abstrak semua bumi dikuasai oleh negara. Kalau terhadap bidang yang ada penguasaannya (dikuasai oleh perusahaan negara) maka berhenti. Termasuk kalau ada hak atas ulayat, negara dibatasi," kata Maria dalam penjelasan kepada Komisi II DPR RI.

Lebih lanjut Maria mengatakan UUPA selama ini dinilai belum mengantisipasi perkembangan ilmu, teknologi, politik, sosial ekonomi maupun budaya serta perkembangan kebutuhan masyarakat. Sehingga dalam UUPA perlu dilengkapi beberapa hal. Pertama, penegasan tentang perlunya batas maksimum hak atas tanah untuk keperluan usaha dalam rangka mencegah spekulasi dan pelantaran tanah.

Kedua, penuntasan restrukturisasi penguasaan dan pemilikan tanah yang dilengkapi dengan pemberian kesempatan untuk memperoleh akses terhadap modal, teknologi dan pasar.

Ketiga, pencegahan alih fungsi tanah dan penyediaan tanah untuk ruang publik.

Keempat, resolusi sengketa dan konflik baik melalui proses pengadilan maupun diluar pengadilan dan melalui suatu Komisi Nasional untuk menyelesaikan sengketa dan konflik yang masih, berdampak luas, sektoral dan berskala luas.

Kelima, hak untuk menggunakan ruang di bawah atau di atas tanah. Keenam, menekankan pentingnya fungsi ekologis di samping fungsi sosial hak atas tanah. Ketujuh, menuntaskan pendaftaran semua tanah di wilayah Indonesia. Sehingga diharapakan RUU Pertanahan kelak dapat mengakomodasi kekurangan UUPA itu.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II Abdul Hakam Naja mengatakan RUU ini ditargetkan selesai pada DPR periode saat ini. "Jadi pembahasan DIM akan dilanjutkan setelah pileg pada bulan April," imbuhnya.

BACA JUGA: