JAKARTA, GRESNEWS.COM - Lembaga eksekutif paling banyak mendapat sorotan negatif dari masyarakat dibandingkan dengan lembaga legislatif dan yudikatif. Hal itu terungkap dari hasil riset yang dilakukan oleh Paramadina Graduate Schools of Communication dengan Awesometric pada bulan November hingga Desember 2013 lalu. Riset dilakukan terhadap 500.000 responden melalui media sosial twitter.

Hasil riset itu menunjukkan, kinerja lembaga eksekutif paling banyak mendapatkan sorotan negatif diantara ketiga lembaga negara. Sejumlah 44 persen responden mengaku tak puas dengan kinerja eksekutif. Di urutan kedua ada lembaga yudikatif (29%), dan legislatif (27%). 

Beberapa hal yang menjadi sorotan negatif masyarakat adalah meyangkut layanan publik (55,1 %), kualitas pendidikan (13,8 %), layanan kesehatan (7,5 %), RI - Australia (5,5 %), century (5,0 %), polemik MK (3,6 %), kinerja kejaksaan (3,2 %), kinerja DPR (2,5 %), pemilu (2,5 %), pemberantasan korupsi (1,2 %).

Ada tiga faktor yang menjadi pertimbangan dalam melakukan riset ini. Pertama, kicauan yang lebih genuine yaitu yang benar-benar muncul dari benak publik. Kedua minim sensor. Ketiga kicauan publik dalam twitter yang juga di-share dan di-retweet di media massa.

Kepala Jurusan Ilmu Komunikasi Politik Paramadina Graduate Schools, Abdul Malik Gismar mengatakan dari hasil riset itu diketahui, tata kelola menjadi persoalan mendasar bagi publik. Melalui tata kelola pemerintahan yang baik, demokrasi bisa mendapat image yang baik dalam hati masyarakat.

Sementara demokrasi yang berkembang di Indonesia saat ini merupakan demokrasi simbolik, bukan demokrasi substansial. "Ini tidak sehat, sebab pada akhirnya rakyat akan mengukur, melihat, menagih apakah janji-janji demokrasi itu bisa dipenuhi," kata Malik dalam siaran pers yang diterima oleh Gresnews.com, Jumat (7/2).

Janji-janji demokrasi itu adalah kebebasan, keadilan, keamanan dan kesejahteraan. Malik menambahkan bila pemerintah tidak mampu menepati janjinya pada rakyat, maka demokrasi akan dihujat lebih buruk lagi oleh masyarakat. Dia bilang, lebih buruk lagi demokrasi akan kehilangan kredibilitasnya. Sehingga masyarakat tidak percaya lagi dengan demokrasi.

Dikatakannya, bila demokrasi tidak bisa memberi jalan ke pencapaian tujuan, maka publik akan mencari jalan sendiri. Dengan kata lain, demokrasi mengalami defisit. "Yang terlihat sekarang adalah civil discontent yaitu adanya ketidakpuasan terhadap pelayanan publik oleh negara," ujar Malik.

Abdul Malik Gismar yang juga anggota Panel Ahli Indonesia Demokrasi Index menambahkan political discontent merupakan bentuk ketidakpuasan terhadap aparatus politik, seperti partai politik, lembaga pemerintah, dan lain-lain. Dampak dari political discontent adalah apatisme (keputusasaan) politik, sampai keseluruhan tata kelola demokrasi itu sendiri.

Padahal, menurut Malik rakyat hanya menuntut pada tuntutan yang sah atau legitimate democratic demand, seperti perbaikan listrik mati, jalan rusak, layanan kesehatan dan sebagainya. Namun sayangnya negara tidak merespon tuntutan itu. Tidak adanya respon itu akan berdampak pada semakin suburnya ketegangan yang terjadi di berbagai tempat di tanah air. "Ini karena negara tidak sigap mengakomodiasi kebebasan sipil yang berkembang sejak era reformasi," ujarnya.

Penggagas Forum Membaca Indonesia ini mengambil contoh, kasus penyegelan sekolah oleh masyarakat yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia. Setelah ditelusuri pangkal masalahnya karena proses pembebasan lahan untuk SDN itu tidak memenuhi prosedur. Pemilik tanah merelakan tanahnya dibeli pemerintah, karena untuk tujuan yang baik yaitu dengan mendirikan sekolah.

Pada ksempatan terpisah, Ketua Ombudsman RI Danang Girindrawardana mengatakan dari hasil survei yang dilakukan Ombudsman pada September hingga November 2013 mengenai Kepatuhan Unit Pelayanan Pemda terhadap UU Nomor 25 Tahun 2009 juga mengungkapkan hasil nyaris serupa. Bedanya Ombudsman melakukan riset atas kinerja pemerintahan daerah.

Hasil survei mengungkapkan, tingkat kepatuhan Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) baik tingkat provinsi maupun kota di 22 provinsi, hanya mencapai 55 persen. Hasil riset itu juga mengungkapkan empat dinas yang mendapat nilai merah soal kinerja yaitu Badan Lingkungan Hidup, RSUD, Dinas Ketenagakerjaan, Dinas Pendidikan dan Dinas Sosial.

BACA JUGA: