JAKARTA, GRESNEWS.COM - Minggu tanggal 22 Desember 2013 diperingati sebagai Hari Ibu ke-85. Namun bagi beberapa aktivis perempuan, tanggal tersebut lebih tepat diperingati sebagai Hari Perempuan. Kenapa? Direktur Advokasi LBH Keadilan Halimah Humayrah Tuanaya mengatakan, masyarakat banyak yang kurang paham mengenai sejarah hari ibu. Pada Kongres Perempuan Pertama 22 Desember 1928 yang diperjuangkan adalah perbaikan kedudukan perempuan secara umum. "Bukan kedudukan perempuan secara individu," kata Halimah dalam pernyataan tertulis yang diterima Gresnews.com, Minggu (22/12).

Dengan memilih istilah “Hari Ibu”, menurut Halimah, posisi perempuan sebagai “individu seorang ibu” diangkat sebagai yang paling penting, bukan peran perempuan sebagai pejuang kepentingan kaumnya dalam arti yang lebih luas seperti memperjuangkan akses anak perempuan pada pendidikan, hak untuk menikah tanpa paksaan, dan bebas dari kekerasan dan poligami. Penggunaan istilah “Hari Ibu” juga, menurutnya, lebih menitikberatkan perempuan sebagai individu dalam perannya sebagai seorang Ibu. "Sayang, publik sudah terlanjur mengenal 22 Desember sebagai Hari Ibu. Sebagai ajakan, mari jaga makna Hari Ibu agar tidak mengalami distorsi," ujarnya.

Dalam konteks kekinian, kata Halimah, perjuangan perempuan difokuskan pada pengurangan angka kematian ibu, penghapusan kekerasan terhadap perempuan seperti kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual dan kekerasan negara melalui kebijakan-kebijakan yang mendiskriminasikan perempuan. Catatan Komnas Perempuan, pada 2012 terdapat lebih dari 4000 kekerasan seksual dan 342 kebijakan telah mendiskriminasikan perempuan. Daerah paling banyak mengeluarkan kebijakan diskriminatif adalah Jawa Barat, Sumatra Barat, Sulawesi Selatan, Aceh, Kalimantan Selatan, Sumatra Selatan dan Jawa Timur.

Melihat sedikit ke belakang, fakta sejarah dengan jelas memang mengungkapkan peran penting kaum perempuan sebagai bagian dari perjuangan menuju kemerdekaan. Meski begitu peran penting kaum perempuan ini memang tidak banyak dicatat oleh sejarah. Ini karena perempuan pada mulanya tidak banyak berada dalam posisi pengambil keputusan. Karena itu kemudian kaum perempuan mengorganisasikan diri membentuk perkumpulan sendiri yang terpisah dari kaum laki-laki. Lewat organisasi dan perkumpulan inilah kaum perempuan dapat memperjuangkan kepentingan kaumnya dan juga masyarakat secara umum dengan lebih bebas. Dalam posisi ini kaum perempuan mulai membicarakan masalah keterwakilan mereka di parlemen atau memperjuangkan kepentingan kaum perempuan agar terwakili dalam setiap kebijakan.

Keterlibatan kaum perempuan dalam pergerakan nasional ini memang bermula dari aktivitas mereka di perkumpulan perjuangan umum seperti Jong Java, Jong Sumatera atau Jong Ambon. Ada juga yang beraktivitas lewat organisasi Wanita Tomo yang merupakan sayap dari organisasi Boedi Oetomo, Poetri Indonesia yang merupakan sayap dari Putra Indonesia dan Wanita Taman Siswa yang adalah bagian dari Taman Siswa. Tercatat ada beberapa tokoh perempuan yang muncul dari organisasi-organisai perjuangan ini seperti Nyi Hajar Dewantoro, Sitti Sundari dan lain-lain.

Sebelum itu, kaum perempuan juga lebih dulu mengorganisir diri lewat perjuangan di bidang pendidikan seperti yang dilakukan RA Kartini, Dewi Sartika, yang mendirikan Sakola Istri yang merupakan sekolah perempuan pertama di Hindia-Belanda pada 16 Januari 1904. Ada juga tokoh perempuan Sumatera Barat Siti Rohana Kudus yang mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia tahun 1911. Lewat sekolah itu Rohana mengajarkan keterampilan khusus kepada perempuan seperti baca-tulis, pendidikan agama, bahkan pendidikan bahasa Belanda dan mengelola keuangan.

Sejarah mencatat organisasi khusus perempuan pertama di Hindia Belanda sudah berdiri di tahun 1916 yaitu Poetri Mardika (ada yang menyebut tahun 1912) di Jakarta. Organisasi ini sudah mengusung tema kesetaraan kaum perempuan dengan memperjuangkan pendidikan untuk perempuan dan mendorong perempuan untuk tampil di muka umum. Gerak perjuangan kaum perempuan inilah yang kemudian bermuara pada diselenggarakannya Kongres Perempuan Indonesia pertama pada 22 Desember 1928 di Yogyakarta. Kongres ini dihadiri oleh perwakilan 30 perkumpulan perempuan dari seluruh Indonesia, di antaranya adalah Putri Indonesia, Wanito Tomo, Wanito Muljo, Wanita Katolik, Aisjiah, Ina Tuni dari Ambon, Jong Islamieten Bond bagian Wanita, Jong Java Meisjeskring, Poetri Boedi Sedjati, Poetri Mardika dan Wanita Taman Siswa.

Hasil penting yang dicapai dalam kongres adalah: Pertama, mengirimkan mosi kepada pemerintah kolonial untuk menambah sekolah bagi anak perempuan. Kedua, pemerintah wajib memberikan surat keterangan pada waktu nikah (undang-undang perkawinan). Ketiga, segera diadakan peraturan yang memberikan tunjangan pada janda dan anak-anak pegawai negeri Indonesia. Keempat, memberikan beasiswa bagi siswa perempuan yang memiliki kemampuan belajar tetapi tidak memiliki biaya pendidikan, lembaga itu disebut stuidie fonds. Kelima, mendirikan suatu lembaga dan mendirikan kursus pemberatasan buta huruf, kursus kesehatan serta mengaktifkan usaha pemberantasan perkawinan kanak-kanak. Keenam, mendirikan suatu badan yang menjadi wadah pemufakatan dan musyawarah dari berbagai perkumpulan di Indonesia, yaitu Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI). PPPI bertujuan memberikan informasi dan menjadi mediator berbagai perkumpulan perempuan di dalamnya.

Kongres perempuan pertama juga memunculkan berbagai inisiatif kaum perempuan untuk mendirikan perkumpulan-perkumpulan baru yang bertujuan membela dan melindungi hak kaum perempuan. Diantaranya adalah lahirnya Perkumpulan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak-anak (P4A) yang didirikan tahun 1929. Pendirian perkumpulan itu disebabkan oleh merajelanya perdagangan anak perempuan. Pada tahun tersebut berita tentang beberapa anak perempuan dari Desa Pringsurat di Magelang yang diculik saat berwisata ke Semarang menjadi sorotan media massa. Mereka diculik dan dibawa ke Singapura setelah sebelumnya dibius dan tak sadarkan diri. Pada tahun 1930, P4A tercatat berhasil menyelamatkan dua orang anak perempuan dari Jawa Tengah dan dikembalikan ke keluarganya. Mereka diselamatkan saat akan dilakukan transaksi atas diri mereka di rumah bordil di Singapura.

Dalam sejarah tercatat, kongres perempuan terus dilakukan hingga terakhir dilaksanakan pada tahun 1941. Tahun 1929 misalnya diadakan Kongres PPPI. Pada Kongres ini isu yang diangkat sebagai pembahasan di antaranya adalah masalah kedudukan dan peran sosial dan ekonomi perempuan, peran dan kedudukan perempuan dalam perkawinan, dan kehidupan dalam keluarga. Permasalahan perkawinan khususnya poligami, kawin paksa dan perkawinan anak-anak juga menjadi topik yang dibahas tersendiri. Dalam kongres ini PPPI juga memutuskan untuk mengganti nama menjadi Perikatatan Perkumpuan Istri Indonesia (PPII).

PPII kemudian mengadakan kongres lagi di Surabaya pada 13-18 Desember 1930. Salah satu tonggak pencapaian yang perlu dicatat adalah pada kongres ini PPII mendirikan Badan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak-anak (BPPPA) yang diketuai oleh Ny. Sunarjati Sukemi. Terbentuknya BPPPA disebabkan keprihatinan yang mendalam atas nasib yang menimpa anak-anak peremepuan yang terkena praktek Cina Mindering, yaitu petani meminjam uang dengan bunga yang sangat tinggi dan tidak dapat mengembalikannya, sehingga kerapkali anak gadis petani dijadikan penebus hutang-hutang itu. Dalam kongres ini juga mulai dibahas isu buruh perempuan didasari pada nasib buruh batik di Lasem yang mengalami penindasan.

Tonggak penting lain soal perburuhan perempuan dicatat dalam Kongres Perempuan Indonesia, di Jakarta pada tanggal 20-24 Juli 1935. Dalam kongres itu diputuskan untuk mendirikan Badan Penyelidikan Perburuhan Perempuan yang berfungsi meneliti pekerjaan yang dilakukan perempuan Indonesia. Peringatan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu sendiri ditetapkan dalam Kongres Perempuan Indonesia di Bandung bulan Juli tahun 1938. Namun penyebutan "Hari Ibu" di sini tentunya tidak dimaknai untuk mereduksi perempuan hanya sebagai ibu dalam konteks peran domestik di rumah tangga.

Sebab, perjuangan kaum perempuan kemudian justru semakin tegas menetapkan tujuan untuk mengangkat derajat kaum perempuan. Faktanya, pada kongres tahun 1941, kaum perempuan mulai menggarap isu "Indonesia Berparlemen" yang memuat tuntutan hak pilih dan dipilih dalam parlemen, yang ditujukan untuk memperjuangkan Indonesia merdeka. Dalam kongres inilah kaum perempuan menyatakan diri selain memiliki hak memilih juga hak untuk dipilih.

BACA JUGA: