JAKARTA, GRESNEWS.COM - Para anggota Dewan Perwakilan Rakyat terbilang gigih dan tak kenal menyerah bila menyangkut kepentingannya sendiri. Misalnya dalam hal memperjuangkan pembangunan gedung baru.

Kendati telah berulang kali minta gedung baru dan fasilitas tambahan lalu ditolak pemerintah, tak membuat para wakil rakyat yang terhormat ini mundur. Akhir Juli ini, DPR kembali meminta gedung baru dan apartemen yang akan dibangun di tanah bekas Taman Ria Senayan, Jakarta yang masih berada di kompleks parlemen.

Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Syamsudin Harris menilai rencana pembangunan gedung baru DPR belum terlalu mendesak. Harris justru meminta anggota DPR untuk meningkatkan kinerjanya.

"Ya, pada intinya sebetulnya kalau saya bilang sih kalau dihubungkan dengan kinerja ya sebenarnya sebab bagaimana pun konteksnya harus dihubungkan dengan kinerja dewan juga, kalau dihubungkan ke situ belum mendesak," ujar Harris, Rabu (16/8) malam.

Menurut Harris, tidak elok apabila anggota DPR terus menerus menuntut fasilitas baru sementara kinerja mereka tak meningkat. Fasilitas saat ini pun dianggap cukup memadai untuk para politikus Senayan tersebut.

"Ini kan publik rakyat menuntut DPR, tunjukkan dulu kinerjanya yang baik, lalu kemudian menuntut fasilitas-fasilitas, fasilitas-fasilitas yang dimiliki saat ini masih memadai. Bukan tidak boleh membangun gedung, boleh saja. Tetapi jangka panjang, bukan dalam jangka pendek," tuturnya.

Harris lantas mengungkapkan produk legislasi yang dihasilkan DPR kerapkali tak mencapai target. Kasus korupsi yang menjerat beberapa anggota DPR pun menambah deretan kekecewaan publik terhadap mereka.

"Ya itu jelas ya, produk legislasi yang dihasilkan oleh dewan presentasinya kecil sekali, setiap tahun itu paling banyak sekitar 10 persen. Termasuk tahun ini ya kita belum tahu, paling 10 persen. Yang kedua adalah komitmen untuk penegakan hukum, korupsi itu juga ini," ungkapnya.

Sebelumnya, Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR Anton Sihombing menjelaskan anggaran pembangunan gedung baru DPR sebesar Rp 320,44 miliar untuk tahap pertama. Dana Rp 320,44 miliar tersebut telah terdapat dalam APBN 2018 DPR sebesar Rp 5,7 triliun.

"Dananya itu Rp 320,44 miliar kalau untuk gedung," jelas Anton di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (16/8).

Anton mengatakan pembangunan gedung baru DPR itu bersifat multiyears. Lebih lanjut, dalam APBN 2018 DPR sebesar Rp 5,7 triliun, terdapat juga alokasi dana untuk pembangunan alun-alun demokrasi.

"Untuk alun-alun demokrasi Rp 280 miliar. Jadi semua itu Rp 601 miliar. Itu alun-alun Rp 280 M (miliar) sekian, gedung Rp 320,44 miliar," katanya.

Sikap pemerintah saat itu juga jelas menolak permintaan tersebut. Wakil Presiden Jusuf Kalla justru kembali mengingatkan bahwa 5 tahun lalu pemerintah mengeluarkan anggaran ratusan miliar rupiah untuk rehabilitasi kompleks rumah dinas anggota DPR di Kalibata, Jakarta Selatan.

"Masih ingat kan? Ratusan miliar digunakan untuk merehabilitasi rumah-rumah di DPR sehingga jauh lebih baik darisebelumnya," kata JK kepada wartawan di kantor Wapres, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Selasa (15/8).

JK pun meminta anggota DPR menempati rumah dinas yang telah disiapkan dan direnovasi tersebut ketimbang minta apartemen. Menurut dia, sayang anggaran ratusan miliar yang digunakan untuk renovasi akan terbuang sia-sia jika apartemen untuk anggota DPR tetap dilanjutkan.

Terkait wacana pembangunan gedung baru DPR, Wapres JK juga mengisyaratkan pemerintah tak bisa memenuhi. Alasannya saat ini pemerintah masih dalam moratorium pembangunan gedung baru.

"Sementara ini pemerintah memutuskan masih moratorium pembangunan gedung-gedung baru, terkecuali sekolah, rumah sakit dan balai penelitian. Jadi mestinya DPR kita harapkan memahami hal tersebut," ujar JK.

Wakil Ketua DPR Fadli Zon memastikan pihaknya sudah menyurati pemerintah mengenai rencana pembangunan itu. "Saya kira sudah surati dua tahun lalu, saya komunikasikan secara intensif waktu pembahasan anggaran. Anggaran tahun lalu sudah turun tapi realisasinya terlambat," kata Fadli di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (15/8).

Fadli mengetahui mengenai moratorium pembangunan gedung pemerintah. Tapi dia mengatakan pihaknya telah mendapatkan surat dari dari presiden untuk mengecualikan Gedung DPR. "Dari dulu juga moratorium, tapi untuk DPR presiden sudah menyurati kalau DPR tidak," aku Fadli.

Politikus dari partai Gerindra ini mengatakan, kebutuhan akan pembangunan gedung DPR baru sudah mendesak. Fadli menyebut jumlah staf ahli yang semakin banyak menyebabkan Gedung Nusantara I yang menjadi tempat ruang kerja anggota dewan sudah over kapasitas.

"Jumlah tenaga ahli bertambah karena UU MD3 tahun 2014. Mungkin sebelum 2014 masih bisa disiasati karena jumlah tenaga ahli, staf administrasi masih dua. Sekarang kan sudah tujuh, jadi secara kapasitas dan kuantitas sudah berubah," tegas Fadli.

BERULANG KALI - Bukan kali ini saja, DPR mendapat penolakan setiap kali akan meminta gedung baru. Usulan pembangunan gedung baru itu sudah muncul sejak 2006. Alasannya ruang yang tersedia tak lagi mampu menampung 560 anggota DPR dan staffnya.

Usulan tersebut ditindaklanjuti oleh Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR dengan menyusun grand design kompleks parlemen. Pada Oktober 2008, sekretariat jenderal DPR melakukan lelang konsultan untuk mereview masterplan, AMDAL dan audit struktur gedung.

Tahun 2009 Sekretariat Jenderal DPR menyodorkan konsep gedung dengan desain huruf U terbalik. Terdiri atas 36 lantai, lengkap dengan kolam renang, pusat kebugaran, dan spa. Tak pelak, usulan ini pun membuat gaduh lantaran biaya yang dibutuhkan mencapai Rp 1,6-1,8 triliun. Biaya untuk satu ruang anggota dengan luasan 100 meter persegi mencapai Rp 800 juta atau seharga satu rumah mewah di kota Solo, Jawa Tengah kala itu.

Pada April 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta pembangunan gedung DPR baru tak dilanjutkan jika tak mendesak. DPR tetap melobi agar pembangunan gedung dilanjutkan dengan menurunkan anggaran menjadi Rp 1,13 triliun. Namun penolakan dari masyarakat terus berlanjut. Sebulan kemudian Ketua DPR Marzuki Alie membatalkan proyek pembangunan gedung tersebut.

Nyatanya, upaya mengusulkan pembangunan gedung baru tak hilang. Tahun 2014 dari Rp 27 triliun anggaran yang diajukan, DPR mengusulkan Rp 2,7 triliun di antaranya digunakan untuk membangun gedung baru.

Namun setahun kemudian, muncul usulan dari DPR untuk membangun 7 megaproyek di dalam kompleks parlemen. Lagi-lagi publik menolak 7 megaproyek tersebut.

DPR kemudian menurunkan jumlah proyek dari semula 7 menjadi 3. Namun anggaran yang dibutuhkan tetap mencapai Rp 2,08 triliun itu. Perinciannya untuk renovasi dan pengembangan kompleks kawasan parlemen mendapat jatah anggaran sebesar Rp 1.592.433.500.000.

Sementara untuk pembangunan alun-alun demokrasi dan basement buat visitor center dijatah Rp 478.604.000.000. Anggaran ini diajukan secara tahun jamak atau multiyears. Pemerintah tak menyetujui megaproyek tersebut lantaran masih dalam moratorium pembangunan gedung. (dtc)

BACA JUGA: