JAKARTA, GRESNEWS.COM – Rancangan Undang-Undang (RUU) Perdagangan yang sedang dibahas di Komisi VI DPR sebaiknya dirombak ulang dan dikembalikan pada pemerintah. Roh dari RUU Perdagangan itu ternyata hanya mendukung perdagangan bebas (free trade) tanpa mempertimbangkan asas pemerataan yang tertuang dalam konstusi negara Indonesia.

Pengamat Ekonomi Ichsanuddin Noorsy mengatakan konsep utama draft RUU Perdagangan itu tunduk pada konsep Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organisation/WTO), dimana konsep utamanya adalah liberal.

"Konsep WTO dilihat dari konsep pengendalian. Konsep itu availability. Harga yang stabil (affordability). Barang itu bisa diterima dan merata (acceptable). Dan kemudian dengan distribusi yang bagus (accessible). Sementara konsep utama dari WTO adalah ketahanan ekonomi, bukan kedaulatan ekonomi," katanya dalam diskusi umum mengenai RUU Perdagangan di Jakarta pada Selasa (22/10).

Perbedaan ketahanan ekonomi dan kedaulatan ekonomi terletak pada tujuan dan manfaatnya. Bila ketahanan ekonomi mengutamakan permintaan pasar. Dimana barang diproduksi terus menerus berdasarkan permintaan pasar dan tidak mengutamakan pemberdayaan sendiri. Sementara kedaulatan ekonomi adalah prinsip ekonomi yang mengutamakan pemberdayaan rakyat dan mandiri.

Ichsan menambahkan, bukti lain yang menunjukkan RUU Perdagangan ini mengarah pada konsep liberalisme yaitu pada bab standarisasi. Menurutnya bab standarisasi, dengan konsep keperlindungannya yang dilakukan yaitu ketika barang itu langka dan harganya melonjak. "Bukan dalam konsep yang dalam naskah akademik membangun demokrasi ekonomi. Sedangkan yang tertulis dalam draft RUU Perdagangan saat ini, pemerintah baru memberikan perlindungan ketika barang langka, dan harga tinggi, pemerintah baru turun menangani hal itu," ujarnya.

Menurutnya perlindungan itu haruslah yang berpihak pada hajat hidup orang banyak. Sehingga aturan yang dibuat seharusnya sejak awal berpihak pada kepentingan rakyat, bukan pasar internasional. Dampaknya yaitu semakin bergantungnya pada investasi asing dan tidak menumbuhkan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dalam negeri.

Padahal menurutnya, investasi asing hanya mampu menyerap tenaga kerja kurang lebih 3 persen. Sedangkan UKM mampu menyerap tenaga kerja lebih dari 90 persen. Logikanya adalah modal yang banyak hanya dikuasai oleh segelintir pemilik modal dan tidak ada asas pemerataan. Padahal dalam konstitusi Indonesia ekonomi haruslah dijalankan berdasarkan kepentingan rakyat, bukan segelintir pemilik modal.

Disisi lain draft RUU Perdagangan juga memaksakan UKM dalam negeri untuk bersaing dengan UKM negara lain seperti Cina, Taiwan, Korea Selatan dan Jepang. Sementara bila itu terjadi maka dapat dipastikan UKM dalam negeri akan kalah bersaing dengan UKM negara-negara lain.

Beberapa pasal lainnya juga membuktikan tidak adanya ketegasan keberpihakan pemerintah terhadap pelaku usaha dalam negeri maupun UKM. Hal tersebut dilihat dari Pasal 1 dan Pasal 48. Pasal 1 pada ketentuan umum tentang perorangan dan koorporasi, tidak dibedakan antara pelaku domestik dan asing. Pasal 48 tentang UKM juga tidak ada ketegasan dukungan biaya produksi UKM dan penciptaan pasar.

Dengan demikian, Ichsan menyatakan bahwa konsep berpikir dari draft RUU Perdagangan ini dibuat untuk kepentingan para pemilik modal besar bukan rakyat Indonesia. Dalam argumennya Ichsan mendukung proses globalisasi, tapi bukan globalisme. Menurutnya, globalisasi adalah cara dan upaya untuk menaikkan standar kemampuan ekonomi dalam negeri terhadap dunia.

Sedangkan globalisme adalah menyamakan kondisi usaha dalam negeri seperti  negara lain. Dimana konsep globalisme adalah mengutamakan kepentingan pasar, yang berujung pada kepentingan pemilik dan bukan kepentingan rakyat.

"Bila draft RUU Perdagangan ini tetap diteruskan dalam frame globalisme, maka dapat dipastikan akan semakin menjerat bangsa Indonesia," tegasnya.

Pada kesempatan yang sama Wakil Ketua Komisi VI dari Fraksi PDIP, Aria Bima menyatakan fraksinya tetap akan meneruskan pembahasan dengan mengembalikan naskah akademik kepada pemerintah Indonesia. Terkait isu perdangan bebas dengan China (CAFTA), Politisi PDIP itu menyatakan bahwa sejak awal pihaknya (F-PDIP) tidak sepakat akan kerjasama tersebut.

Menurutnya, kerjasama itu akan banyak berpotensi merugikan bangsa Indonesia. "CAFTA per 1 Januari 2010 itu adalah suatu kebijakan yang perlu dievaluasi karena tidak ada prasyarat-prasyarat yang objektif dan subjektif untuk kita masuk ke sistem free trade. Karena cost competitive kita sangat tidak berimbang, dan ini kita tolak," imbuhnya.

Sementara itu, Juru Bicara Kementerian Perdagangan Arlinda Imbang Jaya mengatakan proses pembahasan RUU Perdagangan itu tetap akan dilanjutkan, karena hampir seluruh fraksi menyetujui draft tersebut. "Dari hasil pertemuan terakhir dengan DPR, hampir seluruh fraksi menyetujui draft ini, hanya ada beberapa sedikit catatan dari mereka,” katanya kepada Gresnews.com pada Rabu (23/10).

Menurutnya, beberapa catatan itu akan dipertimbangkan oleh Kementerian Perdagangan. Ia yakin bahwa RUU itu akan dapat dirampungkan pada akhir tahun. Apalagi mengingat sejak RUU ini diajukan, pemerintah menahan RUU Perdagangan selama 7 tahun.

(Mungky Sahid/GN-04)

BACA JUGA: