PARTAI Demokrat dituding menjadi penggagas hingga terbitnya Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 7/2012, terkait kepentingan mengumpulkan ´modal´ menyongsong Pemilu 2014.

Disain penggalangan logistik Pemilu 2014 melalui regulasi pertambangan ini didukung dua elit Demokrat yakni Jero Wacik sebagai Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Sutan Bhatoegana di Komisi VII DPR yang menangani masalah ESDM, riset dan teknologi serta lingkungan.

"Desain penggalangan ini berjalan lancar krn dua posisi penting kebijakan pertambangan dipegang oleh partai Demokrat di pemerintahan dan DPR," kata Koordinator Temu Aktivis Lintas Generasi (Tali Geni) Jeppri F Silalahi melalui pernyataan tertulisnya yang diterima Minggu (1/7).

Menyikapi tudingan tersebut, Sutan Bhatoegana menilainya sebagai ilusi, karena tidak ada kepentingan Demokrat pada Permen tersebut kecuali kepentingan bangsa yang lebih besar. Sementara pemerintahan SBY-Boediono bukan didominasi Partai Demokrat melainkan koalisi partai yang bergabung di Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi.

"Tuduhan itu ilusi. Pernyataan LSM kerap membingungkan. Ketika pemerintah melakukan swastanisasi BUMN melalui go public dibilang menjual tanah air. Ketika mengamankan sumber alam agar diolah dulu sebelum diekspor dibilang dituduh macam-macam. Maunya gimana?" tanya Sutan ketika dihubungi gresnews.com, Minggu (1/7).

Menurut Sutan, Permen ESDM Nomor 07 dan revisinya Nomor 11/2012 bertujuan positif, untuk menambah nilai tambah bagi produk pertambangan sebelum diekspor.

"Buat kepentingan negara dan bangsa kok dituduh macam-macam. Tapi saya menyadari bahwa pernyataan kontroversial terhadap partai berkuasa memang isunya laku. Sesuai sikap LSM bahwa partai dan sosok berkuasa selalu seksi untuk diberitakan," ungkap Sutan.

Pasal 21
Pro dan kontra Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 7/2012 dan regulasi revisinya di Permen ESDM Nomor 11/2012 terus bergulir. Regulasi itu dinilai membatasi pengusaha mineral mengekspor bijih (raw material atau ore) mineral akan mengurangi nilai tambah bagi pengusaha. Akibatnya, perusahaan tambang yang sebagian besar dimiliki pengusaha nasional akan kolaps dan terpaksa mem-PHK pekerja.

Fokus sengkarut di pasal 21 Permen tersebut yang menyatakan: Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, pemegang IUP Operasi Produksi dan IPR yang diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dilarang untuk menjual bijih (raw material atau ore) mineral ke luar negeri dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya Peraturan
Menteri ini.

Menurut Jeppri, kontrak karya pengatur tata niaga mineral diberikan negara kepada Pemegang IUP dengan tiga pilihan.

Pertama, katanya lagi, bayar bea ekspor 20% lalu jika keberatan maka pemegang IUP diberi pilihan kedua, yaitu membangun Smelter dgn biaya yg sangat besar, dimulai dengan membangun pembangkit listrik 25 megawatt senilai Rp3 triliun lalu membangun pabrik smelter-nya dengan biaya hingga Rp3 triliun.

"Biaya itu semua belum termasuk biaya yang dikeluarkan di luar beragam biaya perijinan, pembebasan lahan dan infra struktur," ungkap Jeppri.

Dia menambahkan, apabila pemegang IUP tidak memiliki modal membangun Smelter maka pilihan ketiganya adalah menjual hasil produksi tambang ke pemlik Smelter yaitu perusahaan pemegang Kontrak Karya (KK).

"Pada akhirnya pemegang IUP sengaja digiring oleh Permen Nomor 7 dan PMK 20 persen untuk dijadikan pemegang kontrak karya sebagai pengatur tata niaga mineral," tambahnya lagi.

BACA JUGA: