REFORMASI sudah berlangsung selama 14 tahun, namun gagal merealisasikan mimpi politik akibat minimnya negarawan yang muncul untuk memimpin menuju ke arah perubahan.

"Setelah 14 tahun berjalan, Reformasi belum mampu merealisasikan mimpi politiknya. Karena miskinnya negarawan yang muncul untuk memimpin perubahan ke arah perubahan, demi perbaikan nasib rakyat kecil," kata Ahmad Syafi´i Ma´arif, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah kepada gresnews.com via pesan singkat, Senin (14/5).

Tantangan tersebut, ungkap Syafi´i, yang harus dicarikan jawabannya oleh pemimpin yang akan datang.

Syafi´i juga menyoroti pencegahan maupun penindakan kasus korupsi karena negara hampir tidak memiliki kekuatan untuk membendungnya.

"Negara hampir tidak memiliki kekuatan untuk melawan tirani dan korupsi yang semakin tak terbendung," ungkapnya lagi.

Civil Society
Pendapat senada dikemukakan pengamat politik Universitas Bung Karno (UBK) Christofel Nalenan bahwa penegakan hukum harus takluk pada tangan kekuasaan oligarki yang mampu menjangkau dan menguasai seluruh pilar demokrasi termasuk institusi hukum.

"Dengan civil society yang lemah mereka dengan mudah mengintervensi hukum, baik institusinya maupun aktornya, para penegak hukum," ungkap Christofel via telepon di Jakarta, Senin (14/5).

Di tempat terpisah, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai Reformasi tetap jalan di tempat karena negara hingga hari ini belum mengakui kesalahannya pada 1998.

"Seharusnya negara mengakui bahwa pada 1998 mengeluarkan kebijakan yang melanggar HAM, melanggar hak warga negara-nya. Karena merasa bersalah baru kemudian minta maaf. Tapi sekarang ini pemerintah belum mengakui kalau mereka salah, tiba-tiba sekarang orang disuruh maafin, ini gimana?" kata Yati Andriyani, Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Kontras.

Menurutnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus menunjukan independensi dengan menggunakan semua otoritas politiknya untuk mengurai kemandekan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat.

BACA JUGA: