JAKARTA, GRESNEWS.COM - Partai Golkar dan PPP terancam tak ikut pilkada serentak 2015 lantaran Komisi Pemilihan Umum ngotot tak ingin memasukkan usulan DPR yaitu menggunakan putusan pengadilan yang ada saat ini untuk menetapkan kubu partai berkonflik yang berhak ikut pilkada serentak 2015.  Akhirnya untuk mengakomodir syarat ini, DPR pun berencana mengubah UU Pilkada dan UU Partai Politik.

KPU menolak syarat penggunaan putusan pengadilan terakhir sebagai syarat pendaftaran lantaran poin tersebut tak ada di kedua peraturan perundang-undangan itu. DPR pun memaksa memasukkannya dalam Peraturan KPU (PKPU)

"Partai politik yang bersengketa bisa mendaftar ikut pilkada ke KPU hanya dengan putusan akhir pengadilan, meski belum berkekuatan hukum tetap," kata Wakil Ketua DPR, Fadli Zon di Gedung DPR, Selasa (5/5).

Hal tersebut berlaku apabila dalam kedua partai ini tidak terjadi keputusan inkracht dan islah. Seluruh fraksi di DPR pun sepakat memasukkan poin ketiga tersebut dalam PKPU.

"Poin ini harus dimasukkan dalam PKPU tentang pencalonan peserta pasangan calon sehingga perlu adanya revisi UU Pilkada dan UU Parpol," katanya.

Seperti diketahui, Komisi II DPR memberikan tiga rekomendasi untuk KPU dalam hal penetapan partai politik yang berhak mengikuti pilkada serentak 2015. Pertama mengacu pada putusan Menkum dan HAM, namun jika masih bersengketa maka harus menunggu putusan inkracht pengadilan. Kedua dijalankan islah bagi kedua belah kubu.

Ketiga, jika syarat pertama dan kedua telah dijalankan oleh Golkar dan PPP namun ternyata menemui jalan buntu, maka dipakai putusan pengadilan yang ada. Hanya saja untuk memasukkan klausul ini, ternyata DPR dan pemerintah harus merevisi UU Pilkada dan UU Partai Politik agar syarat.

"Sayangnya hingga kini KPU hanya mengizinkan parpol bersengketa ikut Pilkada apabila sengketa tersebut sudah diputuskan oleh pengadilan dan memiliki kekuatan hukum tetap atau sudah melakukan islah," katanya.

Akibat sikap KPU tersebut, Partai Golkar dan PPP yang saat ini masih berupaya menyelesaikan sengketa di pengadilan, berpotensi tidak bisa ikut pilkada. Sementara menurut DPR, walaupun aturan mengenai penggunaan putusan sementara pengadilan belum diatur dalam perundang-undangan, namun hal tersebut tidak bisa menjadi alasan KPU menolak mengakomodasi rekomendasi DPR.

Fadli Zon pun lalu mencurigai KPU mempunyai muatan politik dan tak ingin menyelesaikan masalah karena ingin menentukan aturan main sendiri. "Kalau konflik merambah berkepanjangan di daerah, jelas ini karena KPU membuat masalah tidak selesai dan seolah berlindung dibalik UU," katanya.

Untuk itu, DPR pun nekat merevisi UU Pilkada dan UU Parpol untuk mengatur mengenai keikutsertaan Pilkada melalui putusan sementara pengadilan. Revisi ini akan segera dirampungkan dan dijadikan payung hukum bagi KPU.

Namun, ide merevisi UU untuk meloloskan poin ketiga rekomendasi DPR ini malah dituding sebagai keberpihakan politik DPR kepada salah satu kubu partai oleh kubu Partai Golkar pimpinan Agung Laksono. Mereka menilai revisi terhadap kedua UU tersebut dipaksakan untuk mengakomodasi kubu Aburizal Bakrie yang telah mengantongi putusan sela Pengadilan Tata Usaha Negara agar dapat ikut pilkada serentak.

"Ini sudah suatu bukti kalau PKPU itu tidak sesuai UU," kata Ace Hasan Syadzily, Ketua DPP Partai Golkar kubu Agung.

Ia mengatakan, berdasarkan aturan yang ada saat ini, Kubu Munas Ancol-lah yang dapat mengikuti pilkada serentak karena mengantongi Surat Keputusan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. UU Pilkada Pasal 42 Ayat (4),(5), dan (6) menyebutkan, pendaftaran calon pilkada oleh parpol dan gabungan parpol harus mendapat rekomendasi pengurus parpol di provinsi dan kabupaten kota, serta harus disertai surat putusan dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP).

Sedangkan UU Parpol Pasal 32 mengatur, pengurus parpol harus terdaftar di Kemenkumham. "Sekarang peraturan itu mau direvisi supaya sesuai dengan PKPU-nya, jelas tak sesuai," katanya.

""

BACA JUGA: