JAKARTA, GRESNEWS.COM - Regenerasi kepemimpinan nasional harus segera dilakukan secara total. Sebab, selama ini partai politik (parpol) di Indonesia terjebak pada oligarki kaderisasi. Akibatnya, kualitas kaderisasi pun hanya bersifat horizontal, alias berputar pada sosok yang itu-itu juga.

"Jangan lagi kaderisasi, regenerasi total yang memungkinkan untuk saat ini," ujar Dosen Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran, Ziyad Falahi di Kantor Founding Fathers House (FFH), Cipete, Jakarta Selatan, Senin (5/1).

Saat ini Indonesia dianggapnya menjalankan sekaligus dua sistem perekrutan yakni regenerasi dengan oligarki. Perekrutan yang berjalan sejak Orde Baru (Orba) telah menghasilkan sistem oligarki yang justru melakukan kaderasi dan penjaringan secara horizontal, bukan regenerasi vertikal.

"Jika regenerasi total tidak dilakukan, maka akibatnya akan merembet ke segala arah. Misalnya  saja Presiden Joko Widodo yang akan tertarik oleh dua oligarki besar, yakni Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih," kata Ziyad.

Menurutnya wacana politisi dan capres muda sudah perlu dimunculkan. "Penggodokan dalam empat tahun ini, diharapkan memunculkan politisi muda bukan hanya capres muda saja di 2019 nanti," katanya.

Publik pun agaknya mendukung penuh gagasan regenerasi vertikal. Hal ini ditunjukkan okeh hasil survei FFH yang menyatakan regenerasi kepemimpinan nasional sangat penting dilakukan.

Sebanyak 57,61 persen dari 1.090 orang responden yang disurvei, menginginkan adanya regenerasi kepemimpinan nasional. Sisanya sebanyak 29,81% responden menilai regenerasi kepemimpinan nasional penting. Sementara 2,11% responden menilai regenerasi kepemimpinan nasional tidak penting dan 10,36% menilai tidak tahu.

"Melihat dari waktu ke waktu, publik tetap menilai isu regenerasi kepemimpinan nasional sebagai isu yang sangat penting," ungkap Peneliti Senior FFH, Dian Permata dalam kesempatan yang sama.

Hal ini ditunjukkan dengan hasil survei yang sama pada riset yang dilakukan sebelumnya di periode Januari-Februari 2014. Sebanyak 52,05% responden mengatakan regenerasi kepemimpinan nasional sangat penting, pada jumlah 35,32% responden menilai penting. Sedang, 2,71% responden menilai tidak penting, dan sebanyak 3,83% responden mengatakan tidak tahu.

"Respon publik mengenai isu regenerasi kepemimpinan nasional tidak bisa dilepaskan dari pelajaran pada pilpres 2004, 2009 dan 2014," ucapnya.

Tokoh-tokoh yang berada di garis edar capres-cawapres dalam pilpres, kata Dian, masih dikuasai oleh muka-muka lama yang memunculkan kritik satire 4L alias "Lu lagi, Lu Lagi". "Satire ini dirobohkan Jokowi pada pilpres 2014 yang memberi sedikit warna berbeda" ujar Dian.

Keengganan tokoh senior dalam parpol untuk turun dengan legowo dari kursi tahtanya dan memberi ruang tokoh muda dianggap sebagai alasan tingginya respon publik tentang regenerasi kepemimpinan nasional. "Rakyat merasa bosan sehingga lahirlah tokoh alternatif seperti Jokowi, Ridwan Kamil dan lainnya," ujar Dian.

Respon publik terhadap isu pemimpin alternatif di masa yang akan datang pun menduduki angka yang tinggi. Sebanyak 77,33% responden menilai pemimpin muda alternatif sangat penting, 5,04% menilai penting dan hanya 3,11% dan 1,19% menilai tidak penting dan sangat tidak penting sedang 13,3% menyatakan tidak tahu.

"Sejak masa reformasi, pilpres diikuti oleh ketua umum parpol dan dewan syuro atau pertimbangan parpol, kecuali Jokowi dalam pilpres lalu," jelasnya.

Fakta survei yang dilakukan pada 27 November sampai 29 Desember 2014 dan menggunakan metodologi multistage random sampling ini menjelaskan, kepemimpinan partai sudah sangat tua. Dapat dilihat dari oligarki Megawati Soekarnoputri di PDIP, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Partai Demokrat, Prabowo di Partai Gerindra, dan Aburizal Bakrie (ARB) di Partai Golkar.

BACA JUGA: