JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pengesahan RUU Otonomi Daerah yang dijadwalkan hari Senin (29/9) mengalami kebuntuan. Sidang berkali-kali diwarnai kericuhan sehingga akhirnya pimpinan menunda sidang hingga Selasa (30/9) siang. Kericuhan terjadi karena sejumlah anggota dewan menginginkan adanya lobi politik sebelum RUU ini dialihkan kepada anggota dewan yang baru.

Kericuhan bertambah setelah masyarakat Papua yang hadir dalam sidang itu juga tak terima keputusan pimpinan untuk menunda pengesahan. Sepanjang sidang ramai oleh interupsi dan teriakan dari atas balkon. Sebelumnya terlihat sejumlah masyarakat Papua juga ada memaksa masuk ke dalam ruang sidang dan mengalami adu otot dengan para petugas penjaga. Massa juag membentangkan bertuliskan "Tidak ada uang tidak ada pemekaran, usut para pemimpin Komisi II!" pun menghiasi depan gedung parlemen.

Dalam laporannya, Agun Gunanjar, Ketua Komisi II menyatakan laporan yang dibacakannya merupakan bentuk keprihatinannya selama ini. Berdasarkan surat presiden pada tanggal 27 Desember 2013, surat pimpinan dewan dan Bamus pada bulan Januari 2014, menugaskan Komisi II untuk membahas 65 rancangan undang-undang otonomi baru.

Untuk menindaklanjuti ketiganya, Komisi II melakukan pembicaraan awal tingkat I yang memberikan kesempatan pada tiap pengusul untuk menyampaikan pemaparan dan pandangannya terkait rancangaan undang-undang tersebut. Namun, dengan dalih banyaknya agenda politik, waktu yang pendek, dan masih juga harus diselingi pembahasan RUU yang lain, mereka menyatakan tak dapat melanjutkan dengan pengesahan.

"Dengan segala permohonan maaf pengambilan keputusan tingkat I disepakati untuk tidak dilanjutkan ke tingkat II, pembahasan 65 RUU tersebut direkomendasikan kepada pemerintahan baru periode 2014-2019 untuk dilanjutkan," ujarnya dalam sidang paripurna ke-11, di Gedung DPR Senayan, Jakarta, Senin (29/9).

Hasil laporan yang dibacakan Agun sontak menuai protes dari masyarakat Papua di lantai atas balkon, sempat sekitar 30 menit suasana berubah menjadi ricuh. Sampai kemudian dilanjutkan interupsi-interupsi anggota dewan yang lain. Fahri Hamzah, anggota DPR Komisi III mengusulkan untuk adanya lobi politik yang diberi waktu 1x24 jam untuk kemudian dapat diputuskan pada sidang paripurna esok hari.

Ia pun sempat menemui masyarakat Papua di atas balkon untuk menenangkan dengan memberikan janji tetap melakukan upaya komunikasi dengan anggota dewan yang lain. "Mereka tidak butuh uang, tapi hanya butuh pengesahan agar pulang dengan membawa kemenangan," interupsinya.

Senada dengan Fahri, Michael Wattimena, Wakil Ketua Komisi V DPR RI pun menyatakan dukungan pengesahan RUU ini. Ia menilai 21 dari 65 draft yang sdah berhasil dibahas dan dinyatakan layak untuk dipertimbangkan. "Waktu kita masih cukup sampai besok diputuskan untuk membahas otonomi baru. Fraksi Demokrat meminta Komisi II dan pemerintah untuk mempertimbangkan," ucapnya.

Namun, sejumlah nama pun menolak untuk dilakukan pembahasan lebih lanjut, namun ada juga yang mengusulkan jalan tengah untuk menunda RUU ini namun dengan sejumlah syarat. "Fasilitas dasar seperti tempat pendidikan dan kesehatan harus dipenuhi," ujar Rieke Dyah Pitaloka, anggota Komisi IX.

Menanggapi hujan interupsi dan sorak-sorai dari balkon, Agun kembali menjelaskan bahwa pertimbangan keputusan sudah melalui lobi panjang yang berulang kali dan melelahkan. Sampai ia mendeskripsikan bagaimana lobi-lobi tersebut seringkali deadlock hingga membuat kerusuhan dalam rapat-rapat sebelumnya.

"Saya siap ditangkap jika memang melakukan kesalahan, jika tuduhannya seperti itu mending RUU ini dibatalkan sekalian. Biar kalian tahu kami tidak ada maksud jahat, proses hari ini hanya menunda bukan menolak rancangan," ujarnya.

Ia juga mempersilakan adanya review dari seluruh fraksi terhadap hasil laporan, dengan catatan melalui proses mekanisme dan prosedur undang-undang yang berlaku.

Di lain pihak, perwakilan masyarakat Papua yang sudah berada 3 bulan lamanya di Jakarta, menolak RUU Otda ditunda karena sudah ada pengusulan sejak delapan tahun yang lalu.

Mereka mendesak harus ada pengambilan keputusan yang ditetapkan. "Apa kerja mereka dalam waktu 5 tahun, harusnya dijelaskan kurangnya apa," ungkap Oktaf Ayorbaba, Ketua Tim Peduli Pemekaran Yapen Barat Utara.

Ia merasa pemekaran kabupaten harus dijalankan karena banyak daerah di Papua amat terisolir. Keinginannya untuk adanya pembangunan yang merata tak hanya di kota-kota besar saja, karena selama ini APBD yang diterima sangatlah kecil dan sulit. "

"Padahal sejauh ini kami melakukan komunikasi ke komisi II termasuk komisi IV, mereka pun sempat menengok langsung ke lapangan. Tapi hanya sampai airport karena daerahnya jelek," ujarnya.

BACA JUGA: