JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sejumlah pihak menilai wajar atas bengkaknya anggaran pilkada serentak 2015. Sebab pada pilkada saat ini, biaya kampanye dan pengawas pilkada untuk tiap tempat pemungutan suara dibebankan pada anggaran negara. Lalu pilkada saat ini sebenarnya belum bisa dikatakan serentak karena masih menuju keserentakan pada 2027 nanti.

Anggota komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Arwani Thomafi mengatakan prinsip keserentakan pilkada salah satunya adalah efisiensi. Makanya dalam alokasikan anggaran harus perhatikan prinsip tersebut. Tapi dinamika demokrasi yang berkembang menuntut sejumlah pola atau program yang berimplikasi pada penambahan anggaran.

"Misalnya kampanye dan penambahan pengawas yang masuk ke dalam wilayah anggaran pemerintah. Di satu sisi ingin efisiensi dari pelaksanaan yang terlalu banyak pengeluaran di bidang logistik daripada calon. Di sisi lain implikasinya penambahan anggaran di pemerintah," ujar Arwani saat dihubungi Gresnews.com, Minggu (24/5).

Ia melanjutkan secara keseluruhan dari sisi penyelenggara dan calon kepala daerah diharapkan bisa tetap menghasilkan pilkada yang lebih murah. Lalu outputnya menghasilkan pemimpin yang berkualitas.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menuturkan pilkada serentak yang dapat menghemat anggaran ketika serentak dengan pemilihan gubernur, wali kota, dan bupati di semua wilayah di semua provinsi. Untuk menuju ke arah keserentakan harus ada penataan pilkada lantaran akhir masa jabatan berbeda-beda.

"Karena itu undang-undang (UU) kita menata jadi beberapa tahap yaitu 2015, 2017, 2018, 2020, 2022, 2023, dan serentak nasional di 2027," ujar Titi saat dihubungi Gresnews.com pada kesempatan terpisah, Minggu (24/5).

Ia menjelaskan pada pilkada serentak 2027, efisiensi baru benar-benar akan dirasakan sesuai tujuan pilkada serentak. Sehingga pilkada saat ini masih dalam penataan menuju pilkada serentak. Sebab masa jabatan kepala daerah dimulai dari tahun yang berbeda. Sehingga tidak mungkin langsung dipotong masa jabatannya karena menjadi bertentangan dengan UU.

Lalu adanya anggapan pilkada akan lebih rendah tentunya tidak dimungkinkan karena ada dua komponen anggaran baru yang menambah biaya penyelenggara pilkada. Diantaranya biaya kampanye yang dibebankan pada negara dan petugas pengawas yang harus dibayar honornya. Sehingga memang belum bisa ada solusi untuk mengefisienkan anggaran pilkada yang membengkak ini.

Ia mencontohkan hanya sejumlah daerah saja yang bisa melakukan pilkada serentak. Misalnya di Sumatera Barat biayanya lebih murah karena pemilihan gubernur berbarengan dengan sejumlah pemilihan di kabupaten kota. Sehingga tidak perlu membayar honor penyelenggara pemilu dua kali.

Selebihnya karena periode kepemimpinan daerah tidak sama, maka harus menyesuaikan dengan masa berakhirnya jabatan pimpinan kepala daerah. Ia menambahkan borosnya anggaran ini sebenarnya menjadi salah satu alasan kenapa pilkada seharusnya diundur ke 2016 saat pembentukan UU. Sebabnya agar anggaran betul-betul dipersiapkan dan disosialisasikan pada masyarakat.

"Sekarang informasinya misleading. Padahal ada penambahan komponen penyelenggaran dan kampanye," lanjutnya.

Untuk diketahui, anggaran pilkada serentak 2015 mengalami pembengkakan. Dana yang semula diperkirakan hanya akan menghabiskan Rp4 triliun ternyata melonjak menjadi Rp7 triliun.

BACA JUGA: