JAKARTA, GRESNEWS.COM -  Negara dinilai telah menghilangkan perlindungan terhadap rakyat. Hal ini terlihat dari tanda-tanda seperti minimnya peran pemerintah melindungi rakyat dari pemberlakuan pasar bebas ASEAN lewat skema Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan berjalan pada akhir 2015. Negara juga tak bisa melindungi rakyat dari gejolak fluktuasi nilai tukar rupiah yang semakin tak menentu. Harga beras juga semakin tak terkendali bersama harga bahan pokok lainnya termasuk gas dan bahan bakar minyak.

Kegagalan negara dalam menjalankan fungsinya terkait penyejahteraan rakyat salah satunya diakibatkan oleh politik yang lebih berkiblat pada kekuasaan. Polemik ini terus bergulir dan dalam proses demokrasi Indonesia, telah menghilangkan prioritas negara dalam menyelenggarakan kekuasaannya.

"Rakyat juga mengalami pengekangan hak demokrasi oleh negara," kata Sekjend Persatuan Perjuangan Indonesia (PPI), Adinesia di Istana Negara, Jakarta, Selasa (3/3).

Rakyat seolah tak punya hak untuk menentukan arah dan tujuan negara, namun selalu dipertontonkan aksi sandiwara perebutan kekuasaan yang tak kunjung usai. Dalam kaitannya dengan MEA, negara dianggap terjebak skema liberalisasi yang dipaksakan negara maju. Padahal pemerintah belum menyiapkan perlindungan terhadap rakyat.

"Seharusnya pemerintah dan DPR bekerjasama dalam membuat proteksi berupa undang-undang yang melindungi buruh, petani, nelayan, dan masyarakat miskin dari dampak buruk pasar bebas ASEAN," kata Adinesia.

Tetapi ia menilai hal sebaliknya yang terjadi, undang-undang  dibuat untuk membuka akses pasar dan impor. Juga melakukan pembukaan akses investasi asing dalam menguasai sektor-sektor ekonomi strategis negara seperti air, tanah, dan kekayaan alam Indonesia lainnya.

"Rakyat sudah lelah, capek, bosan dengan polemik politik kekuasaan yang sebenarnya bukan untuk menjawab persoalan rakyat," katanya.

Hari ini rupiah sudah menembus angka Rp13 ribu per dolar AS. Harga beras mencapai Rp15 ribu per liter. Bahkan tarif listrik terus merangkak naik. Belum lagi mahalnya biaya pendidikan dan kelangkaan gas bersubsidi. "Fakta ini menjadi parameter negara telah gagal memberikan prioritas kepada rakyat," tegasnya.

Untuk itu ia meminta kepada pemerintah dan DPR segera kembali meletakkan prioritas dalam menjalankan fungsi-fungsi kenegaraan. Khususnya guna mewujudkan kesejahteraan rakyat, melalui penghapusan seluruh peraturan dan perundang-undangan yang anti-rakyat.

Pemerintah juga didesak untuk menolak agenda liberalisasi dan pasar bebas, khususnya MEA. Pemerintah juga harus menurunkan harga bahan pokok, pendidikan dan menyediakan kesehatan gratis serta  berkualitas untuk rakyat. Tuntutan juga diajukan untuk pemberian subsidi tanpa kecuali kepada rakyat. Untuk penegakan hukum, pemerintah diminta tegas terhadap koruptor dalam bentuk melakukan penangkapan, penyitaan aset koruptor. Juga pemerintah didesak membuka akses demokrasi seluas-luasnya bagi rakyat.

"Satu-satunya jalan mengembalikan hak-hak demokrasi melalui pembentukan pemerintahan rakyat bertumpu pada kekuatan dan persatuan seluruh rakyat Indonesia," katanya.

Hal senada dikatakan Kepala Bidang Riset dan Monitoring Indonesia for Global Justice (IGC), Rachmi Hertanti. Ia menuding sikap pemerintah yang terkesan santai menyikapi pelemahan nilai rupiah sepertinya hendak menutupi bobroknya pondasi ekonomi nasional.

Pasca terpilihnya pemerintahan Jokowi-JK tidak banyak akrobat ekonomi yang dilakukan, bahkan cenderung mengkopi strategi kebijakan yang pernah digunakan SBY. Misalnya melalui menggenjot kinerja ekspor dan menarik investasi asing masuk ke indonesia.

"Persoalannya perbaikan neraca perdagangan belum juga tampak hingga saat ini," ujarnya kepada Gresnews.com, Selasa (3/3).

Defisit neraca perdagangan terus terjadi sejak 2012-2014 berturut minus US$1,66 juta, minus US$4,07 juta, dan minus US$1,88 juta. Artinya dominasi ekspor Indonesia masih belum dapat terjadi, padahal pelemahan rupiah berdampak terhadap kenaikan beberapa harga bahan pokok sehingga hari ini Indonesia sangat bergantung terhadap impor.

"Kenaikan harga beras hingga menembus angka Rp15 ribu per liter harus menjadi acuan," katanya.

Selama ini pemerintah selalu menggantungkan pembangunan ekonomi melalui investasi asing. Dimana sudah terbukti ketergantungan ini semakin memperlemah fondasi ekonomi nasional.

Menurutnya mengembalikan model pembangunan ekonomi nasional kepada kekuatan rakyat dianggap sebagai satu-satunya cara mengeluarkan Indonesia dari masalah fluktuasi mata uang. "Membangun industri nasional tidak harus dengan investasi asing, tetapi membangun industri nasional yang berbasis pada investasi ralyat," katanya.

BACA JUGA: