JAKARTA, GRESNEWS.COM – Konstelasi penunjukan dan penetapan Komisaris Jenderal (Komjen) Polisi Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) oleh Presiden Joko Widodo terus menuai polemik. Bahkan sudah menjurus pada perseteruan antara institusi Kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan publik. Kondisi ini menjadi dilema bagi Presiden Joko Widodo untuk melantik atau tidak melantik Budi Gunawan.
 
Disatu sisi publik tidak sepakat atas penunjukan yang tinggal menunggu pelantikan itu karena menganggap Budi Gunawan bukan polisi bersih. Di sisi lain penetapan Kepala Lembaga Pendidikan Polri (Kalemdikpol) ini sebagai tersangka oleh KPK saat fit and profer test (uji kelayakan dan kepatutan) berlangsung di Komisi III DPR "dibalas" dengan penangkapan dan penetapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto semakin memanaskan situasi.
 
Sementara intervensi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dituding sebagai musabab Presiden Jokowi tetap mempertahankan posisi Budi Gunawan sebagai calon Kapolri. Sebaliknya PDIP menuding penetapan ajudan presiden di masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, ini sebagai tersangka dilatarbelakangi upaya balas dendam politik Ketua KPK Abraham Samad.
 
Tudingan itu kali pertama dilontarkan pelaksana tugas Sekretaris Jenderal (Sekjen), PDIP Hasto Kristiyanto, Jumat (15/1). Ia menilai, kemarahan Samad berkaitan dengan gagalnya Samad menjadi calon wakil presiden dari PDIP. Hasto membeberkan bukti dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Samad.

Kali ini, adanya pertemuan antara Samad dan sejumlah tokoh yang dekat dengan PDIP untuk membahas pencalonan sebagai wakil presiden mendampingi Joko Widodo disampaikan Ketua Advokat Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia PDIP, Arteria Dahlan. "Dalam investigasi yang kami lakukan, pernyataan Hasto nyaris 100 persen terbukti benar," kata Arteria dalam diskusi "KPK vs Polri: Penentuan Budi Gunawan Sebagai Kapolri, Pelanggaran Megawati Terhadap Mandat Rakyat?" yang digelar Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), di Bakoel Koffie, Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, Minggu (2/1).
 
Ia menyebut, Samad pernah bertemu dengan seorang anak petinggi TNI berinsial RNH. Untuk membuktikan pernyataanya, Arteria menunjukkan sebuah foto Samad dengan RNH, inisial anak dari seorang mantan petinggi TNI yang dekat dengan PDIP. Pertemuan berlangsung di kediaman bekas Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) A.M Hendropriyono di daerah Patal Senayan, Jakarta, menjelang penentuan cawapres Jokowi.
 
Menurutnya, dalam pertemuan keempat dari enam pertemuan yang dilakukan Samad tersebut telah terjadi lobi dalam bursa pencalonan Samad sebagai calon wakil presiden pendamping Jokowi. Samad, menurutnya, mengaku telah membantu PDIP dengan cara meringankan perkara korupsi yang menimpa kader PDIP, Emir Moeis.
 
Arteria menengarai, pertemuan sebagai sebuah pelanggaran pidana. Ia merujuk Pasal 36 poin 1, Pasal 37, Pasal 65, Pasal 66 dan 67 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Ketentuan itu intinya menyatakan anggota KPK dilarang bertemu atau mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani KPK dengan alasan apa pun.
 
"Ini pertemuan keempat dari enam pertemuan yang dilakukan AS. Ini bukan hanya pelanggaran kode etik tapi merupakan pelanggaran pidana," ujar Arteri.
 
Ia mengakui, foto itu sudah dipotong. Dalam foto aslinya, selain Samad dan RNH, terdapat sejumlah orang lainnya yang berada dalam pertemuan itu. Selain foto tersebut, lanjutya, terdapat foto lainnya yang membuktikan adanya pertemuan antara Samad dengan elite PDIP. Kata Arteria, foto-foto tersebut merupakan hasil investigasi yang dilakukan PDIP terkait pemaparan Hasto sebelumnya.
 
Karena itu, ia membantah Ketua Umum DPP PDIP, Megawati Soekarnoputri mengintervesi Preside Jokowi untuk menunjuk dan tetap melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri. Sebab kata dia, Megawati mengetahui betul urusan penunukan Kapolri murni hak prerogatif Presiden. Sebaliknya, ia mengakui, PDIP masih menghendaki Budi Gunawan tetap dilantik sebagai Kapolri. Alasannya, semua prosedur sudah sesuai aturan dan disetujui oleh Komisi III melalui fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan) dan disetujui DP|R melalui pripurna.
 
Berbeda degan pendapat Arteria, Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun meminta Presiden tidak melantik Budi Gunawan menjadi Kapolri. Ia berpendapat, ruang untuk tidak melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri lebih terbuka lebar dibanding harus melantik. Alasanya, dimensi hukum melantik atau tidak melantik masih menjadi perdebatan hukum yang seimbang di ranah publik, baik para pakar hukum, DPR hingga penggiat hukum.
 
Sementara dari sisi publik, masyarakat tidak menginginkan seorang Kapolri yang memiliki masalah hukum. "Ini tidak bisa diabaikan presiden karena publik tidak menginginkan Budi Gunawan sebagai Kapolri," jelasnya.
 
Dalam kebiasaan di KPK, kata Refly, seorang tersangka di KPK selanjutnya akan menjadi terdakwa dan ditahan. Sebab KPK tidak mengenal Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). "Saya pikir, KPK tidak akan main-main dengan penetapan tersangka bagi seseorang karena mereka tidak mengenal SP3," jelasya.
 
Ia sependapt, tidak hanya lembaga KPK yang harus diselamatkan, tapi juga Polri. "Save KPK, Save Polri, itu yang benar," kata Refly di acara diskusi yang sama.
 
Seperti diketahui, hubungan antara KPK dan Polri kembali memanas. Kondisi tersebut terjadi pasca KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka dugaan gratifikasi. Kkekisruhan itu berawal ketika Presiden Jokowi menunjuk Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri ke Komisi DPR. Saat Komisi III DPR menggelar pit and proper test, KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka kasus tindak pidana korupsi (Tipikor).
 
Ia ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji selama menjabat Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia Mabes Polri periode 2003-2006 dan jabatan lainnya di kepolisian. Budi Gunawan disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b Pasal 5 Ayat (2), Pasal 11 atau Pasal 12 B UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP.
 
Selanjutnya Jokowi menunda pelantikan Budi Gunawan yang telah disetujui DPR melalui paripurna di Senayan. Kemudian Presiden Jokowi menunjuk Komisaris Jenderal Polisi Badrodin Haiti sebagai pelaksana tugas (Plt) Kapolri. Persoalan semakin meruncing ketika Bareskrim Mabes Polri mendadak menangkap dan menetapkan Bambang Widjojanto sebagai tersangka pada Jumat (23/1). Bambang ditetapkan tersangka oleh Bareskrim Polri terkait dugaan menyuruh orang untuk memberikan keterangan palsu di muka persidangan sengketa pilkada Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, di Mahkamah Konstitusi pada 2010.
 
Menyikapi hal itu, Ketua Presidium Forum Alumni Aktivis PPMI Agung Sedayu menilai tanpa penyelesaian yang kongkrit akan menimbulkan ekses negatif. Agung mengingatkan, perseteruan KPK melawan Kepolisian sebelumnya pernah terjadi hingga muncul idiom "Cicak vs Buaya" pada 2009. Perseteruan kala itu juga tanpa penyelesaian yang jelas.

"Justru yang terasa adalah ekses negatifnya, banyak pekerjaan penegakan hukum oleh KPK maupun Kepolisian terlantar karena kedua intitusi itu sibuk saling serang," tutur Agung ditempat yang sama.

Kondisi itu terulang lagi. Bahkan eskalasinya lebih besar dan melibatkan lebih banyak kepentingan. Sebagian kalangan menuding langkah Presiden Jokowi tetap mempertahankan posisi Komjen Budi Gunawan sebagai calon Kapolri karena intervensi Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri. Alhasil, presiden terseret dalam kumparan arus pertikaian itu.

Dampaknya, kata dia,  luar biasa, wibawa dan legitimasi presiden yang menjadi taruhan. Bila gagal mengatasi persoalan ini, kepercayaan rakyat terhadap Presiden akan tergerus. Presiden tidak hanya dianggap tak bisa mengendalikan KPK dan Kepolisian, tapi juga membenarkan anggapan Jokowi sebagai "presiden boneka" partai politik pengusungnya. "Konflik KPK vs Polri menodai 100 hari kinerja Jokowi-JK dalam pemberantasan korupsi dan penegakan hukum," ujarnya.

Berdasarkan petimbangan itu Forum Alumni Aktivis PPMI meminta Parpol untuk menahan diri dan menyerahkan penyelesaian kasus KPK vs Polri pada presiden. Mendukung pemerintah memastikan KPK dan Polri diisi oleh figur yang bersih.
 
Kemudian Forum Alumni Aktivis PPMI juga meminta Komisi Yudisial (KY) mengawasi hakim persidangan praperadilan penetapan status tersangka Budi Gunawan oleh KPK di Pegadilan Negeri Jakarta Pusat. Sekaligus meminta hakim pra peradilan mengambil keputusan secara objektif dan independen tanpa ada intervensi politik.

 

BACA JUGA: