JAKARTA, GRESNEWS.COM - Direktur Sinergi Masyarakat Untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin mengatakan, konflik di internal Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tidak bisa diselesaikan melalui pengadilan. Yang terjadi di Partai Golkar dan PPP itu, dia nilai, sudah jelas terkait dengan perselisihan kepengurusan.

"Pasal 32 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik (UU Parpol) telah mengatur tentang kekhususan perselisihan parpol yang berkenaan dengan kepengurusan," katanya kepada Gresnews.com, Senin (22/12).

Pasal itu menyebutkan, khusus perselisihan kepengurusan penyelesaiannya hanya bisa dilakukan di internal parpol sendiri melalui Mahkamah Partai. "Putusan dari Mahkamah Partai sifatnya final dan mengikat," kata Said.

Untuk jenis perselisihan lain yang terjadi di internal parpol, seperti soal pemecatan anggota, penyalahgunaan wewenang, pertanggungjawaban keuangan, dan seterusnya, kata Said, bisa dibawa ke pengadilan manakala pihak yang bersengketa tidak puas terhadap Putusan Mahkamah Partai. Rujukannya adalah Pasal 33 UU Parpol.

"Pasal 33 membuka ruang penyelesaian perselisihan partai politik di Pengadilan Negeri, termasuk kasasi ke Mahkamah Agung jika perselisihan di internal parpol tidak bisa diselesaikan secara internal. Tetapi khusus untuk perselisihan kepengurusan pasal itu tidak bisa diberlakukan," ujar dia.

Said menjelaskan, sebelum UU Parpol tahun 2008 direvisi, perselisihan kepengurusan memang dimungkinkan untuk dibawa ke pengadilan jika tidak bisa diselesaikan di internal parpol. Tetapi setelah UU Parpol direvisi pada tahun 2011, ketentuan itu diubah.

"Pasca revisi, UU Parpol meminta kepada partai politik untuk membentuk suatu Mahkamah Partai. Fungsi mahkamah adalah untuk menyelesaikan segala bentuk perselisihan di internal parpol. Jadi fungsi mahkamah partai itu menyerupai fungsi pengadilan juga," jelas Said.

Said menegaskan, partai dapat mengatur dan mengurus sendiri organisasinya secara mandiri sebagaimana ketentuan Pasal 12 huruf b UU Parpol. Ada juga Pasal 15 ayat (1) UU Parpol yang menegaskan kedaulatan parpol itu berada ditangan para anggotanya.

"Apalagi kewenangan mahkamah partai untuk menyelesaikan perselisihan kepengurusan tidak hanya diberikan oleh AD/ART partai, tetapi diberikan oleh undang-undang yang kedudukannya lebih tinggi dari AD/ART parpol," tandasnya.

Sementara itu, Direktur Solusi Untuk Negeri (SUN) Institut Andrianto mengatakan, pemerintah tidak boleh melakukan intervensi dalam proses islah kubu yang berkonflik di dua partai tersebut. Menurutnya, kekisruhan politik saat ini berkorelasi dengan lemahnya nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing.

"Simpel saja bila pemerintah tidak mengintervensi Golkar dan PPP maka kerugian buat pemerintah. Ketika ada partai yang terpecah belah, ini berkorelasi dengan rupiah yang lemah karena politik yang tidak stabil," katanya.

Andrianto menyebut, pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla tidak konsisten. Pasalnya, pemerintah saat ini tidak menjadikan institusi politik dan hukum terbebas dari kepentingan partai politik.

"Seharusnya Jokowi-JK dari awal juga konsisten tidak menjadikan institusi politik dan hukum steril dari kepentingan partai politik mana pun," ujar dia

BACA JUGA: