JAKARTA, GRESNEWS.COM – Bagi sejumlah pihak, persoalan hukuman mati dianggap hanya sebagai cara Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Australia Tony Abbott untuk menaikkan popularitasnya masing-masing. Jokowi sendiri turun popularitasnya akibat persoalan KPK dan Polri. Sementara, di sisi lain, Perdana Menteri Australia Tony Abbott juga dianggap memiliki kepentingan yang sama terhadap kepentingan popularitas dirinya sendiri dengan menggunakan persoalan hukuman mati dua warga negara Australia.

Koordinator Kontras Haris Azhar mengatakan vonis hukuman mati digunakan sebatas untuk menaikkan popularitas Presiden Jokowi. Pasalnya Jokowi kerap dicemooh akibat pilihannya mencalonkan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri namun ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Cara Jokowi menggunakan hukuman mati untuk meningkatkan popularitasnya juga terjadi saat terdakwa kasus pembunuh Munir, Pollycarpus dibebaskan bersyarat pada awal pemerintahan Jokowi. "Saat Pollycarpus dibebaskan, Jokowi juga menaikkan isu hukuman mati," ujar Haris dalam diskusi soal hukuman mati Duo Bali Nine di Kontras, Jakarta, Minggu (3/1).

Menurut Haris alasan Jokowi menolak grasi dengan alasan kedaulatan juga lemah. Sebab kalau berbicara soal kedaulatan, banyak sektor lain yang jelas mengancam kedaualatan Indonesia tapi pemerintah malah tak pernah menyinggungnya sebagai persoalan kedaulatan.

"Misalnya kerjasama Indonesia dengan Australia untuk pemberantasan terorisme, Indonesia mendapatkan bantuan alat-alat pemberantasan terorisme dari Australia," kata Haris.

Ia menilai bantuan keamanan Australia untuk pemberantasan terorisme sebenarnya justru bisa dianggap sebagai terganggunya kedaulatan Indonesia. Lalu ketika berbicara soal perdagangan ekonomi, ia mempertanyakan berapa banyak tanah dan sumber daya alam Indonesia yang justru dikuasai perusahaan asing.

"Tapi terkait persoalan tersebut, pemerintah sama sekali tidak pernah menyinggung soal kedaulatan. Sehingga prinsip kedaulatan digunakan secara tebang pilih oleh pemerintah," tegasnya.

Tidak hanya mengkritik Jokowi, Haris juga mengkritik Abbott yang mengeluarkan pernyataan kontroversinya bahwa Australia telah memberikan bantuan pada Indonesia saat tsunami Aceh, sehingga sudah seharusnya Indonesia membebaskan Duo Bali Nine. Menurutnya, tidak seharusnya Abbott berargumentasi politis untuk bantuan kemanusiaan.

Sebab bantuan kemanusiaan Australia pada masyarakat Aceh jelas sebagai bentuk kepedulian publik Australia terhadap tsunami Aceh. "Jadi persoalan ini bukan untuk di-trade off. Jadi Abbott ngawur kalau ngomong seperti itu," ujar Haris.

Sementara, peneliti senior dari Universitas Melbourne Dave McRae menyatakan, pernyataan Abbot mendapatkan kecaman dari publik Australia dan jajaran tinggi pemerintahan Australia. Sehingga pernyataan tersebut dianggap tidak mewakili pernyataan publik Australia.

Ia mengakui memang pernyataan tersebut berbuntut pada tafsiran Abbott hanya menggunakan persoalan ini untuk kepentingan politiknya demi menaikkan popularitas. "Abbot gemar melakukan Captain’s Call atau keputusan kapten yaitu keputusan yang diumumkan tanpa konsultasi lebih dulu dengan partai atau masyarakat," ujar Dave pada kesempatan yang sama.

Captain’s Call ini seringkali digunakan Abbot dan menimbulkan reaksi ketidaksukaan dari publik seperti pernyataannya soal bantuan tsunami Aceh dan hukuman mati Duo Bali Nine. Menurutnya, pernyataan Abbot sangat tidak sejalan dengan upaya-upaya advokasi Australia yang sudah berlangsung bertahun-tahun.

Sebelumnya, Presiden Jokowi juga menarik Duta Besar Indonesia untuk Brasil Toto Riyanto lantaran surat kepercayaan Toto ditolak Presiden Brasil. Surat tersebut ditolak karena Presiden Brasil Dilma Rousseff menilai terjadi perubahan keadaan antara hubungan Indonesia dengan Brasil karena adanya seorang warga Brasil Marco Archer Cardoso Moreira yang mendapatkan hukuman mati di Indonesia pada Januari 2015.

Menanggapi hal ini, Presiden bereaksi persoalan hukuman mati di Indonesia jangan diintervensi karena merupakan kedaulatan negara. Indonesia memang sedang bersiap untuk mengeksekusi terpidana mati lainnya yaitu Andrew Chan dan Myuran Sukumaran. Mereka merupakan dua dari sembilan anggota Bali Nine yang menyelundupkan heroin 8,3 kilogram ke Indonesia.

Keduanya telah divonis mati pada 2006 dan kini mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara terhadap keputusan presiden yang menolak permohonan grasi.

Terhadap hal ini, Perdana Menteri Australia Tony Abbott meminta Indonesia tidak menghukum mati warga negaranya. Menurutnya, Australia telah membantu Indonesia saat bencana tsunami Aceh pada 2004 sehingga seharusnya hal tersebut bisa menjadi alasan untuk tidak mengeksekusi dua warga negara Australia. Pernyataan ini kemudian mengundang kontroversi.

BACA JUGA: