JAKARTA, GRESNEWS.COM - Niat pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk memberangus mafia migas lewat pembubaran PT Pertamina Energy Trading Ltd (Petral) tampaknya mulai goyah. Kegamangan pemerintah untuk berani membubarkan Petral yang selama ini dianggap sebagai sarang mafia migas itu terlihat dari ucapan sang Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno.

Rini Soemarno di kantornya Kementerian BUMN hari ini, Kamis (30/10) menyatakan, usulan pembubaran Petral bukan berasal dari kubu Tim Transisi Jokowi. Usulan tersebut lahir dari seminar-seminar dari pakar migas yang diselenggarakan oleh Kelompok Kerja (Pokja) Tim Transisi Jokowi.

Rini mengatakan usulan pembubaran Petral bukanlah berasal dari Pokja Transisi. Pada saat itu, Pokja mengadakan seminar-seminar dimana pesertanya berasal dari pakar migas se-Indonesia. Usulan tersebut menyatakan untuk pembekuan Petral. "Pokja mengadakan seminar tersebut bertujuan untuk membutuhkan usulan-usulan dari pengamat migas," kata Rini.

Rini mengungkapkan usulan tersebut dibawa oleh Deputi Tim Transisi Hasto Kristiyanto dan Kepala Pokja pada saat itu dibawah koordinasi Arie Soemarno, yang dulunya pernah menjabat sebagai Direktur Utama Pertamina. Dia menjelaskan usulan pembubaran Petral dari seminar tersebut akan menjadi bagian konsideran-konsideran, dan akan diberikan kepada Direktur Utama Pertamina yang baru.

Karena itu kata Rini, soal isu pembubaran Petral akan dianalisa tersendiri oleh manajemen Pertamina sehubungan dengan pentingnya keberadaan Petral. Selain itu, Rini mengaku akan berkomunikasi dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). "Apakah itu (pembubaran) yang diambil. Itu nanti diputuskan oleh pemerintah dan sekarang belum dibahas," kata Rini menegaskan.

Menanggapi keraguan rezim Jokowi untuk membubarkan Petral, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan, hal itu sangat mengecewakan. Dia bilang, Petral selama ini bermasalah karena tidak pernah transparan tentang transaksi minyak mentah dan minyak jadi.

Mamit mengungkapkan kerugian yang diterima negara jika dalam transaksi ekspor impor antara Pertamina dengan Petral sebesar US$750 ribu per harinya. Angka kerugian US$750 ribu jika dalam setiap transaksi adanya penggelembungan harga (mark up) sebesar US$1. "Jadi dengan mark up US$1 saja segitu (US$750 ribu-red). Saya tidak kebayang berapa kerugian negara," kata Mamit.

Mamit juga mengungkapkan ada dua hal yang menyebabkan munculnya mafia migas. Pertama, tentang pembelian impor minyak mentah maupun impor minyak jadi. Menurutnya hal itu menjadi satu peluang bisnis yang memiliki jumlah angka yang besar. Kedua, ketika pemerintah menjual haknya atas sumber daya alam (SDA) kepada pihak luar. Hal itu terjadi karena kemampuan anak bangsa tidak mampu mengolah SDA. Ketika dalam proses menjual tersebut mafia migas muncul dalam hal permainan harga.

Dia mengatakan dalam mekanisme pelaksanaannya sangatlah rapi. Misalnya dalam skala kecil dalam proses transaksi mengirimkan minyak, dalam pengiriman tersebut terdapat kerjasama antara mafia migas dengan aparat keamanan, nakhoda kapal dan anak buah kapal.

Mamit menambahkan meski tidak berperan secara langsung, kalangan pejabat negara juga ada yang bermain akan hal itu. Oleh karena itu penegak hukum sangat sulit untuk membuktikan pejabat negara yang ikut ambil peran dengan mafia migas. "Jadi agak susah juga menilai pemerintah ikut terlibat. Rakyat pasti pejabat pemerintah yang ikut terlibat dengan mafia migas," kata Mamit.

BACA JUGA: