JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pelanggaran Pemilu Legislatif (Pileg) 2014 cukup tinggi, baik dari administrasi, pidana dan etiknya. Atas semua pelanggaran itu, yang terpenting penegakan hukumnya. Perlu ada pemberian sanksi tegas agar pelanggaran itu tidak terulang di Pemilu Presiden Juli mendatang.

Terkait pelanggaran pidana, Mabes Polri mengaku telah mengantongi 128 kasus pelanggaran pidana pemilu legislatif 2014. Dari jumlah tersebut 60 kasus sedang proses sidik, 49 kasus dinyatakan sudah lengkap berkasnya dan siap disidangkan (P21) dan 19 kasus dilakukan penghentian (SP3).

Hal itu disampaikan Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri Kombes Agus Riyanto di Gedung Divisi Humas Mabes Polri, Kamis (17/4). Agus mengatakan pelanggaran tersebut merupakan hasil pelaporan dari sebelum kampanye hingga berakhirnya Pileg.

Jenis pelanggaran yang mendominasi mulai dari politik uang, pengrusakan alat peraga kampanye, kampanye menggunakan fasilitas negara, kampanye di luar jadwal hingga melakukan pencoblosan di dua Tempat Pemungutan Suara (TPS). Polisi  juga telah menetapkan 194 tersangka dari 128 kasus di atas. Tersangka itu terdiri dari pengurus partai 13 orang, Pegawai Negeri Sipil (PNS) 15 orang, Kepala Desa yang ikut kampanye 10 orang, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) 26 orang, tim sukses calon 61 orang, calon legislatif 42 orang dan lainnya 19 orang.

"Mudah-mudahan kasus ini bisa segera tuntas dengan waktu yang sangat singkat ini," kata Agus.

Sementara itu Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sendiri mencatat, selama penyelenggaraan pemilu legislatif, total pelanggaran mencapai 3.507 kasus. Pelanggaran tersebut terjadi pada tahap semua tahapan pelaksaan pemilihan umum dari pemutakhiran daftar pemilih hingga pascapemungutan suara.

Rinciannya pelanggaran pidana sebanyak 128 kasus, pelanggaran administrasi 3.238 kasus, pelanggaran kode etik yang direkomendasikan Bawaslu ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) 42 kasus.

Lebih rinci, anggota Bawaslu menyebutkan pada tahapan pemutakhiran daftar pemilih tetap (DPT), pendaftaran peserta Pemilu, dan masa kampanye telah terjadi 3.282 pelanggaran. Dari jumlah itu yang meliputi pelanggaran pidana 75 kasus, administrasi 2.876 kasus, dan pelanggaran kode etik 23 kasus.

Sementara pada masa tenang, pemungutan suara, dan penghitungan suara terjadi 225 pelanggaran. Dengan rincian pelanggaran pidana sebanyak 132 kasus, administrasi 81 kasus, dan kode etik 12 kasus.

Pada masa kampanye terbatas dan terbuka temuan pelanggaran yang paling banyak adalah pemasangan alat peraga di luar zona yang ditentukan, kampanye di luar jadwal dan pelibatan kepala desa. Selain itu praktik politik uang juga ditemukan selain perusakan alat peraga, dan tim pelaksana kampanye tidak didaftarkan atau terlambat daftar. Bawaslu juga mencatat pelibatan pegawai negeri sipil, penggunaan fasilitas negara.

Sedangkan pada masa tenang, pelanggaran praktik politik uang kembali terjadi, kampanye berbentuk pertemuan terbatas, kampanye di media televisi, alat peraga masih terpasang, anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) membagikan undangan pencoblosan (formulir C6) yang di dalamnya ada kartu asuransi dan kartu nama calon legislatif, dan kekurangan formulir C6.

Sementara pada saat pemungutan dan penghitungan, pelanggaran yang terjadi di antaranya adalah penggunaan C6 milik orang lain, penggunaan hak suara lebih dari sekali. Juga ditemukan KPPS dan saksi mencoblos sisa surat suara atau mencoblos surat suara sebelum pemungutan suara.

Sedangkan pasca penghitungan suara, pelanggaran yang terjadi adalah perubahan isi formulir C1 (hasil penghitungan surat suara), kotak suara tidak digembok saat diterima Panitia Pemungutan Suara (PPS) sehingga ada perbedaan formulir C1 antara yang dimiliki saksi dengan PPS

Wakil Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia Girindra Sandino mendesak penegakan setiap pelanggaran pemilu. Itu untuk memberikan efek jera pada pelaku. Bawaslu diharap jangan hanya menyampaikan jumlah pelanggaran yang dilaporkan. "Baik Bawaslu maupun Polisi untuk tegas, berikan sanksi" kata Girindra.

Hanya saja rilis pelanggaran Pemilu dari Bawaslu dinilai tidak perlu. Direkur Lima Indonesia Ray Rangkuti menyebut Bawaslu kehilangan urgensinya. Saat semua resah dan marah akan maraknya praktek politk uang dan jual beli suara, Bawaslu dinilai punya desain mengatasinya. "Bawaslu malah mengumbar data pelanggaran yang entah apa urgensinya dengan pemberantasan praktek politk uang dan jual beli suara," kata Ray kepada Gresnews.com.

Malah data yang dirilis belum sepenuhnya merekam berbagai peristiwa.  Selain jumlah pelanggarannya sedikit, data Bawaslu baiknya menjelaskan berapa hasil laporan masyarakat dan berapa total hasil temuan Bawaslu sendiri. Pembedaan ini penting untuk mengukur partisipasi masyarakat di satu pihak dan sejauh apa kinerja Bawaslu.

Data yang disampaikan Bawaslu juga tidak menggambarkan kedalaman investigasi. Kasus DPT misalnya tak jelas.  Bawaslu juga dinilai tidak punya niat untuk menyusuri sebab total surat surat suara dicetak, dimusnahkan, didistribusikan, tertukar, dan rusak tak pernah diumumkan jumlah pastinya. "Apakah ini sesuatu yang alami, atau memang menjurus ke rekayasa," tegas Ray.

BACA JUGA: