JAKARTA, GRESNEWS.COM - Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015 yang membolehkan mantan narapidana mencalonkan diri sebagai kepala daerah membuka jalan bagi sejumlah mantan narapidana bertarung dalam pemilihan kepala daerah disejumlah daerah. Animo sejumlah mantan terpidana tak terbendung  dan berbondong-bondong mencalonkan diri.

Fenomena ini jelas dikhawatirkan sejumlah pihak. Komisi Pemberantasan Korupsi  menilai kondisi tersebut sebagai fenomena demokrasi yang memprihatinkan. Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja menyebut fenomena itu akan menyebabkan sikap resistensi masyarakat dalam memilih kepala daerah. Namun menurut dia,  apa mau dikata, hal itu tetap sebagai fenomena demokrasi. "Itulah tantangannya, tapi kalau ternyata terpilih, mau apa lagi," katanya, Selasa (28/7).

Berbeda dengan Pandu, Plt Wakil Ketua KPK lainnya Indriyanto Seno Aji mengaku justru  tak khawatir hal itu. Menurutnya, publik tetap akan dapat melihat mana calon kepala daerah yang mempunyai integritas, mana yang tidak.

"Kalau hal tersebut bukan sebagai larangan, silakan saja pergunakan hak sebagai WNI. Hanya saja proses alamiah ketatanegaraan nantinya yang akan menentukan kelolosan tidaknya si calon. Tentunya dasar integritas, kapabilitas dan kejujuran yang akan menentukan stigma calon," kata Indriyanto.

BENTENG TERAKHIR DI TANGAN PEMILIH - Namun aktivis anti korupsi dari Pukat UGM, Zainal Arifin Mochtar mengatakan benteng terakhir menyikapi kondisi tersebut berada pada kesadaran masyarakat. Masyarakat diharapkan betul-betul selektif dalam memilih kepada daerahnya dalam ajang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada ) serentak akhir 2015 mendatang.

Sebab status mantan napi korupsi boleh ikut dipilih sebagai kepala daerah. Sementara masih terdapat perbedaan tafsir batas hukuman untuk mantan narapidana yang boleh ikut mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Apakah yang dihukum diatas lima lima tahun atau kurang.

"Harapnya, calon yang pernah tersangkut masalah korupsi jangan dipilih," ujarnya di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jl Medan Merdeka Barat .

Menurut jalan paling terakhir sebagai preventif adalah dengan mendorong kesadaran publik untuk melihat bahwa orang yang sudah terpidana kasus korupsi, itu artinya sudah hilang kapasitas mereka sebagai pemimpin. "Sehingga tak layak untuk memimpin," tambahnya.

BERHARAP PADA PARPOL - Namun peneliti Indonesia Corruption Watch Ade Irawan justru menekankan proses penyaringan masuknya kepala daerah mantan narapidana, terletak pada partai politik pengusung. Apabila partainya sehat dan antikorupsi, mereka tentu tidak akan mengusung kandidat napi atau mantan napi "Masa sih partai tidak memiliki kader yang mempunyai rekam jejak yang lebih baik dan punya integritas. Mereka ini yang mestinya diusung," ujarnya, Selasa (28/7).

Ade justru mengkhawatirkan partai-partai ini mengusung calon eks napi karena alasan uang mahar. Sebab jika memang melihat pada integritas calon, pastinya akan  ada kader lain yang catatannya lebih bersih.

"Dikhawatirkan mereka akan mengkhianati rakyat. Apalagi adanya prosesnya mahar, sudah dipastikan akan menjadi masalah," tambahnya

DIDUKUNG PARTAI - Namun mengharap benteng dari partai untuk mencegah munculnya para calon kepala daerah bekas napi sepertinya tak mungkin. Sebab sejumlah partai justru telah terang-terangan menyatakan mendukung pencalon eks napi.  

Sebut saja partai Nasional Demokrat (Nasdem).  Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh mengaku terang-terangan tak masalah jika calon kepala daerah adalah mantan napi.

"Kehidupan ini tak ada yang sempurna, untuk itu ada norma dan aturan yang telah disepakati, sebagai konvensi kehidupan ini, termasuk akhirnya lembaga hukum, peradilan ketika orang bersalah dia melalui proses itu, masak kita nggak memberikan kesempatan," kata Surya Paloh di DPP NasDem, Jakarta Pusat, Selasa (28/7).

Paloh menegaskan  tak masalah jika ada bakal calon kepala daerah memiliki background mantan napi, termasuk mantan napi korupsi. Menurutnya, selama sang calon kepala daerah itu memiliki integritas, NasDem pasti akan mendukung.

"Kalau  potensial, penerimaan masyarakatnya kuat dan kapabilitas ada ya kita dukung. Tapi kalau sudah nggak punya kapabilitas dan dukungan masyarakat rendah, mantan napi lagi, tentu tidak kita dukung ya," jelasnya.

Senada dengan Nasdem,  pengurus Golkar kubu Agung Laksono maupun kubu Aburizal Bakrie juga satu suara untuk mengusung calon kepala daerah  mantan narapidana di Pilkada. Menurut mereka hal itu wajar karena dibolehkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi.

"Mantan narapidana boleh, tersangka kan yang gak boleh," kata Waketum Golkar kubu Agung Laksono, Yorrys Raweyai di Hotel Sultan, Selasa (28/7).

Mahkamah Konstitusi pada awal Juli 2015 telah memutuskan mantan narapidana boleh mengajukan diri menjadi kepala daerah. Merujuk putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 42/PUU-XIII/2015 yang keluar sejak Kamis 9 Juli 2015 lalu, MK mengabulkan permohonan pasal 7 huruf g Undang-undang nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah dibatalkan. Pasal tersebut memuat ketentuan bahwa mantan narapidana dilarang ikut pilkada.

Dalam putusannya MK menyatakan bahwa pasal 7 huruf g UU Pilkada tersebut bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. MK juga menilai bahwa pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Salah satu mantan narapidana yang telah mencalonkan diri sebagai kepala daerah dalam pilkada calon Wali Kota Manado Jimmy Rimba Rogi alias Imba. Kader Golkar yang pernah dibui karena kasus korupsi ini membuat pengumuman bahwa dirinya sudah bebas dari tahanan. Pengumuman status hukum itu memang menjadi syarat yang digariskan KPU bagi mantan napi.

Calon lainnya yang juga mantan narapidana adalah Soemarmo Hadi Saputro sebagai bakal calon sebagai Wali Kota Semarang. Soemarmo yang pernah terpilih menjadi Wali Kota Semarang periode 2010-2015 itu diberhentikan sementara pada tahun 2012 karena terjerat kasus suap RAPBD Kota Semarang yang disidik KPK. Dia juga sempat ditahan di LP Cipinang sejak akhir Maret 2012. Kemudian pada tahap Peninjauan Kembali, Soemarmo divonis 2,5 tahun pidana penjara. (dtc)

BACA JUGA: