GRESNEWS - Konflik yang terjadi di antara elite partai politik telah mengabaikan nasib para kader. Partai politik yang dewasa adalah partai politik yang bisa menyelesaikan konflik internal melalui mekanisme yang ada.

"Parpol adalah entitas yang berbeda dengan organisasi, bukan sekadar mengurusi para pengurus melainkan juga harus mengurusi para kadernya," kata Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang di Jakarta, Kamis (14/2).

Menurut Sebastian, kader partai politik harus diberikan pembekalan tentang pendidikan politik supaya bisa menjadi wadah untuk penyaluran aspirasi rakyat. Dalam kondisi partai yang sarat konflik, pendidikan politik tersebut menjadi terhambat.

"Hasil dari konflik internal elite partai adalah terbentuknya partai baru. Kebanyakan dari mereka karena tidak puas terhadap ketua umum dan pengurus," ujarnya.

Sementara itu, politisi Partai Amanat Nasional (PAN) Loren Bahang Dama mengatakan setiap partai politik memiliki konflik, namun, konflik itu terkadang dapat diselesaikan secara internal tanpa harus muncul ke permukaan.

"Dalam tubuh PAN sendiri ada Majelis Penyelesaian Sengketa (MPS) yang bertugas menyelesaikan konflik, sehingga ketua umum tak perlu repot mengurusi konflik," ujarnya.

Menurut Lorens, partai dapat terhindar dari konflik apabila memiliki sistem manajemen konflik dan patuh pada aturan perundang-undangan.

"Partai bukan tujuan akhir namun masyarakat menaruh harapan besar pada parpol untuk melakukan perubahan," ujarnya.

Dia menambahkan, seorang ketua umum juga harus bersikap negarawan dan tidak menggunakan kewenangannya secara penuh.

"Kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan berdasarkan kolektif kolegial dimana elit partai bisa mematuhi keputusan kongres dan keputusan rapat pleno untuk dijalankan," jelasnya.

Gambaran perpecahan partai politik di Indonesia, misalnya, PDI-P sebagai pemenang Pemilu 1999 pecah menjadi beberapa parpol, seperti Partai Indonesia Tanah Air Kita (PITA) pimpinan Dimyati Hartono (mantan salah satu Ketua DPP PDI-P) dan Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK) diketuai oleh Eros Djarot (mantan fungsionaris PDI-P). Pasca-Kongres PDI-P di Bali akhir Maret 2005, muncul Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) yang digagas oleh Laksamana Sukardi dan kawan-kawan yang dikenal dekat dengan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri.

Sementara itu, Partai Golkar mengalami nasib yang sama, dimana pra-Pemilu 1999 atau tepatnya pasca-Munaslub 1998, Jenderal TNI (Purn) Edi Sudradjat memisahkan diri dan mendirikan Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) yang kemudian berubah nama menjadi PKPI menjelang Pemilu 2004, Mien Sugandhi membentuk Partai Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong/MKGR yang kemudian berubah nama menjadi Partai Gotong Royong menjelang Pemilu 2004, Bambang W. Suharto mendirikan Partai Demokrat Bersatu, serta Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) yang dipimpin oleh Jenderal TNI R. Hartono.

Akhir-akhir ini Partai Demokrat dilanda prahara yang mengesankan terjadinya perpecahan antara Ketua Umum Dewan Pembina Susilo Bambang Yudhoyono dan Ketua Umum Anas Urbaningrum.

BACA JUGA: