JAKARTA, GRESNEWS.COM - Langkah pemerintah memangkas anggaran kementerian dan lembaga dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016 dianggap melanggar Undang-undang. Rupanya rencana perubahan anggaran itu tidak dilakukan melalui prosedur yang semestinya yaitu melalui pengajuan ke DPR akan tetapi melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2016 tentang Langkah-langkah Penghematan Belanja Kementerian/Lembaga dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan Tahun Anggaran 2016.

Pengamat ekonomi Rahmat Bagja menyatakan apabila ini benar-benar dilakukan maka pemerintah telah melanggar konstitusi sebab dalam Pasal 37 UU Nomor 12 Tahun 2016 tentang APBN-P menyatakan bahwa pemerintah dengan sepersetujuan DPR dapat melakukan penghematan anggaran atau pemangkasan anggaran. Dalam UU tersebut sudah sangat jelas bahwa pemangkasan anggaran harus melalui persetujuan DPR yang memang memiliki fungsi penganggaran.

Pemerintah selaku pihak yang mempergunakan anggaran tidak bisa serta-merta menganggarkan sendiri anggarannya. Harus ada proses yang dilewati, sehingga walaupun DPR sendiri tidak masalah akan pemotongan anggaran ini tetap saja hal ini adalah pelanggaran undang-undang.

"Saya lihat DPR santai saja, kurang baca buku sepertinya mereka," ujar Rahmat Bagja kepada gresnews.com, Kamis (8/9).

Ia juga menyatakan, apalagi jika melihat keanehan rencana pemangkasan APBN-P tersebut, DPR RI, MPR dan DPD adalah lembaga yang tidak dipotong anggarannya sedangkan anggaran pembangunan yang sejatinya untuk kesejahteraan rakyat malah masuk rencana pemotongan. "Saya kira DPR tidak dipotong supaya tidak ada perlawanan, jadi semacam cara untuk membungkam," ujarnya.

Menurut Rahmat, pemangkasan anggaran ini diakibatkan pemerintah gagal dalam menyerap pendapatan pajak yang ada sehingga pendapatan dari sektor pajak sangat tidak maksimal. Ia juga menyoroti soal pendapatan dari Tax Amnesty tidak bagus sehingga bisa dilihat pendapatan pajak tidak bertambah malah cenderung berkurang.

"Kalau pendapatan pajak berkurang berarti UU Tax Amnesty itu gagal," tegasnya.

Selain itu, pemangkasan anggaran secara sepihak ini dinilai akan merugikan pengusaha yang memiliki program kerja sama dengan pemerintah. Para pengusaha ini akan mengalami ketidakpastian apabila kontrak mereka sewaktu-waktu diputus oleh pemerintah akibat tidak adanya anggaran. Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan dianggap gagal dalam memproyeksikan anggaran serta memaksimalkan pemasukan pada tahun ini.

Ia berharap apabila rencana pemangkasan anggaran tetap dilakukan maka DPR harus benar-benar menjalankan tugasnya selaku pengawas karena pemerintah telah melanggar Undang-undang dan Presiden Jokowi bisa dimakzulkan. Walaupun begitu ia pesimis hal itu terjadi, sebab menurutnya dalam kasus pengangkatan Archandra sebagai menteri walaupun melanggar UU, Jokowi selaku presiden masih tetap aman di posisinya. Padahal baru ada dalam sejarah Indonesia, menteri yang diangkat memiliki kewarganegaraan ganda yang jelas melanggar UU.

"Dan baru ada juga pemotongan anggaran tanpa persetujuan DPR kan aneh, Sri Mulyani lupa ngobrol sama ahli hukumnya mungkin itu," ujar Rahmat.

TAX AMNESTY BELUM OPTIMAL - Berdasarkan data statistik tax amnesty Ditjen Pajak, sampai dengan Kamis malam (8/9/2016), pukul 20.20 WIB, total uang tebusan yang masuk dari program tax amnesty adalah Rp 7,36 triliun. Realisasi ini masih jauh dari apa yang diharapkan oleh pemerintah.

Rendahnya uang tebusan yang masuk akan berpengaruh langsung terhadap penerimaan pajak negara. Tentunya pemerintah harus menyiapkan antisipasi bila ternyata realisasinya rendah.

Opsi yang dimungkinkan diambil oleh pemerintah adalah pemangkasan belanja kembali. Sebab defisit anggaran sangat terbatas untuk diperlebar.

"Kita lihat sih penerimaan masih dimonitor. Mudah-mudahan bisa di September ini. Masih ada harapan," ungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (8/9).

Sri Mulyani akan memantau penerimaan negara setiap saat, terutama yang bersumber dari program pengampunan pajak. Sembari menyiapkan beberapa langkah antisipasi ke depan. Hingga sekarang, Sri Mulyani belum ada pemikiran untuk pemangkasan belanja untuk ketiga kalinya pada periode anggaran tahun ini.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo memperkirakan, dana yang masuk ke dalam negeri dari program pengampunan pajak atau tax amnesty bakal mencapai Rp 180 triliun. Lebih rendah dari harapan pemerintah yang awalnya Rp 1.000 triliun.

"Penambahan capital inflow dari repatriasi di 2017 itu ketika dana masuk di Desember 2016 sebesar Rp 180 triliun," ungkap Agus di Gedung DPR, Jakarta, Rabu malam (7/9).

Sementara uang tebusan diperkirakan mencapai Rp 21 triliun, atau lebih rendah dari target yang ditetapkan sebesar Rp 165 triliun. Uang tebusan akan dihitung sebagai penerimaan negara.

"Uang tebusan untuk 2016 diperkirakan masuk Rp 18 triliun pada 2016 dan Rp 3 triliun pada 2017," ujarnya.

Proyeksi tersebut muncul setelah melihat realisasi tax amnesty sampai beberapa hari terakhir. Agus menyatakan, angka yang disampaikan bersifat konservatif dan tidak menutup kemungkinan bisa terealisasi lebih tinggi.

"Itu adalah model baseline dan itu adalah angka konservatif berdasarkan apa yang tercapai sampai dengan sekarang," imbuhnya.

Realisasi tax amnesty yang diperkirakan menjadi landasan BI melihat pertumbuhan kredit bisa mencapai 12,7% pada 2017. Sementara ekonomi diproyeksi mampu untuk tumbuh 5,04% pada 2016 dan 5,21% pada tahun depan.

"Hal ini yang diharapkan dapat mendorong pertumbuhan kredit sampai 12,7%," terang Agus.

DPR MASIH BERGIGI? - Menanggapi isu bahwa tidak dipotongnya anggaran DPR sebagai bagian usaha pemerintah untuk meloloskan rencana pemangkasan anggaran ini anggota DPR RI dari Fraksi PKS Refrizal menyatakan bahwa hal itu tidak benar. Sampai saat ini pemangkasan anggaran tersebut masih berbentuk rencana, ia menegaskan DPR masih tetap kritis dalam mengawasi pemerintah. Apabila pemerintah dianggap bertindak melanggar UU maka akan ditegur sesuai proses yang ada.

"Ini bukan masalah DPR dipotong atau tidak dipotong, kalau pemerintah mau memotong anggaran tinggal diajukan saja," ujar Refrizal kepada gresnews.com, Kamis (8/9).

Ia mengungkapkan rencana pemangkasan anggaran tersebut sedang dibahas di DPR, apabila pemerintah menghendaki adanya perubahan APBN-P 2016 maka harus mengajukan kembali rencana anggarannya. Nanti akan dibahas oleh badan anggaran DPR RI setelah itu akan diparipurnakan. Apabila pemerintah tiba-tiba memotong begitu saja dengan berbekal Inpres tentu tidak dapat dilakukan sebab posisi UU lebih tinggi dibandingkan Inpres ataupun Perpres dan peraturan-peraturan lainnya.

Terkait kemungkin memakzulkan Presiden Jokowi apabila pemangkasan anggaran ini tetap dilakukan ia menyatakan sampai saat ini ia belum bisa memberikan pendapat, sebab hal itu juga belum dilakukan. Akan tetapi hal tersebut pastinya melanggar sumpah jabatan yang menyatakan akan taat kepada konstitusi. Ia berharap pemerintah segera mengakhiri kegaduhan ini dengan mengajukan rencana perubahan anggaran tersebut ke DPR sebab waktu yang dimiliki untuk membahas hal tersebut pun masih ada.

"DPR juga tidak akan kejam dan serta merta melarang, kalau memang tidak ada uangnya mau diapakan," tegasnya.

Sementara Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan, pemerintah tidak bisa mengelola keuangan dengan menggunakan instrumen hukum di bawah UU. Sebab, pemotongan anggaran itu hak DPR melalui hak budgeting dan terkait anggaran harus ketat yaitu melalui UU.

"Kalau Inpres keluar, pertama-tama rawan gugatan dan menciptakan ketidakpastian hukum," kata Fahri, di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (5/9).

Fahri menjelaskan, pemotongan anggaran tidak bisa menggunakan Inpres. Untuk itu, Fahri menyayangkan keputusan Presiden itu berbahaya dan menjadi preseden buruk bagi Indonesia.

"Itu salah, nanti Presiden bisa digugat. Pemotongan anggaran semestinya dengan APBNP Tahap 2," terangnya.

Sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan pemerintah tidak perlu mengajukan RAPBN-P 2016 yang baru untuk melakukan pemotongan anggaran sebesar Rp 133 triliun. Hal ini disebabkan saat memotong anggaran Kemenkeu sudah mempertimbangkan aspek hukum. Landasan yang dipegang adalah Pasal 26 UU Nomor 12 Tahun 2016 tentang APBN-P.

Dalam aturan itu pemerintah diberikan kemungkinan untuk melakukan penyesuaian. Bila realisasi penerimaan negara tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pengeluaran negara pada saat tertentu maka pemerintah dapat melakukan penyesuaian belanja negara .

Dalam implementasi APBNP 2016, Sri menyatakan pemerintah juga telah berkonsultasi dengan DPR sehingga aspek hukum dalam setiap pengambilan kebijakan selalu dipertimbangkan sehingga persoalan hukum terkait pemotongan anggaran ini sudah selesai.

Dari 87 lembaga negara, empat di antaranya hanya empat lembaga yang angarannya tak dipotong. Keempat lembaga itu adalah MPR, DPR, DPD, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). (dtc)

BACA JUGA: