JAKARTA - Upaya sejumlah kalangan untuk menjegal pengangkatan mantan Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi menggantikan Achmad Sodiki semakin massif. Ada yang mendorong secara ´politik´ agar Presiden mencabut keputusannya, ada yang menempuh jalur pengadilan. Tapi pemerintah bergeming.

Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (ILUNI FHUI) meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencabut Keputusan Presiden No 87/P/2013 tentang pengangkatan Patrialis sebagai hakim konstitusi dari unsur pemerintah, sementara Tim Advokasi dari Koalisi Penyelamatan Mahkamah Konstitusi mendaftarkan gugatan tata usaha negara di Pengadilan TUN Jakarta agar pengadilan yang memutuskan untuk membatalkan keppres tersebut.

Argumen ILUNI FHUI dan Koalisi Penyelamatan MK untuk menentang Keppres itu mirip, yakni, seputar proses penunjukkan yang tidak transparan. Ketua Umum ILUNI FHUI Melli Darsa mengatakan pengangkatan Patrialis sebagai hakim konstitusi belum memenuhi prosedur yang diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, khususnya Pasal 19 dan Pasal 20.

Pasal 19 UU Mahkamah Konstitusi memerintahkan agar pencalonan Hakim Konsitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif. Dalam penjelasan Pasal 19 UU Mahkamah Konstitusi ditegaskan bahwa calon hakim konstitusi dipublikasikan di media massa baik cetak maupun elektronik, sehingga masyarakat mempunyai kesempatan untuk ikut memberi masukan atas calon hakim yang bersangkutan.

"ILUNI FHUI menilai proses yang diatur UU Mahkamah Konstitusi ini tidak dilaksanakan dengan semestinya dalam hal pencalonan Saudara Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi. Akibatnya, keputusan presiden tentang pengangkatan Saudara Patrialis Akbar tidak sah karena melanggar ketentuan UU Mahkamah Konstitusi," kata Melli dalam keterangan tertulis yang diterima Gresnews.com, Senin (12/8/2013).

Melli menambahkan pengangkatan sebagai hakim konstitusi tanpa melalui proses yang transparan dan partisipatif juga berarti bertentangan dengan semangat pemilihan hakim konstitusi secara objektif dan akuntabel yang diperintahkan UU Mahkamah Konstitusi. "Pemaksaan pengangkatan Hakim Konstitusi tanpa melalui prosedur yang sah dapat menodai kredibilitas Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum di Indonesia," ujarnya.

Kelalaian untuk menjalankan amanat undang-undang atas proses seleksi yang transparan dan partisipatif juga telah dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Presiden pada calon-calon sebelumnya. Mahkamah Agung dalam pengusulan Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Presiden ketika mengusulkan Hamdan Zoelva juga tidak melalui proses seleksi transparan dan partisipatif. "Oleh karena itu, ILUNI FHUI berpendapat, kelalaian ini tidak boleh terus dibiarkan."

Pasal 20 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi memerintahkan tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga yang berwenang (Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden). ILUNI FHUI mendesak Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden untuk segera membuat peraturan yang diperintahkan Pasal 20 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi tersebut."Peraturan mengenai tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi sangat penting untuk mendapatkan hakim konstitusi yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar. Ketiadaan peraturan tersebut dapat menyebabkan pencalonan dan pemilihan hakim konstitusi tidak transparan dan absen dari partisipasi masyarakat sebagaimana diperintahkan UU Mahkamah Konstitusi," papar Melli.

Track Record
Selain soal proses pengangkatan Patrialis, rekam jejak Patrialis juga dikritik. Julius Ibrani, anggota Koalisi Penyelamat MK, mengatakan, banyak rapor merah dalam karier Patrialis selama ini.

"Waktu jadi Menkum dan HAM banyak remisi yang diberikan, bisa tiga sampai empat kali dalam setahun. Lalu ada kasus sel untuk napi koruptor yang mewah. Banyak kebijakan dia yang kontroversial," ujar Koordinator Bantuan Hukum YLBHI itu.

Julius juga teringat pada upaya Patrialis mendaftar hakim konstitusi dan hakim agung yang tak berjalan mulus. Sementara, ada dua nama yang sebenarnya lebih kompeten dibandingkan Patrialis."Dia pernah mendaftar hakim agung tapi gagal, lalu pernah ikut seleksi hakim konstitusi tapi mengundurkan diri. Padahal saya dengar ada nama Yunus Husein dan Satya Arinanto, lalu tiba-tiba Patrialis yang diangkat. Jadi kita belum bisa prediksi bagaimana dia di MK," tutup Julius.

Silakan Gugat
Tapi, pemerintah bergeming. Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto, Senin (12/8/2013), di Istana Bogor, Jawa Barat, mengatakan tak ada keharusan menyampaikan ke publik mengenai penunjukkan Patrialis.

"Yang penting proses di internal pemerintah jalan. Kan itu wakil pemerintah, bukan wakil yang lain. Kalau MA melakukan proses, kenapa tidak dikritisi juga? Sama saja kan," kata Djoko.

Djoko, pengangkatan Patrialis sepenuhnya merupakan wewenang pemerintah. Tak hanya pemerintah, kalangan DPR dan MA pun memiliki hak yang sama dalam mengajukan hakim MK.

"Jadi ada tiga pihak dari MA, DPR dan pemerintah. Jadi kalau pemerintah kan pemerintah yang memilih. Dan itu di dalam internal pemerintah juga sudah dalam proses. Melalui Menteri Hukum dan HAM, melalui saya, proses itu ada. Dan itu adalah hak pemerintah karena itu adalah wakil dari pemerintah di MK," jelas Djoko yang memastikan Patrialis memiliki syarat-syarat yang layak untuk menjadi hakim MK.

Pemerintah juga mengaku siap untuk menghadapi gugatan Koalisi Penyelamatan MK di PTUN Jakarta. Djoko memastikan pemerintah sudah menjalani proses yang sesuai aturan dalam menunjuk Patrialis.

"Tidak usah khawatir, pemerintah memiliki alasan yang kuat untuk mengangkat seseorang. Presiden kan tidak sembarangan juga," tegasnya.

(*/dtc/GN-01)

BACA JUGA: