GRESNEWS.COM - Polisi menangkap dan menembak mati pelaku perampokan toko emas di Jakarta Barat. Mereka diduga terkait jaringan teroris Aceh. Isu terorisme pun kembali ke permukaan, di tengah maraknya desakan pembubaran Tim Densus 88. Sekadar pengalihan isu?

Perampokan di toko emas Terus Jaya di Jln. Tubagus Angke RT 08/10, Tambora, Jakarta Barat tersebut diduga terkait jaringan teroris Aceh yang merampok Bank CIMB Niaga Medan pada 2010 lalu. Dalam penangkapan Jumat (15/3) pukul 06.00 itu Mabes Polri menangkap tujuh orang di empat lokasi berbeda di Jakarta dan Bekasi.

Satu terduga teroris berinisial H ditangkap hidup-hidup di Teluk Gong (Jakarta Utara), sedangkan M tewas lantaran berusaha melawan. Lima lainnya berinisial A, S, T, K, dan P ditangkap di Mustikasari, Kecamatan Mustika Jaya, Bekasi. Terduga S, T, dan K ditangkap hidup-hidup, sementara A dan P tewas dalam tembak-menembak.

Barang bukti yang sempat diamankan petugas Subdit Resmob Dirskrimum Polda Metro Jaya berupa 14 bom pipa siap ledak, 5 senjata api rakitan jenis scorpion, 34 butir peluru kaliber 9 mm, 2 sepeda motor, dan 1 kg emas hasil kejahatan. Dari 14 bom yang ditemukan, 1 bom diledakkan di lokasi, sedangkan 13 lainnya dibawa ke laboratorium. Keempat belas bom yang ada di lokasi kejadian memiliki karakter serupa dengan yang ditemukan di sejumlah lokasi penangkapan teroris di Beji, Depok.

Beda Karakter
Apakah penangkapan ini pengalihan isu yang diciptakan untuk mengubah opini pembubaran Densus 88? Pengamat Kepolisian Alvons Loemau kepada Gresnews.com menjawab santai, "Opini negatif tentang Kepolisian sebuah fenomena yang wajar, karena memang begitulah kondisi sosial dan dinamika kemasyarakatan saat ini," ungkap Alvons. "Tapi kalau itu dianggap sebagai pengalihan isu pembubaran Densus, rasanya tidak," tegas Bambang Widodo Umar, sesama pengamat masalah Kepolisian, kepada Gresnews.com di tempat terpisah.

Bambang Widodo menjelaskan, perampokan biasa jelas-jelas memiliki perbedaan karakter dengan terorisme. Perampokan adalah tindakan kriminal, sedangkan terorisme politis. "Kalau itu perampokan biasa, memang harus ditanggulangi, tapi tidak perlu menurunkan Tim Densus 88. Kan masih ada yang lain, misalkan Reserse," tambah Bambang. Namun bagaimana membedakan sebuah perampokan murni dan terorisme, cuma polisi yang tahu. Karena modus pergerakan tim antiteror ini memang tak diumbar sembarangan.

Hingga pekan  lalu, sejumlah organisasi massa Islam dan lembaga hak asasi manusia (HAM) terus menekan pemerintah untuk membubarkan Detasemen Khusus 88 (Anti Teror). Sebuah video yang diduga menggambarkan kekejian personel Densus 88 diunggah di Youtube dan langsung memancing reaksi negatif publik. Hingga hari ini, ketika muncul lagi berita aksi Densus 88 di Tambora, reaksi negatif dan tuntutan pembubaran itu masih membahana.

Penegasan mengenai pembubaran Densus 88 sendiri awalnya datang dari Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin. "Kalau dari sudut MUI (Majelis Ulama Indonesia), kita sepakat Densus 88 dievaluasi bila perlu dibubarkan," kata Din yang juga wakil ketua MUI itu. Din mengusulkan agar Densus 88 diganti dengan sebuah lembaga yang menggunakan pendekatan baru dalam pemberantasan terorisme. Lembaga seperti apakah yang dimaksud? "Itu urusan POLRI, Pemerintah, Presiden. Ini sudah terlanjur ada stigma pelanggaran berat (Densus 88)," kata Din.

Masih perlu ditunggu, reaksi masyarakat terhadap aksi di Tambora, yang kembali mencuatkan nama Densus 88. Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) POLRI, Brigjen Boy Rafli Amar bilang, dalam penangkapan di Tambora tersebut, polisi mendapati sejumlah fakta baru. Salah satunya, para penjahat itu diduga kuat terkait jaringan terorisme.

Tidak dijelaskan secara rinci jenis fakta baru yang ditemukan. Namun polisi tampaknya yakin sekali, karena sebelum melakukan penangkapan, mereka telah mengintai para perampok selama sekitar lima hari. "(Kita mengambil kesimpulan itu), setelah melalui proses olah TKP dan pengembangan penyelidikan yang dilakukan selama kurang lebih lima hari sampai dengan hari ini," jelas Boy.

Apakah aksi Tambora akan membungkam suara mereka yang menuntut evaluasi kinerja Densus 88? Mestinya sih tidak. Dibubarkan atau tidak, evaluasi tetap perlu. Setidaknya agar masyarakat bisa membedakan, mana perampokan biasa dan mana terorisme. (LAN/GN-02)

 

BACA JUGA: