JAKARTA, GRESNEWS.COM - Tantangan dan kompleksitas kejahatan terorganisir lintas batas, telah mendorong terbentuknya kerjasama global. Sebagai salah satu anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia kembali menyuarakan penanganan secara global terkait isu-isu kejahatan seperti ektrimisme dan terorisme.

Menteri Luar Negeri Retno L.P. Marsudi, saat Sidang Majelis Umum PBB ke-70, sempat menyampaikan pandangan kepada Dewan Keamanan PBB soal pentingnya penanganan dan pencegahan ancaman isu-isu lintas batas tersebut. "Upaya penanggulangan isu terorisme memerlukan perhatian bersama secara serius," kata Retno, beberapa waktu lalu. 

Namun menurutnya melihat model penanganan yang selama ini dilakukan dengan cara hard power oleh PBB dan ternyata tidak seluruhnya efektif, Menteri   Retno mengajak dunia internasional untuk melihat penanganan kasus-kasus ektrimisme dan terorisme dengan pendekatan soft power.

Pesan yang disampaikan Menlu intinya lebih pada upaya bersama meredam ancaman. Isu lintas batas itu kini membutuhkan perhatian dunia mengingat dampak ancaman  kawasan tertentu dapat memberikan efek serius bagi kawasan-kawasan lainnya.

Contoh kawasan yang diangkat di forum Keamanan PBB oleh pemerintah Indonesia adalah konflik dan gerakan ekstrimis di wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara. Konflik itu  telah memunculkan gerakan separatis dan kelompok terorisme seperti Islamic State of Iran and Syria (ISIS) dan sejumlah kejahatan transnasional lainnya.

Demi menunjukkan sikap serius Indonesia terhadap persoalan tersebut.  Menlu Retno bahkan mengusulkan Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggaraan interfaith dialogue MIKTA (Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki, dan Australia) pada pertemuan Menlu MIKTA di sela-sela Sidang Majelis Umum PBB ke-70 di New York, 26 September lalu.

Retno menyatakan dialog antarkepercayaan merupakan bagian penting pendekatan soft power penanganan masalah terorisme. Ia memaparkan usulan kerja sama konkret lain dalam pemberantasan terorisme adalah melalui kerja sama intelijen dan pertukaran informasi legislasi hukum nasional antar negara MIKTA terkait foreign terrorist fighters (FTF).
 
"Indonesia berkomitmen untuk memerangi terorisme. Penanganan masalah terorisme perlu dilakukan secara komprehensif mencakup pencegahan, deteksi dini, tindakan hukum, serta rehabilitasi," ujar Retno seperti dilansir kemlu.go.id.

PENANGANAN KELIRU  - Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir juga menegaskan  perlu ada penyatuan pandangan dan visi menyelesaikan ancaman global. Sebab, ia menilai,  selama ini pendekatan yang dilakukan menghadapi ancaman global itu keliru. Terutama langkah yang  gencar diinisiasi negara superpower yang juga berstatus anggota Dewan Keamanan PBB melalui cara hard power atau langkah represif seperti pengeboman dan penyerangan.

Pendekatan atau jalan keluar melalui hard power seperti itu, kata dia, tidak efektif bahkan gagal memediasi penyebaran ancaman. Akibatnya, peningkatan kapasitas kemampuan peace keepers PBB, lanjut Tata, selama ini masih menunjukkan kegagalan mencegah konflik di berbagai belahan dunia.

Ia menambahkan, residual impact atau pengaruh kegagalan itu menyebabkan hadirnya konflik Suriah dan lainnya dalam bentuk ekstrimisme dan terorisme.

"Bagaimana mencegah itu, kita mengerti bahwa di satu titik penyelesaian membutuhkan hard power, namun, perlu pendekatan soft power juga dalam mencegah isu ektrimisme dan terorisme guna mencapai toleransi," kata Tata saat ditemui gresnews.com, Kamis (8/10).

Ia menjelaskan soft power merupakan langkah preventif yang dapat dilakukan melalui rehabilitasi dan lainnya. Tawaran soft power itu, menjadi strategi dan jalan keluar yang telah disuarakan oleh Menlu ketika berpidato di forum Dewan Keamanan PBB sekaligus sebagai sikap Indonesia menyelesaikan masalah kejahatan global.

PERKUAT PASUKAN PERDAMAIAN - Dalam konteks Dewan Keamanan, ada serangkaian isu yang dirundingkan. Salah satunya adalah pembahasan peace and security dalam rangka mendorong negara anggota PBB meningkatkan kapasitas peace keeping melalui sumbangsih tentara perdamaian dunia.

Peningkatan kapasitas keamanan dan pencegahan ancaman ditentukan penguatan tenaga perdamaian. Untuk itu, Tata menuturkan, hal itu sempat masuk pembahasan negara-negara anggota sebagai komitmen bersama dalam meningkatkan pengiriman tenaga peace keepers, pendanaan (funding) dan lain-lain.

"Stabilitas keamanan merupakan tanggung jawab utama PBB khususnya Dewan Keamanan untuk terus berkontribusi terhadap penanganan konflik," ujarnya.

Dalam posisi ini, Indonesia telah menunjukan keseriusan dan komitmen menjaga stabilitas keamanan dunia. Tata menyebut, pada bulan Mei tahun 2015 ini, jumlah sumbangsih tentara perdamaian (peace keepers) Indonesia di PBB mencapai 2.729.

Jumlah itu diperkirakan akan terus meningkat karena pemerintah Indonesia menargetkan penambahan kiriman pasukan perdamaian sebanyak 4.000 pada tahun 2019 mendatang.

Seperti diketahui, proses pengiriman pasukan perdamaian ke PBB selama ini ditangani dua lembaga pemerintah yaitu Kemlu dan Kementerian Pertahanan.

Direktur Keamanan Internasional dan Pelucutan Senjata Kementerian Luar Negeri Andi Rachmianto menyebut, sumbangsih itu telah membuat Indonesia cukup produktif mengirim tenaga bantu keamanan (TNI dan Polri) untuk menjaga stabilitas keamanan dunia.

Menurut Andi keterlibatan tentara Indonesia cukup produktif dengan terlibat dalam 10 misi perdamaian PBB. Penyebaran dan penempatan pasukan difokuskan pada wilayah konflik, namun dari semua titik pengiriman, yang terbanyak berada di Lebanon yaitu 1.300 pasukan.

"Dari total peacekeepers Indonesia, mereka dikirim ke beberapa negara yaitu Lebanon, Darfur, Haiti, Konggo, Liberia dan Sudan Selatan," sebut Andi.

BACA JUGA: