JAKARTA, GRESNEWS.COM - Terpilihnya Oesman Sapta Odang sebagai Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI berujung polemik bahkan menyisakan dualisme kepemimpinan dalam tubuh lembaga tersebut. Upaya untuk menganulir keabsahan pimpinan yang baru ini juga dinilai tak mudah lantaran MA telah mengambil sumpah atas keputusan paripurna DPD yang menunjuk Oesman Sapta Odang,  Nono Sampono dan Darmayanti Lubis sebagai pimpinan. Kendati Mahkamah Agung melalui jurubicaranya Suhadi  telah meluruskan bahwa MA hanya memandu sumpah bukan melantik kepemimpinan Oesman Sapta Odang.

Anggota DPD dari Provinsi Maluku Anna Latucosina menganggap pelantikan pimpinan DPD masih dipersoalkan. Senator asal Maluku itu menilai, dasar hukum yang dipakai untuk menggantikan pimpinan DPD yang lama tidak sah. Dengan begitu, pimpinan DPD yang lama masih memegang amanah untuk memimpin DPD.

"Pimpinan DPD yang sah masih dipegang oleh Pak Saleh, Ibu Hemas dan Farouk Muhammad," kata Anna melalui pesan singkatnya kepada gresnews.com, Jumat (7/4).

Sebelumnya, Anna juga masih mempertanyakan landasan hukum yang dipakai Mahkamah Agung untuk mengambil sumpah pimpinan DPD yang baru. Anna tetap berpegang pada putusan MA nomor 20 P/Hum 2017 yang telah memutuskan membatalkan Tatib DPD Nomor 1 Tahun 2017.

Dengan alasan itu, masa kepemimpinan DPD juga secara otomatis kembali kepada masa jabatan 5 tahun. Karena pasal soal jabatan pimpinan ketua DPD 2,5 telah dibatalkan oleh putusan MA. Anna tetap berpegang pada putusan MA yang membatalkan Tatib DPD No. 1 tahun 2017.

Lagi pula, posisi Ketua DPD yang lama yang dijabat Mohammad Saleh masih sah. Sejauh ini,  Saleh belum pernah mengumumkan secara resmi pengunduran dirinya dari Ketua DPD RI.

"Kalau mereka mengatakan Pak Saleh sudah mundur, belum ada penyampaian secara resmi tentang pengunduran dirinya," ujar Anna.

TAK BISA DI- PTUN - Sementara itu menanggapi kisruh kepemimpinan DPD ini, aktivis hukum dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Alvon Kurnia Palma berpendapat, masih ada celah untuk mengambil langkah terkait polemik itu. Ketika ada satu keputusan, misalnya dibuat oleh DPD maka yang berhak untuk menganulirnya adalah lembaga itu sendiri.

"Yang bisa menganulir ya lembaga itu sendiri. Misal KPU atau DPD membuat peraturan tentang Tatib yah DPD yang bisa menggugurkan peraturan itu," kata Alvon melalui pesan singkatnya, kepada gresnews.com, Kamis (6/4).

Alvon melihat kekisruhan soal jabatan DPD terletak pada masa jabatan DPD melalui dua Tatib yang bertentangan. Tatib 1 Tahun 2016  maupun Tatib 1 Tahun 2017 menyatakan jabatan DPD 2,5 tahun, lalu Tatib 1 tahun 2014 mencantumkan masa jabatan selama 5 tahun. Karena itu, Tatib 2016 tatib 2017 telah dibatalkan melalui putusan MA Nomor 20 P/Hum 2017 dan putusan Nomor 38 P/Hum 2016. Karena MA memang memiliki kewenangan untuk membatalkan peraturan di bawah undang-undang.

"Lebih pada masa jabatan pimpinan dan hal lainnya yang di JR ke MA," tukas Alvon.

Sedang pakar hukum tata negara Universitas Pancasila Muhammad Rullyandi menilai tidak ada celah untuk melakukan perlawanan hukum melalui Pengadilan Usaha Tata Negara (PTUN) kendati ada kalangan yang tidak terima atas pelantikan pimpinan DPD yang baru.

Dia mengatakan, keputusan DPD melalui paripurna tidak bisa menjadi objek gugatan di PTUN. Karena menurut Rully itu bukan hasil dari proses administratif.

"Enggak bisa di PTUN-kan. Kan PTUN di luar itu. Dia bukan objek gugatan di PTUN karena dia bukan produk administratif," ujar Rully kepada gresnews.com.

BACA JUGA: