JAKARTA, GRESNEWS.COM - Peristiwa kericuhan sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), Senin kemarin dinilai sebagai peristiwa memalukan yang dipertontonkan oleh sebuah lembaga tinggi negara. Peristiwa itu pun luput dari kritik kolega mereka di Lembaga Legislatif DPR. Sebagai lembaga tinggi negara, DPD dianggap memberikan coretan hitam terhadap konsolidasi demokrasi.

Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring mengkritik keras ulah anggota DPD itu. Menurutnya saat ini anggota DPD tengah disorot karena belum berperan maksimal menjalankan tugasnya menyerap aspirasi daerah. Padahal posisi dan fasilitas yang diterima oleh anggota DPD RI yang sama seperti yang diterima anggota DPR

Karena, pihak DPR tengah mengupayakan agar kewenangannya ditambah. Namun, aksi yang dipertontonkan peserta sidang paripurna DPD membuat DPR kembali berfikir ulang untuk memperkuat kewenangan mereka.

"DPD ini kan sebenarnya dari segi fasilitas dan gaji sama dengan DPR, hanya sorotan publiknya yang kurang selama ini. Sekalinya tersorot malah ribut Padahal kita PKS  selama ini telah memperjuangkan kewenangan DPD di DPR," ujar Tifatul  kepada wartawan di komplek Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (4/3).

Bahkan dia sesumbar, sempat mengamini wacana pembubaran DPD lantaran kinerja buruk yang ditunjukkannya kepada publik. Padahal, aspirasi daerah masih banyak belum terserap dalam selama kinerja DPD. Namun, di sisi lain DPD memang memiliki kewenangan untuk mengusulkan undang-undang hanya saja tidak memiliki kewenangan untuk membahas dan memutuskannya.

"Jangan keberadaannya ada tapi fungsinya tidak jelas. Walaupun, DPD meminta agar Pasal 19 UUD 1945 di amandemen supaya DPD punya kewenangan dan memutuskan undang - undang," tutur Tifatul Sembiring.

Dalam paripurna pemilihan ketua DPD kemarin Senin (3/4), Oesman Sapta Odang terpilih menjadi Ketua DPD yang baru menggantikan Mohammad Saleh. Namun proses pemilihan tersebut bermasalah lantaran pemilihan didasarkan pada Tatib 1 tahun 2017 yang sebenarnya telah dibatalkan oleh putusan Mahkamah Agung nomor 20 P/ Hum 2017 . Dengan begitu, terpilihnya Oesman Sapta Odang dianggap illegal oleh beberapa anggota DPD lainnya.

Gusti Kanjeng Ratu Hemas yang merupakan pimpinan DPD 2014-2019 menganggap keterpilihan Oesman Sapta Odang inkonstotusional. Alasannya, putusan MA telah membatalkan dasar yang dijadikan pedoman untuk melakukan pemilihan Ketua DPD yang baru.

PERLU DIPERKUAT - Melihat fenomena itu, pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Jakarta Adi Prayitno menilai pentingnya memperkuat kewenangan Dewan Perwakilan Daerah. Terlepas dari aksi kericuhan kemarin, menurut Adi, posisi DPD masih strategis mengingat DPR juga belum menunjukkan kinerja yang maksimal kepada publik.

"Saya rasa secara ideal posisi DPD memang perlu diperkuat. Idealnya posisi DPD strategis mengimbangi DPR. Harus diperkuat. Perlu ada kamar lain untuk mengimbanginya," kata Adi kepada gresnews.com, Selasa (4/3).

Hanya saja, aksi yang dipertontonkan DPD dalam rapat paripurna sedikit menyisakan pesimis publik untuk memback-up perjuangan DPD. Sehingga proses politik memperkuat DPD mengamandemen UUD 1945 ragu bisa terealisasi.

Meski begitu, DPD juga harus legowo mengubah perilakunya, sehingga publik jadi merasa penting untuk memperkuat kewenangan DPD. "Ideal catatannya mereka menertibkan DPD juga. Kalau enggak berubah sama saja dengan DPR Ngapain diperkuat," ujar Adi.

Lebih jauh Adi mengungkapkan, tidak ada jalan lain selain melakukan amandemen jika ingin memperkuat kewenangan DPD. Namun kini yang diperlukan, adalah kelegowoan DPR untuk memberikan kewenangannya kepada DPD, sehingga akan ada kamar lain (senator) yang juga bisa memperjuangkan kepentingan rakyat.



BACA JUGA: