JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rencana pemerintah menertibkan para pengguna media sosial yang dianggap sudah melampaui batas dianggap sebagai pengekangan kebebasan berekspresi dan berpendapat. Penertiban media sosial ini dikhawatirkan akan menimbilkan efek ketakutan di masyarakat dan merenggut kebebasan berpendapat.

Evita Nursanty dari Komisi I DPR RI yang membidangi permasalahan Informatika mendukung langkah pemerintah untuk menertibkan media sosial. Bahkan menurutnya, Komisi I DPR telah setuju menambahkan pasal yang memberikan kewenangan penuh terhadap pemerintah untuk menertibkan dan memblokir seluruh situs yang dianggap membahayakan pertahanan dan keamanan negara.

Memang seiring dengan kemajuan teknologi Informasi, media sosial contohnya justru kerap disalahgunakan dengan melakukan kegiatan berupa penyesatan, ujaran kebencian sampai dengan melontarkan fitnah. "Kalau kita buka Facebook, ngeri sekali isinya oleh karena itu harus ditertibkan," ujar Evita Nursanty kepada gresnews.com, Rabu, (4/12).

Ia juga mengatakan pada era internet saat ini, para pengguna media sosial sering mengartikan salah definisi kebebasan berekspresi. Kebebasan berekspresi pada akhirnya sering kali kebablasan dalam penggunaannya di ranah media sosial, tidak jarang kebebasan berekspresi digunakan untuk menghina bahkan menyebarkan fitnah.

Tetapi, dalam menertibkan media sosial ataupun konten-konten internet lainnya, ia mewanti-wanti agar pemerintah tidak sembarangan. Pemerintah harus terlebih dahulu mempunyai argumentasi serta alasan yang kuat jika ingin menutup atau memblokir konten-konten yang ada di internet. Penutupan harus sesuai dengan UU yang telah dibuat agar tercipta kepastian hukum di masyarakat.

Diketahui, pemerintah melalui Menkopolhukam Wiranto telah menyampaikan bahwasanya penertiban media sosial bukanlah suatu bentuk usaha untuk menghalang-halangi penggunaan media sosial. Tetapi, dengan penertiban ini diharapkan para pengguna media sosial lebih bijak dan menggunakan media sosial dengan cara yang etis.

Sikap Pimpinan DPR pun terpecah menanggapi isu ini, Setya Novanto selaku ketua DPR menyatakan setuju terhadap langkah pemerintah, sedangkan Wakil Ketua DPR Fadli Zon menganggap penertiban media sosial ini sebagai bentuk kemunduran demokrasi yang telah dibangun sekian lama.

"Saya rasa saya berbeda pandangan dengan beliau (Fadli Zon) dalam hal ini, Demokrasi sah sah saja tapi tetap dengan aturan yang jelas," ujar Evita.

WADAH PENYAMPAIAN ASPIRASI - Sementara itu, Wahyudi Djafar peneliti dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menyatakan bahwasanya Internet memiliki karakteristik yang unik. Internet telah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk bisa menyampaikan pendapatnya secara langsung serta melakukan pertukaran informasi, apabila penertiban media sosial dilakukan secara sepihak oleh pemerintah, hal ini bisa menimbulan efek ketakutan di masyarakat sehingga masyarakat enggan untuk berekspresi dan menyatakan pendapatnya.

"Internet bukanlah instrumen kejahatan, ini yang harus dipahami," ujarnya kepada gresnews.com, Rabu, (4/1).

Ia juga menyatakan bahwasanya Revisi UU ITE telah memberikan kewenangan absolut kepada pemerintah untuk menutup ataupun memblokir segala bentuk konten di dalam internet. Hal ini tentunya menjadi salah kaprah, seharusnya hak untuk memblokir atau menutup segala konten di internet harusnya dilakukan oleh sebuah lembaga independent sehingga tidak terjadi tensi yang tinggi.

Pemerintah perlu ekstra hati - hati dalam menerapkan kewenangan menutup maupun menertibkan seluruh konten yang ada di Internet. Penutupan atau penertiban harus berdasarkan prinsip-prinsip serta kaidah hak asasi manusia, bukan dengan alasan alasan keamanan nasional maupun ketertiban umum.

Ia memandang hukum yang ada dalam UU ITE saat ini telah gagal dalam merespon kejadian aktual yang terjadi masyarakat. Menurutnya, banyaknya berita hoax yang beredar membuat pemerintah harus mengambil tindakan pembatasan untuk menghentikan penyebaran berita hoax. tetapi, pembatasan media sosial maupun konten- konten internet sah-sah saja, selama tidak merenggut hak asasi serta tidak menimbulkan ketakutan di masyarakat.

"Hukum yang diciptakan saat ini gagal merespon hal tersebut," ungkapnya.

Lebih lanjut ia menyatakan, hal ini diakibatkan dari revisi UU ITE terlalu dibuat terburu-buru sehingga tidak mampu menjawab persoalan. Seharusnya, pemerintah dapat menciptakan regulasi secara benar. Pemerintah tidak bisa serta merta menutup begitu saja web yang dianggap memuat konten-konten yang melanggar hukum, pemilik konten seharusnya diberikan warning terlebih dahulu untuk memperbaiki konten yang dimilikinya. Apabila tidak terbukti konten tersebut melanggar hukum maka pemerintah harus mengembalikan web ataupun situs yang telah ditutupnya.

"Sedangkan dalam praktiknya, pemerintah bebas begitu saja menutup web atau situs yang dianggapnya melanggar hukum," ujarnya.

Internet dewasa ini menurutnya memiliki dua problematika yang harus diselesaikan, pertama terkait dengan regulasi yang belum sesuai dengan keadaan di masyarakat. Kedua terkait, literatur digital yang belum maksimal dan seharusnya ditingkatkan. Acuan yang ada saat ini yakni UU ITE malah memberikan wewenang penuh kepada pemerintah untuk melakukan pemutusan akses informasi di Internet.

Ia mencontohkan dalam kasus media online, seharusnya UU ITE tidak bisa langsung dikenakan terhadap media online yang dianggap melanggar hukum. Tetapi, harus diperiksa terlebih dahulu apakah media online tersebut telah memenuhi segala peraturan dalam UU Pers. Jika media online tersebut tunduk kepada UU Pers, pemerintah tidak berhak menutupnya walaupun memiliki kewenangan absolut untuk melakukan pemblokiran.

"Kalau ternyata melanggar UU Pers baru bisa dikenakan UU ITE, jadi tidak ada kewenangan absolut," pungkasnya.

BACA JUGA: