JAKARTA, GRESNEWS.COM - Isu sentimen rasial yang marak belakangan telah menciderai proses demokrasi di Indonesia. Sentimen anti-Cina salah satu isu yang santer beredar menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada), tentu saja ini merugikan salah satu calon yang datang dari kelas minoritas.

Dari hasil survei yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) mengungkapkan, tingkat ketidaksukaan masyarakat terhadap etnis Cina relatif konstan dari tahun ke tahun. Pada 2016 misalnya, angka intoleransi anti-Cina ada pada angka 0,8 persen. Hasil itu jauh di bawah ketidaksukaan pada ISIS, LGBT, Komunis dan Yahudi yang menempati empat besar.

Pada survei terakhir (November 2016), kelompok yang tidak disukai oleh paling banyak oleh warga adalah Negara Islam Iraq dan Syria (ISIS), sebesar 25,5%. Kemudian LGBT 16,6%, dan Komunis 11,8%. Sementara Kristen/Katolik sebagai kelompok yang paling tak disukai sebesar 2,6%, dan Cina/Tionghoa sebesar 0,8%.

Survei opini publik nasional ini dilakukan sepanjang 2001-2016 dengan menggunakan teknik probability sampling dengan Margin of error tiap survei rata-rata +/- 3,5% pada tingkat kepercayaan 95%. Ukuran sampel tiap survei selalu di atas 1000.

Political Scientist Saiful Mujani mengungkapkan, isu anti-cina justru tidak sebesar asumsinya. Itu karena, isu anti-Cina yang muncul dipublik lantaran menemukan momentumnya pada pelaksanaan menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) terutama di DKI Jakarta. Padahal, dalam menurut survey, sentimen anti-cina sebenarnya relatif konstan pada level masyarakat.

Isu sentimen anti-Cina itu, imbuh Saiful Mujani, dimanfaatkan oleh kalangan tertentu untuk menumpang untuk mencapai misi politiknya. Dalam survey itu, sempat ditanyakan apakah aksi pada 4 November 2016 ditunggangi atau tidak. Dari pertanyaan itu terungkap 40,7% respon menjawab aksi 4 November aksi ditunggangi, 23,4% menjawab tidak ditunggangi sedangkan sisanya 35,9% menjawab tidak tahu.

Dari hasil itu, dia menilai isu sentimen anti-Cina tidak mengakar pada massa secara nasional tetapi pada kontestasi politik. "Itu bukan basis di tingkat masyarakat tidak toleran tapi diciptakan oleh organizing structure," ungkap Saiful dalam diskusi bertajuk "Ada apa di balik sentimen anti-Cina", Kamis (29/12) di Jakarta.

Namun demikian, tren intoleransi secara umum memang mengalami penurunan sejak era reformasi atau 15 tahun terakhir. Salah satunya terhadap ketidaksukaan pada komunis yang menurun cukup signifikan dari 59% pada 2002 menjadi hanya 26,4% pada 2011, dan hanya 11,8% pada 2016. Penurunan itu menurut data SMRC lantaran komunisme sudah tidak populer, ideologi yang sudah bangkrut.

Meskipun secara keseluruhan intoleransi mengalami tren menurun sepanjang paska reformasi tetapi isu anti rasial masih tetap ada hanya saja lebih konstan dari tahun ke tahun. Isu sentimen anti-Cina salah satunya memang mendapat momentumnya saat perhelatan Pilkada DKI.

Isu tersebut berawal dari penolakan pemimpin non-muslim menjadi Gubernur DKI Jakarta yang dimotori oleh Front Pembela Islam (FPI). Saiful menambahkan, penolakan pemimpin non -muslim oleh FPI waktu itu tidak memiliki dampak yang signifikan. Hanya saja, kemudian isu penolakan itu berkembang menjadi isu anti-Cina yang dipakai sebagai alat politik menyerang Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

"Mereka ketemu di tikungan antara FPI dan kandidat lain yang ingin mengalahkan Ahok. Itulah mengapa freming anti-Cina kemudian menjadi besar," kata Saiful.

MENGAPA ANTI-CINA - Thung Ju Lan Pakar Studi Cina Universitas Indonesia mengungkapkan akar sentimen anti Cina itu memang dimulai sejak lama bahkan sebelum kemerdekaan Indonesia. Beberapa fakta sejarah yang tidak dipahami secara komprehensif sebagai penyebab yang membuat pemahaman anti-Cina masih ada.

"Orang Cina dianggap lebih superior dari pribumi karena mereka dianggap warga negara kelas dua (setelah penjajah Belanda)," ujar Thung.

Thung juga melihat, terjadi reduksi terhadap fakta fakta sejarah yang membuat pemahaman anti-Cina semakin menguat. Padahal, kalau dipahami secara baik tidak akan menjadi informasi yang menyesatkan. Dia mencontohkan, soal kerusuhan yang terjadi pada 1998 dimana orang Cina lari ke luar negeri dianggap tidak nasionalis, tapi di sisi lain pemberitaan soal etnis Cina yang tetap bertahan di dalam negeri sangat minim.

Dari fakta itu terlihat bahwa apa yang dilakukan etnis Cina yang tetap bertahan menunjukkan mereka masih nasionalis namun tak terekspos media. Dia menekankan, media juga berperan untuk membuat pemberitaan yang proporsional agar terlihat secara utuh.

Selain itu, memang ada kebijakan pemerintah Republik Rakyat Cina (RRC) yang berusaha untuk mengeluarkan warganya agar bekerja di luar negeri karena tingkat pertumbuhan penduduk di Cina cukup signifikan. Jumlah penduduk RRC sangat besar mengharuskan untuk mengeluarkan sebagian penduduknya agar bekerja di luar.

"Tapi itu tergantung respon pemerintah menanggapinya. Pada masa SBY, Indonesia menandatangani kerjasama Strategic Partnership, yang pada dasarnya Indonesia juga membuka peluang itu," tutupnya.

BACA JUGA: