JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pembahasan RUU Pemilu pada akhirnya ditunda atas keputusan sidang paripurna DPR dengan alasan reses. DPR memutuskan, reses masa persidangan IV tahun sidang 2016-2017 dilaksanakan dari tanggal 29 April sampai dengan 17 Mei. Pembahasan pembahasan RUU Pemilu itu sendiri akan dilanjutkan setelah tanggal 17 Mei dengan target akan tuntas pada 28 Mei.

Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia menyatakan, sikap DPR yang mementingkan reses ketimbang menuntaskan pembahasan UU Pemilu itu dinilai telah mengecewakan rakyat. "Ternyata reses masih lebih penting dibandingkan pembahasan RUU Pemilu, sehingga pembahasan RUU Pemilu bisa diistirahatkan sedangkan reses sudah kewajiban tanpa bisa ditolak, seakan-akan bila tidak reses maka posisinya akan berbahaya dimata rakyat daripada mengoptimalkan hari untuk menyelesaikan RUU Pemilu," kata Deputi Kajian KIPP Indonesia Adrian Habibi, dalam pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, Jumat (28/4).

Dia menilai, masa reses dari 29 April sampai 17 Mei sangat cukup untuk menyelesaikan pembahasan RUU Pemilu. "Seandainya wakil rakyat lebih bijaksana, reses bisa diundur setelah penetapan UU Pemilu. Dengan demikian, tidak ada beban bagi wakil rakyat saat turun ke daerah pemilihan masing-masing," ujarnya.

Habibi menilai, para anggota DPR lebih mementingkan kepentingan politiknya masig-masing, sehingga lebih memilih turun ke daerah pemilihan di masa reses ketimbang kepentingan rakyat banyak yaitu menyelesaikan RUU Pemilu. "Bila dianalogikan kepada wajib dan sunnah, maka reses jelas terlihat sebagai tindakan wajib anggota DPR sedangkan pembahasan RUU Pemilu hanya sunah," sindirnya.

Bagi KIPP Indonesia, meniadakan hari pembahasan RUU Pemilu dengan alasan reses adalah bentuk ketidakprofesionalan wakil rakyat. "Bagaimana mungkin pembahasan RUU Pemilu kalah penting dengan reses yang bisa dilaksanakan setelah penetapan uu pemilu. Bahkan bila reses benar-benar dilaksanakan, maka kita semua berharap para pemilih di dapil peranggita dewan menyuarakan untuk mereka putar haluan balik ke senayan demi menyelesaikan tugas pembahasan dan penetapan UU Pemilu," tegasnya.

Sedangkan disisi lain, masyarakat, kata Habibi, tidak bisa memahami tujuan reses dikala RUU Pemilu masih berlayar menuju muara pembahasan. "Dari sisi kegentingan dan memaksa, pembahasan RUU Pemilu dinilai lebih genting dan memaksa prioritas pembahasannya," tambahnya.

Habibi juga menyayangkan sikap pemerintah yang seakan-akan mengalah kepada DPR dalam pembahasan RUU Pemilu. Padahal, pemerintah bisa menyelesaikan tugasnya untuk menjalankan program kementerian ketimbang menunggu para wakil rakyat pulang dari resesnya masing-masing.

"Mendengar betapa besar perjuangan para pegawai Kementerian Dalam Negeri untuk membahas RUU Pemilu, kesedihan yang mendalam bila kerja keras mereka harus terhenti oleh kegiatan politik bukan kegiatan yang memaksa," ujar Habibi.

Oleh karena itu, KIPP Indonesia mengimbau para wakil rakyat untuk memberikan jaminan pembahasan RUU Pemilu tidak melewati bulan Mei 2017. "Cukup sudah janji penyelesaian UU Pemilu bulan April 2017 tergadai oleh aksi-aksi tidak penting, kesepatan penyelesaian RUU Pemilu bulan Mei 2017 wajib mendapatkan jaminan," ujar Habibi.

Jika tidak, kata dia, Majelis Kehormatan Dewan berhak memanggil para anggota DPR, khususnya Komisi II dan meminta alasan penundaan pembahasan dan atau penyelesaian RUU Pemilu. "Apabila ada anggota dewan yang tidak bisa menjelaskan dengan dasar yang kuat, maka MKD berhak merekomendasikan kepada partai politik dimana anggota dewan berasal untuk mempertimbangkan kembali posisinya baik di Komisi II maupun di struktural partai," tegasnya.

KIPP Indonesia juga mendesak DPP Partai memanggil para anggota Komisi II untuk menjelaskan secara terbuka setiap perkembangan yang terjadi pada pembahasan RUU Pemilu. "Dengan demikian, partai sudah bersiap diri bahkan sebelum UU Pemilu disahkan. Jika ada anggota dewan yang tidak mampu menjelaskan kepada DPP Partai terkait perkembangan dan cara penyusunan stratgi partai menghadapi pemilu 2019 dari RUU Pemilu yang sedang dibahas, maka DPP Partai pun bisa mempertimbangkan untuk mencalonkan kembali dan/atau memasukkan nama mereka kedalam daftar nama calon legislatif untuk pemilu 2019," ujarnya.

Apabila semua cara tidak bisa memaksa anggota dewan khususnya Panja RUU Pemilu menyelesaikan RUU Pemilu tepat waktu, maka, kata Habibi, rakyat bisa saja melakukan pengawalan langsung dan massif dengan pengerahan massa untuk yang menjaga agar paska reses para pembahas RUU Pemilu tidak menyia-nyiakan sedikitpun waktu pembahasan RUU Pemilu.

"Rakyat berhak untuk tahu dan berhak untuk mengawal produk legislasi atas nama kebebasan berekspresi demi menemani para pembahas berlelah-lelah menyelesaikan RUU Pemilu," pungkasnya.

BANYAK YANG BOLOS - Sebelumnya, rapat paripurna DPR menyepakati perpanjangan pembahasan 8 RUU yang tengah dibahas. Dari kedelapan RUU, salah satunya adalah RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu. Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua DPR Fadli Zon selaku pimpinan sidang. Fadli membacakan 8 RUU yang perlu diperpanjang pembahasannya.

Kedelapan RUU yang diperpanjang pembahasannya adalah RUU larangan minuman beralkohol, RUU tentang wawasan Nusantara, RUU tentang penyelenggaraan pemilu, RUU tentang kekarantinaan kesehatan, RUU tentang BNPB, RUU tentang KUP, RUU tentang karantina hewan, dan RUU tentang PPILN.

"Apakah dapat disetujui mengenai perpanjangan pembahasan 8 RUU?" tanya Fadli kepada peserta sidang di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (27/4). "Setuju," ujar peserta sidang.

Sebelumnya, Ketua Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu Lukman Edy meminta waktu kepada pimpinan DPR untuk memperpanjang pembahasan RUU. Lukman menargetkan tanggal 18 Mei RUU Penyelenggaraan Pemilu disahkan di rapat paripurna.

"Tadi pimpinan mengizinkan menggunakan masa reses untuk digunakan rapat tim perumus. Nanti pas tanggal 18 paripurna bisa langsung pengambilan keputusan. Jadi ditunda 2 minggu," ujar Lukman di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (25/4).

Rapat paripurna itu sendiri diwarnai banyaknya anggota DPR yang "bolos" alias tidak hadir, meski agendanya penting yaitu salah satunya soal pengambilan keputusan tingkat dua sejumlah RUU. Sebanyak 257 anggota Dewan tidak hadir dalam sidang paripurna.

Dari daftar hadir, tercatat hanya ada 302 anggota DPR yang meneken daftar presensi dari total 559 anggota DPR. Jika dihitung, ada 257 anggota yang tidak hadir. Namun dari 302 anggota yang mengisi daftar hadir tersebut, 114 anggota meminta izin.

Sidang paripurna ini dipimpin Wakil Ketua DPR Fadli Zon. Pimpinan DPR yang hadir adalah Taufik Kurniawan dan Agus Hermanto. Ketua DPR Setya Novanto dan Fahri Hamzah tak hadir. (dtc)

BACA JUGA: