JAKARTA, GRESNEWS.COM – Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai hasil pembangunan di bidang penguasaan, pemilikan, pengelolaan sumber-sumber agraria (isi bumi, tanah, air, udara dan tumbuh-tumbuhan) dan pertanian telah mengakibatkan akses dan kontrol rakyat terhadap sumber-sumber agraria (SDA) semakin menghilang. Masyarakat miskin, khususnya para petani, masyarakat adat, nelayan, buruh dan perempuan setiap hari semakin kehilangan tanah dan sumber-sumber penghidupannya.

Sebab di satu sisi, rakyat dirampas hak atas tanah dan airnya, di sisi lain penguasaan korporasi atas sumber-sumber agraria semakin merajalela karena difasilitasi, diperluas dan dipermudah oleh Negara. "Pendek kata, kedaulatan bangsa ini atas tanah-airnya telah lama hilang," kata Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Iwan Nurdin kepada Gresnews.com, Minggu (27/7).

Iwan mengungkapkan, kebijakan agraria yang dikeluarkan DPR dan Pemerintah kerap memberikan prioritas tanah dan kekayaan alam Indonesia bagi pengusaha skala besar, baik asing maupun nasional. Diantaranya melalui regulasi UU Minerba, UU Penanaman Modal, UU Penataan Ruang, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, hingga UU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Bagi Kepentingan Umum.

Kesemua UU tersebut, dinilai KPA, dibingkai dalam rangka memuluskan program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Padahal, kata Iwan, program itu semakin memperparah struktur ketimpangan dan ketidakadilan agraria. Program itu juga dinilai meningkatkan jumlah konflik agraria berkepanjangan dan jatuhnya korban akibat konflik.

"Selain itu MP3EI dinilai telah menyebabkan kehancuran lingkungan dan semakin merajalelanya praktek-praktek korupsi serta kolusi atas pengeluaran ijin-ijin konsesi dan tambang oleh pejabat publik," kata Iwan.

Menurutnya, masalah agraria tidak dilihat sebagai akibat dari sistem politik agraria dan pilihan model pembangunan Indonesia yang kapitalis. Orientasinya pada liberalisasi sumber-sumber agraria tanah-air yang mengakomodasi kepentingan pemodal dan penguasa. Bukan pada upaya sebesar-besarnya mencapai kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia.  

"Dapat disimpulkan bahwa tidak ada perhatian yang sungguh-sungguh dari negara dan kekuatan politik selama ini terhadap masalah-masalah agraria, utamanya dalam hal bagaimana negara ini mengurus, mengelola dan melindungi sumber-sumber agrarianya selama ini," ungkapnya.

Kata Iwan, kemauan politik yang kuat dari pemerintahan yang berkuasa dan kuatnya organisasi rakyat pro-Reforma Agraria adalah kekuatan utama agar agenda Reforma Agraria menjadi landasan dasar bagi pembangunan nasional.

"Jika DPR dan Presiden mendatang, hasil Pemilu 2014, tidak segera menjalankan reforma agraria sebagai agenda bangsa untuk menjawab tantangan ketimpangan struktur agraria yang ada, niscaya masalah-masalah agraria di Indonesia akan terus terjadi dan potensial melahirkan kerawanan sosial di masa depan," tegasnya.

Ia berpendapat, Reforma Agraria adalah persoalan politik, dan kekuatan gerakan sosial harus menjadi pendorong utama terjadinya perubahan politik agraria nasional. Atas dasar ini, KPA menyikapi Pemilu 2014 dengan menyusun sebuah naskah "Reposisi Politik Agraria Nasional". Tujuannya untuk menyatakan kembali bahwa pelaksanaan reforma agraria merupakan jalan utama untuk melakukan transformasi sistem politik agraria bangsa yang lebih berkeadilan sosial.

Dengan melakukan reposisi politik agraria nasional, menurut duia, maka Reforma Agraria sebagai landasan dasar pembangunan bangsa menjadi alas bagi terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia.

"Naskah Reposisi Politik Agraria Nasional merupakan platform bagi anggota legislatif dan presiden ke depan dalam melaksanakan Reforma Agraria, agar bangsa ini menjadi Negara yang memiliki harga diri dan berdaulat penuh atas tanah-airnya," ujar Iwan.

Iwan mengatakan, KPA yang berbasiskan 173 organisasi rakyat (tani, buruh tani, masyarakat adat, nelayan) dan LSM juga menghimpun kekuatan para aktivis/praktisi, pakar dan pejuang agrarianya. Mereka masuk dalam proses pemilu calon legislatif 2014 lalu untuk mengawal proses-proses perumusan dan lahirnya kebijakan di DPR RI yang mendukung pelaksanaan Reforma Agraria, sekaligus mencegah lahirnya kebijakan anti-reform.

Dalam hal ini KPA tetap berpegang pada prinsip non-partisan tetapi lebih melihat pada rekam jejak, integritas, kemampuan, pemahaman dan pengalaman para caleg dari kalangan gerakan sosial selama ini dalam memperjuangkan hak-hak rakyat terpinggirkan.

KPA menilai bahwa legislator pro Reforma Agraria harus memiliki kriteria, antara lain:

1. Mempunyai pemahaman yang utuh tentang Reforma Agraria;
2. Mempunyai pengalaman, kapasitas dan konsistensi dalam memperjuangkan hak-hak asasi petani, nelayan, buruh dan masyarakat adat dan kelompok marjinal lainnya;
3. Konsisten dalam bersikap memerangi perampasan tanah rakyat, diskriminasi serta bentuk-bentuk penindasan lainnya terhadap masyarakat miskin;
4. Memiliki kemampuan dan pengalaman yang utuh dalam kerja-kerja advokasi kebijakan, yang memperjuangkan perubahan kebijakan pro-rakyat, sekaligus mengkritisi (melawan) kebijakan yang anti-rakyat;
5. Tidak terlibat dalam pelanggaran HAM dan tindakan korupsi serta menjungjung tinggi nilai-nilai anti-kekerasan.

BACA JUGA: