JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kepulangan Panitia Khusus RUU Pemilu dari Jerman dan Meksiko disambut nada riuh oleh publik. Pasalnya, alih-alih merampungkan pekerjaan rumahnya, Pansus RUU Pemilu malah terkesan membuat masalah baru dengan menyebut anggota partai politik bisa masuk ke tubuh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Padahal, putusan MK Nomor 81/PUU-IX/2001 dengan tegas telah membatasi aturan tersebut.

Menanggapi pandangan publik, Ketua Panja RUU Pemilu Muhamad Lukman Edy menerangkan, sepulangnya dari Jerman dan Meksiko, Panja punya kewajiban untuk menyampaikan hasil laporannya kepada publik. "Salah satu laporan hasil kunjungan tersebut adalah, Penyelenggara Pemilu di Jerman dan Meksiko terdiri atas unsur pemerintah, partai politik, dan hakim. Itu sama seperti pemilu Indonesia pada 1999," kata Lukman kepada gresnews.com, Minggu (26/3).

Lukman menekankan, bahwa hal itu disampaikan kepada publik, bukan berarti secara otomatis hal itu menjadi keinginan resmi anggota pansus. Menurutnya, anggota pansus hanya ingin mengatakan bahwa di Jerman dan Meksiko yang pemilunya dilaksanakan secara demokratis, sudah 40 tahun partai politik ditempatkan dalam posisi yang ideal. Tujuannya, untuk menjamin tidak timbulnya kecurangan pemilu karena dengan duduk di posisi KPU masing-masing partai bisa saling mengawasi.

Menurut politikus Partai Kebangkitan Bangsa tersebut, alasan lain yang membuat anggota parpol di Jerman dan Meksiko bisa duduk di KPU adalah agar mereka bisa terus melakukan perbaikan demi kesempurnaan proses pemilu atas nama konsolidasi demokrasi yang ideal. Bahkan di Meksiko, demi mencapapai kesempurnaan itu, UU Pemilu secara otomatis dievaluasi setiap kali Pemilu berakhir.

"Nah, persoalannya kemudian kita malah dianggap ingin merubah struktur Penyelenggara Pemilu dengan masuknya orang-orang partai. Ini kan ilmunya gotak gatuk, menghubung-hubungkan pesan moral yang ingin kita sampaikan ke publik berkenaan dengan positioning partai politik di tengah konsolidasi demokrasi, dengan fakta norma apa saja yang bisa kita ambil untuk dimasukkan di dalam UU Pemilu yang baru," terangnya.

Lukman pun menyebut pihaknya sadar betul akan adanya putusan MK yang harus ditaati. Lukman juga menyatakan di dalam pembahasan RUU Pemilu kali ini, DPR dan Pemerintah punya komitmen bersama untuk menjadikan seluruh keputusan MK tentang Pemilu dan Pilkada sebagai norma di dalam UU Pemilu yang baru.

"Dalam rapat pansus dengan pemerintah, kami bahkan mengingatkan pemerintah soal adanya norma harus mundur dari kepengurusan parpol 5 tahun sebelum mendaftar sebagai anggota KPU dan Bawaslu. Di dalam draft pemerintah dinyatakan bahwa anggota partai harus mundur pada saat pendaftaran. Ini kan jelas bagaimana sikap DPR dalam soal syarat orang parpol dalam keanggotaan KPU dan Bawaslu. Tidak seperti berita yang digoreng LSM tertentu itu," pungkasnya.
REAKSI PUBLIK - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina mengingatkan, setidaknya bakal ada 3 permasalahan sekiranya parpol dilibatkan sebagai penyelenggara pemilu. Ketiga permasalahan tersebut antara lain sebagai berikut.

Pertama, keberadaan parpol akan mempengaruhi prinsip independensi, kemandirian, serta profesionalitas yang seharusnya dimiliki penyelenggara pemilu. Kedua, bertentangan dengan putusan MK Nomor 81/PUU-/IX/2011 yang mengatur bahwa calon anggota KPU dan Bawaslu harus mundur dari parpol minimal 5 tahun sebelum mencalonkan diri.

Dan terakhir, masuknya parpol sebagai penyelenggara pemilu akan menambah masalah baru seiring adanya kemungkinan membuat daftar lembaga yang tidak dipercaya publik kian bertambah.

"Saat ini terjadi krisis kepercayaan publik ke parpol dan jangan sampai hal itu kemudian bergeser kepada penyelenggara pemilu," kata Almas, Sabtu (25/3).

Lantaran itulah Almas menyarankan, jika tujuan parpol turut berperan sebagai penyelenggara pemilu adalah demi meningkatkan kualitas pemilu, maka sebaiknya parpol lebih fokus pada pembenahan kondisi internalnya sendiri. "Fokus saja pada parpolnya sendiri. Kalau parpolnya sudah baik, kepercayaan publik pada parpol juga akan meningkat," ujar Almas.

Selain Almas, mantan anggota KPU periode 1998-2001 Umar Husin mengingatkan, keberadaan partai politik di badan penyelenggara pemilu hanya membuat penyelenggara pemilu gaduh. Hal itu disampaikan Umar berdasar pengalamannya sebagai komisioner KPU di masa awal reformasi.

"Anggota KPU dari parpol kadang membuat pernyataan pers yang berubah-ubah sehingga keriuhan terjadi. Dalam pengambilan keputusan juga kadang-kadang ada usulan yang aneh. Misalnya ada partai yang meminta partai lain dibubarkan," kata Umar, Sabtu (23/3).

Umar menjelaskan, saat itu ada 48 anggota parpol yang duduk sebagai komisioner KPU. Semuanya merupakan perwakilan dari masing-masing partai politik yang ada di Indonesia kala itu. Namun demikian, bahwa KPU saat itu terbilang lamban dan kontroversial -(salah satu buktinya adalah keterlambatan KPU mengumumkan hasil Pemilu 1999 sehingga membuat Presiden Habibie turun tangan dengan menerbitkan Keppres No. 92/1999 tentang Pengesahan Hasil Penghitungan Pemilu - Umar mengemukakan alasannya.

"Memang trial and error juga. Kita masuk sebagai anggota KPU dengan bayangan kosong seperti apa lembaga KPU itu, kerjanya bagaimana, dan sebagainya," katanya.

Lantaran itulah Umar menyatakan, sosok pemimpin yang tegas dan berwibawa amat diperlukan oleh KPU untuk menyelesaikan beragam masalah yang muncul saat itu.

Lepas dari pendapat Almas dan Umar di atas, pada Kamis (23/3) lalu Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) juga telah menyebarkan petisi menyatakan penolakannya terhadap wacana anggota parpol duduk sebagai penyelenggara Pemilu. Dalam petisi tersebut, Perludem menyebut wacana kontroversial yang disampaikan DPR dengan kembali membolehkan anggota partai politik untuk jadi anggota KPU layaknya Pemilu 1999 merupakan kemunduran.

"Ide ini keliru dan bisa rusak netralitas serta kemandirian KPU sebagai penyelenggara pemilu. Bagaimana bisa penyelenggara pemilu terafiliasi dengan parpol yang punya kepentingan untuk menggolkan calon-calonnya sebagai anggota legislatif maupun eksekutif? Pada Pemilu 1999 misalnya, banyak persoalan dalam teknis penyelenggaraan pemilu karena anggota Parpol jadi anggota KPU," demikian bunyi salah satu isi petisi tersebut.

Perludem menyebut Pasal 22E Ayat (5) UUD NRI 1945 sebetulnya sudah secara gamblang dan tegas menyebutkan "Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri". Dilacak dari risalah perdebatan amandemen UUD NRI 1945 tahun 2001, Perludem menyebut munculnya kata mandiri dimaksudkan untuk melepaskan KPU dari keanggotaan partai politik.

Menurut Perludem, meski sama-sama bersinggungan dalam urusan pemilu, KPU dan Partai Politik memiliki tugas yang berbeda. KPU bertugas untuk menyelenggarakan pemilu secara adil dan demokratis agar setiap pemilih dapat terfasilitasi hak pilihnya tanpa terkecuali-seiring bertugas untuk fasilitasi arena kontestasi yang setara bagi setiap parpol maupun kandidat. Sementara parpol berperan sebagai peserta—bertugas untuk meraih suara terbanyak dan berkepentingan untuk memenangkan pemilu.

"Jadi, jika KPU berasal dari parpol maka terdapat konflik kepentingan, atau seperti "pemain bola merangkap wasit". Bukannya diselenggarakan pemilu dengan adil dan demokratis, anggota KPU bisa jadi sibuk memenangkan kandidat dari parpol asalnya,".

Perludem juga menyitir putusan MK No. 81/PUU-/IX/2011 yang mengatur kemandirian penyelenggara pemilu. Menurut Perludem, jika DPR memaksakan diri agar anggota parpol boleh jadi anggota KPU, berarti mereka abaikan putusan MK.

"Maka dari itu kami mengajak rekan-rekan yang peduli terhadap demokrasi untuk menolak anggota Parpol menjadi anggota KPU. Pansus RUU Pemilu harus mengedepankan prinsip kemandirian bagi penyelenggara pemilu. Secara lebih khusus, kami sebagai Warga Negara Indonesia berpesan kepada Bapak Joko Widodo selaku Presiden Republik Indonesia dan Bapak Setya Novanto selaku Ketua DPR RI untuk terus mengawal proses pembahasan RUU Pemilu dan menolak dengan tegas parposilasi penyelenggara pemilu demi terciptanya pemilu yang adil, demokratis, berintegritas, dan berkualitas," demikian pernyataan terakhir petisi tersebut.

Hingga berita ini ditulis, petisi tersebut sudah ditandatangani 8.523 pendukung. Hanya, terlepas dari petisi di atas, politikus partai Nasional Demokrat Taufiqulhadi berharap masyarakat tidak alergi mengenai wacana anggota parpol dapat menjabat sebagai komsioner KPU.

"Pemilu adalah kegiatan partai politik maka sudah sewajarnya mereka juga ikut di dalamnya. Kehadiran partai politik adalah repersentasi dari masyarakat dalam sistem demokrasi. Tanpa ada partai politik, maka demokrasi jadi tidak jelas," kata Taufiq, Sabtu (25/3). (Zulkifli Songyanan)

 

BACA JUGA: